Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia Merlin - 2

Perjalanan ke kampung halaman terasa berbeda dari biasanya. Duduk berdampingan di kursi bus yang bergetar lembut, waktu seakan meluncur lebih cepat dari biasanya.

Ketika malam mulai merayap, lampu kabin diredupkan. Sebagian besar penumpang sudah terlelap, hanya terdengar dengkuran halus dan suara mesin yang mendengung panjang. Aku dan Hafiz justru larut dalam dunia kecil kami.

Ia meraih tanganku, menggenggam erat seolah tak ingin melepaskannya. Tubuh kami saling menempel, hangat. Aku bisa merasakan napasnya di telingaku ketika ia berbisik pelan, kata-kata manis yang hanya kami berdua tahu. Sesekali, bibirnya menyentuh pipiku, lalu berlanjut ke ciuman singkat di bibirku yang membuatku sulit menahan debar jantung.

Aku bahkan sedikit berani nekat. Tanganku, yang semula hanya bertaut di pergelangan tangannya, perlahan bergerak turun. Hafiz hanya menahan senyum, membiarkan aku berhenti di pangkuannya. Dan aku terperanjat saat merasakan sesuatu yang keras di balik celananya.

Hafiz menghela napas dalam, meraih jaketnya lalu menutupinya rapat-rapat. Zipper dan retselting celananya ternyata sudah terbuka, memberi ruang pada batangnya yang kini seolah menunggu uluran tanganku.

“Heh, apa-apa ini, masa santri gini?” sergahku kaget, dia malah tersenyum tanpa dosa.

Aku menelan ludah. Panas menjalar ke wajahku. Setengah malu, setengah tak percaya, tapi genggamanku tak juga mau lepas.

Hafiz menoleh sebentar, matanya penuh isyarat nakal, lalu berbisik lirih di telingaku, “Pelan-pelan aja, Sayang… jangan sampai muncrat, nanti desahku ketahuan.”

Akhirnya ketegangan di bus, berakhir.

Sesampainya di terminal kecamatan, kami langsung mencarter dua ojek untuk perjalanan terakhir menuju kampung. Tapi Hafiz punya caranya sendiri.

“Aku yang bawa kamu, Mer,” katanya tegas sambil menatapku.

Aku sedikit terkejut. “Eh… tapi aku kan bisa naik ojek biasa,” ujarku ragu.

“Tidak, aku nggak mau. Aku yang antar kamu,” jawabnya mantap, sambil memanggil tukang ojek lain.

Akhirnya tetap dua ojek yang disewa, tapi uniknya: satu motor dikendarai Hafiz dan dia memboncengku, sementara motor satunya dikendarai tukang ojek, yang membonceng tukang ojek yang motornya disewa kami. Jadi secara hitungan tetap sewa dua ojek, tapi Hafiz memastikan aku hanya dekat dengannya.

Lucu sekaligus hangat rasanya. Dia bahkan belum hafal jalan ke kampungku, tapi nekat membawa motor sendiri demi memastikan aku tidak deket dengan lelaki lain, tukang ojek sekalipun.

Aku menempel di belakangnya, merasakan perhatian yang nyata. Sesekali Hafiz menoleh, tersenyum, memastikan aku nyaman. Jalan bergelombang atau belokan tajam tak membuatnya ragu sedikit pun. Ia terlihat bersemangat, seakan ingin setiap detik perjalanan ini menjadi momen kami berdua.

Aku menahan tawa sendiri, campur kagum. Betapa protektifnya Hafiz, tapi tetap terasa manis dan menggemaskan.

Perlahan, rasa cemas tentang perjalanan panjang, kampung yang jauh, dan kesederhanaan rumahku, semua memudar. Kehangatan dan perhatian Hafiz membuat perjalanan yang melelahkan ini terasa ringan, lucu, dan manis sekaligus.

Kami tiba di kampung sekitar pukul delapan malam.

Begitu motor berhenti di depan rumah sederhana kami, Hafiz turun dari motor lebih dulu, menatapku sejenak dengan senyum lembut. “Ayo, Mer. Aku ikut masuk,” katanya sambil meraih tanganku.

Di depan pintu, aku menarik napas dalam, lalu mengetuk. Ayah dan ibu muncul dari dalam, menatap kami dengan mata penasaran.

Hafiz menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat, lalu mengangkat tangannya dengan lembut. “Assalamu’alaikum, Pak, Bu,” ucapnya dengan suara tenang dan penuh adab, khas seorang santri.

“Wa’alaikumussalam,” jawab ayah dan ibu serentak, tampak terkejut tapi tersenyum hangat.

“Perkenalkan, saya Hafiz. InsyaAllah, saya calon menantu kalian,” lanjut Hafiz sambil menundukkan badan lagi, menunjukkan rasa hormat.

“Terima kasih sudah menerima saya di sini. Rumah ini sederhana, tapi saya ingin mengenal Bapak dan Ibu lebih dekat.”

Ayahku mengangguk pelan, sementara ibu tersenyum ramah. Hafiz masuk dengan langkah tenang, menatap sekeliling rumah dengan rasa hormat, tetap menjaga adabnya, tidak asal menatap, duduk dengan sopan, dan tidak terburu-buru.

