Rahasia Merlin - 3
Kami berciuman seperti biasa, hanya saja kali ini lebih hati-hati. Desah napas kami tertahan, seakan tak boleh ada suara yang keluar. Lidahnya menyusup, membuatku menggeliat kecil di bawah selimut.
Aku meremas tangannya erat-erat. “Fiz… jangan keras-keras, nanti ketahuan,” bisikku dengan napas tersengal.
Dia terkekeh lirih, matanya berkilat nakal. “Tenang aja… aku tahu batasnya. Aku cuma kangen kamu, di bus masih belum puas meluk kamu.”
Aku menutup mata, kembali menyerahkan bibirku padanya. Setiap sentuhan terasa menegangkan, membuatku makin hanyut dalam birahi yang mulai membara. Antara takut ketahuan dan nikmat pelukannya. Aku merasa seakan dunia hanya milik kami berdua, meski sebenarnya hanya berjarak beberapa meter dari orang tuaku.
Dan betapa tersentaknya diriku ketika tanganku menyentuh batangnya yang sudah sangat keras dan panas, sama seperti saat di bus. Seketika napasku tercekat, baru sadar ternyata dia sudah melepas celananya sejak masuk ke kamar tadi.
Tubuhku langsung menggigil, gelombang gairah yang menyambar begitu cepat. Rasa kaget bercampur dengan dorongan hasrat yang langsung bergelora.
“Hafiz…” Ingin protes, tapi kata-kataku terhenti saat pelukannya semakin erat.
“Kayak di bus saja, cuma dipegang aja,” balasanya, Dadanya menekan tubuhku, napasnya membelai kulit leherku.
“Aku kangen peganganmu, Sayang…” Suaranya makin dalam dan menggoda, membuatku kehilangan tenaga untuk melawan.
Pelukannya terlalu hangat, terlalu manis untuk kulepaskan. Tubuhku bergetar, tapi aku tak mampu menjauh. Semakin lama makin menempel, membiarkan diriku terhanyut.
Ciuman kami semakin panas dan dalam. Bibir saling menekan, lidah beradu, tapi tetap menahan suara, seolah takut dinding tipis ikut bernapas.
Tanganku menggenggam batangnya makin erat dan memaju mundurkan, merasakan setiap denyut panas yang menegang di telapak tanganku. Sementara tangannya menyusup nakal ke balik celana dalamku, menyentuh bagian paling rahasiaku hingga tubuhku bergetar hebat.
Aku ingin protes lagi, ingin menahannya, tapi dinginnya malam justru membuatku semakin larut dalam kehangatannya. Panas tubuh Hafiz menjalar ke seluruh pori-poriku, membuatku merasa nyaman sekaligus mabuk.
“Jangan mendesah…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar saat hampir saja mulutku bersuara.
Aku menggigit bibir, menahan gejolak yang semakin membara. Tubuhku bergetar terbakar birahi.
Dengan perlahan, hampir tanpa suara, Hafiz menarik celana dalamku hingga terlepas. Mataku langsung membelalak, tubuhku refleks menegang, ingin protes. Tapi bibirku hanya bisa ternganga, tak mampu mengucapkan satu kata pun.
Detik berikutnya, jari-jemarinya menyusup masuk, menyentuh bagian terdalam vaginaku yang paling peka. Tubuhku seketika bergetar hebat, gigil merambat dari ujung kaki hingga tengkuk.
Aku berusaha mengendalikan diri, hanya bisa menggeliat pelan di bawah selimut, takut gerakanku menimbulkan suara yang mencurigakan.
“Ahh…” desahan kecilku lolos tanpa sengaja.
Hafiz segera menunduk, melumat bibirku kembali, menutup rapat setiap desahanku. Ciumannya panas, dalam, membuatku makin mabuk dan kehilangan kendali.
Suara angin malam dan dedauan di luar berdesir lirih, bercampur dengan degup jantung kami yang berisik. Sementara di balik dinding tipis, kedua orang tuaku terlelap, tak tahu apa yang sedang kami lakukan. Dan itu membuat tubuhku makin bergetar, antara takut dan nikmat yang kian membara.
“Sudah basah banget, boleh ya?” bisiknya lembut di telingaku.
Mataku kembali membelalak, tubuhku menegang. Dalam hati ingin berteriak, ingin mengatakan jangan, karena bayangan rasa sakit itu begitu nyata di kepalaku. Aku masih perawan belum pernah ada yang mengoyak. Bagaimana kalau benar-benar menyakitkan?
Namun bibirku tetap terbungkam dalam bekapan mulutnya. Hanya suara helaan napas yang bisa lolos, terhimpit di antara ciumannya yang semakin dalam.
Dia berhenti sejenak, menatapku tajam seolah menembus pikiranku. Lalu, dengan suara rendah yang begitu meyakinkan, ia berbisik, “Aku jamin tidak akan menyakitimu, dan aku siap bertanggung jawab…”
Kata-katanya menenangkan sekaligus membakar. Seolah dia bisa membaca seluruh kekalutanku. Pelukannya yang hangat membuatku sulit berpaling. Tubuhku masih bergetar, tapi entah kenapa rasa ragu itu perlahan luluh, tergantikan oleh dorongan yang jauh lebih kuat, hasrat yang sejak awal sudah terlanjur membara.
“Aku masukinnya pelan-pelan aja,” bisiknya nyaris gemetar menahan hasratnya.
Aku hanya bisa mengangguk kecil, mataku terpejam rapat. Tanganku mencengkeram lengannya erat, mencari pegangan dan kekuatan.
Perlahan dia menagtur posisi diatasku. Tubuhnya berada di antara dua kakiku yang sudah terbuka lebar. Lalu menemeplan batangnya pada bibir vaginaku. Lalu dia menekannya pelan yang sontak membuatku tersentak, tubuhku melengkung, napasku terhenti.
Sensasi asing itu menusuk, membuatku menggeliat tak tentu arah, diserang rasa perih dan sakit tipis-tipis bercampur panas yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Hafiz langsung mencium bibirku, menahan desahku agar tak terdengar.
“Tenang Sayang… pelan-pelan kok… sebentar lagi enak,” bisiknya di sela ciuman.
Aku mencoba mengatur napas, menggigit bibir, menahan segala sensasi yang menyerang bersamaan. Beberapa detik terasa panjang, tapi perlahan rasa perih itu mulai bergeser, berganti dengan hangat yang menjalar.
Dan saat Hafiz menghentakkan pantatnya, aku hampir menjerit sekuat tenaga. Sakitnya menyalak begitu tajam, membuat seluruh tubuhku menegang tak berdaya. Namun dengan cepat bibirnya menyumpal dan menutup mulutku, membungkam teriakanku dalam ciuman yang dalam.
Dia diam beberapa saat, tidak menggerakkan tubuhnya. Membiarkan batangnya benar-benar menyatu dengan vaginku secara utuh, untuk pertama kalinya. Napasnya berat di wajahku, sementara aku menggigil, mencengkeram lengannya erat. Perlahan, rasa perih itu mulai mereda meski air mataku tetap meleleh.
Aku tak tahu, air mata ini keluar karena sakit yang menusuk, atau justru bahagia akhirnya bisa menyerahkan diriku sepenuhnya padanya. Dalam diam, aku hanya bisa merasakan detak batangnya yang berpacu dengan vaginaku, seolah menyatukan kami lebih dalam daripada sekadar bersetubuh.
“Pelan… tenang saja, aku di sini,” bisiknya lembut di telingaku, seakan tahu gelombang kacau di dadaku. Kata-katanya membuatku sedikit lega, rasa takutku bergeser jadi pasrah, dan perlahan tubuhku mulai menerima kehadirannya. Dia mulai mengenjot perlahan.
Awalnya aku meringis, tubuhku refleks menegang, tapi tiap kali rasa sakit itu kembali muncul, bibirnya segera menutup bibirku, menyamarkan desah dan ringisan dengan ciuman lembut yang membuatku sedikit demi sedikit larut.
Dan akhirnya aku merasakan perih dan sakit itu benar-benar mereda, berganti dengan gelombang nikmat yang hangat menjalar dari vagina naik ke dada, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Aku bahkan tanpa sadar merangkulnya lebih erat, takut kehilangan rasa yang baru pertama kalinya kurasakan.
“Gimana? Udah nggak sakit kan?” bisiknya sambil mengusap pipiku yang basah oleh air mata.
Aku hanya mengangguk kecil, mataku masih terpejam, bibirku bergetar menahan desahan. Saat gerakannya makin dalam, aku tak bisa lagi mengingat rasa sakit tadi. Yang ada hanya sensasi nikmat yang membuatku melayang memasuki surga dunia nyang tiada duanya.
Gerakan Hafiz makin gencar, sodokannya semakin dalam, semakin kuat, membuatku hampir kehilangan kesadaran untuk tetap diam. Aku menggigit bibirku kuat-kuat, mencoba menahan desahan yang terus mendesak keluar. Namun tubuhku sendiri sudah tak bisa berbohong. Pinggulku ikut bergerak mengikuti iramanya.
Ranjang kayu mulai berderit pelan, suara kecil yang di telingaku terdengar begitu jelas dan menakutkan. Aku mencakar punggungnya, memberi isyarat agar dia memperlambat, tapi dia hanya menunduk menciumku, seolah ingin menenggelamkan semua protesku dalam bibirnya.
“Sttt… tahan, Sayang… jangan sampai ketahuan,” bisiknya di sela napas yang berat.
Aku hanya bisa mengangguk, mataku basah, tubuhku seperti terbakar, setiap hentakannya membuatku semakin tak sanggup berpura-pura tenang.
Hafiz mulai sulit mengendalikan diri. Napasnya makin memburu, peluhnya menetes di leherku, gerakannya sesekali terlalu keras hingga ranjang bergetar. Jantungku berpacu gila, bukan hanya karena nikmat, tapi takut orang tuaku terbangun.
Dan ketegangan itu, justru makin membuat setiap detik kami terasa jauh lebih mendebarkan. Aku hampir merintih keras, tapi Hafiz cepat menutup bibirku lagi, membungkam dengan ciuman yang begitu dalam hingga aku benar-benar hanya bisa pasrah pada arus yang menggila di antara kami.
Saat aku tak sanggup lagi menahan gelombang yang datang dari dasar tubuhku. Napasku terputus-putus, mataku terpejam, lalu tanpa sadar aku menggigit lehernya kuat-kuat. Tubuhku bergetar hebat tak terkendali, seluruh diriku seolah meledak dalam satu hentakan yang panjang.
Hafiz mendongak sejenak, wajahnya meringis karena sakit di lehernya, tapi tak ada satu pun kata protes yang keluar. Justru desahan kasar dari tenggorokannya pecah bersamaan dengan genjotannya yang semakin kuat, semakin dalam, semakin beringas, seolah rasa gigitanku di lehernya menyalakan gairah kian membara.
Dan tepat ketika tubuhku jatuh lemas, Hafiz pun menghentak kera tubuhnya sekali lag. Bersamaan dengan tubuhnya menegang hebat, lalu menggeram panjang di leherku, sambil menyemburkan spermanya dalam vaginaku.
^*^