Aku menatapnya diam-diam, hatiku hangat. Meski rumah kami sederhana, kehadiran Hafiz di sini membuat semuanya terasa berbeda. Hangat, aman, dan penuh rasa hormat, membuat hatiku semakin yakin padanya.

Kami makan malam bersama, suasana sederhana, tapi hangat. Ayah dan ibu menyiapkan lauk pauk seadanya, tapi tersusun rapi dan penuh perhatian. Hafiz duduk dengan sopan di depan orang tua, menundukkan kepala ketika berbicara, menggunakan bahasa yang santun dan penuh hormat.

Setiap gerak-geriknya terlihat rapi dan terkontrol, benar-benar menunjukkan adab seorang santri, walau sebenarnya dia sudah bukan santri lagi. Ia bertanya tentang banyak hal, layaknya orang yang baru berkunjung ke suatu tempat.

Namun, begitu makan malam selesai, penyakit mesumnya kadang kumat, tapi tetap saja hanya saat kami berdua. Sekilas tatapannya berubah, lebih nakal tapi tetap manis. Hanya padaku, ia berani menunjukkan sisi hangat dan mesumnya yang tidak ia perlihatkan pada orang lain.

Aku hanya bisa menahan tawa kecil, dan degup jantung yang bertalu-talu setengah kesal. Sikap Hafiz yang berbeda ini membuatku merasa aman di hadapan orang tua, tapi tetap terasa dekat dan mesra di sisiku sendiri.

Perbedaan itu justru membuat hatiku hangat—Hafiz mampu menjaga adab ketika perlu, tapi juga tahu bagaimana membuatku tersenyum dan merasa istimewa ketika hanya kami berdua.

Saat waktunya tidur tiba, aku merasa bingung sendiri. Ada perasaan tidak enak hati ketika harus membiarkan Hafiz tidur di ruang tengah. Ruang sederhana tempat kami biasa menonton televisi. Kasur tipis dan selimut memang sudah kusiapkan di sana, tapi tetap saja terasa terbuka dan dingin.

Aku menatapnya sebentar, ragu, lalu berbisik pelan, “Maaf ya, Fiz… cuma ada ini. Kamar tinggal dua, satu buat aku, satu buat orang tuaku. Nggak mungkin aku sekamar sama kamu, kan belum halal.”

Hafiz tersenyum santai, lalu menepuk bahuku ringan. “Santai aja, Mer. Gak masalah kok. Aku nyaman di sini,” jawabnya, suaranya tenang dan tulus.

Rasanya hatiku langsung hangat mendengarnya. Di tengah kesederhanaan rumahku, Hafiz sama sekali tidak terlihat keberatan. Tidak ada keluhan, tidak ada canggung. Justru dengan sikapnya itu, ia membuatku merasa tenang. Aku menambah selimut untuknya, lalu sempat menatap wajahnya sebentar—dan diam-diam aku merasa bangga sekaligus terharu.

Momen kecil itu membuatku sadar, Hafiz bukan hanya soal tampan dan manis, tapi juga penuh pengertian. Di balik perhatian dan senyum ringannya, ada sesuatu yang membuatku semakin yakin: aku benar-benar beruntung bisa bersamanya.

Aku tidak bisa tidur, memikirkan Hafiz yang terbaring di ruang tengah. Beberapa kali aku bangun, mengintip dari balik pintu kamar. Mataku mencari-cari sosoknya di bawah cahaya redup lampu ruang tamu. Dalam hati aku resah, takut ia kedinginan, takut ia tidak nyaman.

“Kalau dia menggigil… apa salahnya kubawa masuk?” pikirku.

Namun, setiap kali kuperhatikan, ia justru terlihat tenang, bahkan mendengkur halus. Itu sedikit membuatku lega.

Akhirnya aku tertidur juga, sampai tiba-tiba sebuah sentuhan lembut di lenganku membuatku tersentak. Mataku terbuka kaget, dan kulihat Hafiz berdiri di tepi ranjang, wajahnya dekat sekali denganku.

“Sttt…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Aku kedinginan tidur di sana. Boleh di sini aja, ya?”

Jantungku langsung berdebar tak karuan. Ruangan ini hanya ditutupi dinding tipis, orang tuaku tidur di kamar sebelah. Jika mereka mendengar sesuatu, habislah aku. Tapi tatapan Hafiz begitu lembut, seakan memohon tanpa banyak kata.

Aku mengangguk kecil, wajahku panas menahan gugup. “Iya… tapi pelan-pelan ya, jangan sampai ketahuan,” bisikku.

Hafiz tersenyum samar, lalu dengan hati-hati masuk ke dalam selimutku. Tubuhnya yang hangat membuat jantungku makin kacau. Degupan itu terasa begitu keras, sampai aku takut dia bisa mendengarnya.

Begitu Hafiz berbaring di sampingku, tubuhnya langsung terasa hangat, membuatku ingin mendekat meski jantungku berdegup tak karuan.

Aku menoleh pelan, mata kami bertemu dalam temaram lampu kamar. Hafiz tersenyum tipis, lalu mendekatkan wajahnya ke arahku.

“Mer…” bisiknya pelan, suaranya rendah seperti alunan yang menenangkan.

Aku menggigit bibir, mencoba menahan degup di dada. Tapi begitu ia menyentuh pipiku, semua pertahanan runtuh. Bibirnya perlahan menyapu bibirku, lembut, dalam, membuatku tak kuasa menolak.

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel