Rahasia Merlin - 1
Siang itu kafe tidak terlalu ramai. Aku sedang membersihkan meja dan menata piring ketika dua wanita berpakaian syar’i masuk, masing-masing mengenakan cadar yang menutupi sebagian wajah. Dari cara berjalan dan aura mereka, aku bisa menebak mereka tidak terlalu tua. Mungkin lima tahun lebih tua dariku.
Mereka tersenyum sopan dan melangkah ke arah etalase kue.
“Boleh pesan kopi dan kue ini, Mbak?” tanya salah satu dengan suara lembut. Aku menulis pesanan mereka sambil tersenyum ramah.
Setelah menyiapkan minuman dan kue, aku mengantarnya ke meja mereka. Salah satu dari mereka menatapku dengan mata yang hangat dan sedikit penasaran.
“Maaf, Mbak… boleh tahu namanya siapa?”
Aku sedikit tersenyum, sedikit gugup tapi tetap sopan.
“Oh, saya Merlin, Mbak” jawabku.
Mereka tersenyum. “Senang bertemu denganmu, Mbak Merlin. Kami Aulia dan Sari,” katanya dengan nada bicara tenang, sopan, dan ramah.
Aku membalas senyum mereka. “Senang bertemu juga. Kalau boleh tahu, kalian tinggal di sini?” tanyaku ringan sambil duduk di seberang meja mereka sejenak, mengisi celah keheningan yang hangat.
“Kami dari Tasik,” jawab Aulia.
Awalnya aku kaget mendengar ‘Tasikmalaya,’ kota kelahiran Hafiz.
Percakapan kami mengalir lancar. Mereka bercerita sedikit tentang kota, tentang kafe, dan menu favorit. Setelah beberapa menit bercakap santai, tiba-tiba Mbak Aulia menatapku serius.
“Mbak Merlin… boleh kita bicara empat mata?” katanya dengan suara makin tegas.
Jantungku seketika berdegup lebih cepat, ada perubahan nada di sana. Tapi aku segera mengangguk. “Oh tentu boleh….”
Dia memimpin langkahku ke belakang kafe. Suasana yang awalnya hangat berubah tegang. Mbak Aulia menatapku dalam-dalam, nada bicaranya seperti menahan amarah dan intimidasi sekaligus.
“Denger Merlin… aku ini tunangannya Hafiz,” katanya pelan tapi tegas. “Mulai sekarang jangan dekati dia lagi, kalau hidupmu ingin baik-baik saja.”
Aku terkejut, dan sebelum sempat berkata apa-apa, dia menambahkan, “Dan jangan sekali-kali memberitahu Hafiz kalau aku datang menemuimu. Mengerti?”
Aku terdiam, merasa tersudut. Kata-katanya jelas mengandung peringatan, tapi juga rahasia yang menuntutku memendam ketegangan sendiri.
“Asal kamu tahu, aku dan Hafiz sudah menjalin hunungan selama lebih dari tiga tahun!”
Mbak Aulia menatapku beberapa detik, lalu berbalik dan meninggalkanku di belakang kafe.
Sunyi terasa mencekam, hanya tersisa jejak langkahnya yang menjauh dan peringatan yang terus bergaung di kepala.
Aku duduk termenung, kata-kata Mbak Aulia terus berputar di kepala. Ada sesuatu yang janggal.
Aku harus menjauhi Hafiz, orang yang selama ini paling menyayangiku, tapi tidak bisa mengonfirmasi ancaman itu padanya?
Bagaimana aku bisa menjauhi Hafiz dengan alasan masuk akal?
Kalau aku diam-diam menjauh, apakah Hafiz akan mengerti?
Apakah dia tidak akan marah, karena merasa ditinggalkan begitu saja?
Dan jika aku mencoba menanyakannya pada Hafiz tentang Mbak Aulia, berarti aku melanggar acamannya…
Dilema itu membuat dadaku sesak. Tidak ada jalan mudah. Semua pilihan terasa salah, dan aku merasa terjebak antara takut dengan ancaman Mbak Aulia dan rasa pada Hafiz.
Beberapa hari kemudian, Mbak Aulia datang lagi ke kafe, kali ini ditemani seorang lelaki setengah baya. Dari penampilannya terlihat seperti seorang ulama besar.
Kehadiran mereka membuatku tegang; aura serius yang mereka bawa terasa berbeda dari pertemuan sebelumnya. Jauh lebih intimidatif. Aku menahan napas sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum bicara.
“Aku… aku tidak bisa menjauhi Hafiz, Mbak.” Suaraku terdengar sedikit gemetar, tapi kubuat se-tenang mungkin.
“Tempat kost kami berdekatan, dan hampir setiap hari kami pergi-pulang kerja bersama. Menjauhi dia bukan pilihan yang bisa aku lakukan begitu saja.”
Mbak Aulia menatapku dalam-dalam, sementara lelaki di sampingnya hanya diam, menunggu.
Aku menelan ludah, kemudian menambahkan, “Kalau memang perlu, sebaiknya Mbak Aulia sendiri yang meminta Hafiz untuk menjauhi aku. Aku tidak punya cara lain tanpa melanggar apa yang Mbak katakan sebelumnya.”
Sunyi sejenak, hanya terdengar detak jam dan gemericik suara di kafe. Aku merasakan antara keberanian, keputusasaan, dan ketakutan dengan ancamannya. Tapi juga harus jujur tentang kondisi aku dan Hafiz.
Mbak Aulia berkata pelan tapi tegas, “Baiklah… tapi ingat, kalau dalam sebulan ke depan kamu tidak menjauhi Hafiz, tahu sendiri akibatnya. Ingat, aku sudah tahu siapa siapa dirimu!”
Kata-kata itu seperti palu yang menghantam kepalaku. Aku terdiam, dadaku sesak, sementara mereka berdua meninggalkan kafe dengan langkah tenang. Suasana yang awalnya biasa kini terasa berat dan menakutkan. Ancaman itu terus bergema di kepala, membuatku sadar bahwa setiap langkahku kini diawasi.
Setelah dua kali kedatangan Mbak Aulia, aku merasa limbung. Dilema menghimpit, tapi tak tahu harus berbuat apa. Menjauhi Hafiz hampir mustahil. Namun anehnya Hafiz sendiri tidak pernah menyinggung pertunangannya. Walau bercanda atau keceplosan, pada sering aku singgung nama Mbak Aulia saat ngobrol berdua.
“Fiz… kemain kafe kedatangan tamu istimewa, namanya Mbak Aulia, pakai cadar, katanya orang Tasik, apa mungkin itu tetanggamu?” ujarku, mencoba mengukur reaksinya.
Hafiz hanya tersenyum ringan, tanpa reaksi berlebihan. Malah ia menjawab santai, “Sama, FO aku juga kemarin kedatangan Rifan, ngakunya sih anak Bogor.”
Aku hanya bisa mencibir sambil tertawa, karena yakin dia berbohong. Aku memang sering cerita tentang Rifan, pemuda di kampungku yang menjadi idola banyak wanita, tapi anehnya sampai sekarang menolak pacaran.
Hafiz sama sekali tidak kenal Rifan, dan aku bisa pastikan, Rifan belum pernah main ke Bandung, apalagi belanja di Factory Outlet tempatnya Hafiz bekerja.
Dan sampai sejauh ini, Hafiz nyaris tak pernah membicarakan wanita lain, apalagi masa lalu atau mantan-mantan pacarnya. Sejak kenal hingga saat ini, sikapnya tetap hangat, tulus, dan membuatku merasa aman, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Lama-kelamaan aku mulai menyadari, semua kekhawatiran tentang Mbak Aulia mungkin terlalu dibesar-besarkan oleh pikiranku sendiri. Hafiz tidak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh. Mungkin Mbak Aulia sendiri hanyalah orang iseng yang datang sekadar mengganggu,
Sampai seminggu menjelang batas waktu yang diberikan Mbak Aulia, hubunganku dengan Hafiz semakin lengket. Akhirnya aku merencanakan pulang kampung selama seminggu, sebagai langkah perpisahan dengan Hafiz, tanpa melanggar pesan Mbak Aulia. Kebetulan bertepatan dengan libur Idul Adha.
Mungkin di kampung, aku bisa menenangkan diri sambil belajar pisah dengan Hafiz, secara pelan-pelan. Namun saat aku bicara dengannya, reaksinya justru mencengangkan.
“Fiz, liburan aku mau pulang seminggu. Kampungku kan jauh banget, dari Bandung saja bisa lima jam naik bus. Terus masih harus naik angkot… atau ojek,” kataku sambil menghela napas panjang, membayangkan perjalanan yang melelahkan, serta seminggu tak berjumpa dengannya.
“Aku ikut. Supaya kamu nggak capek sendirian,” ucapnya ringan, seakan itu hal paling wajar di dunia.
Jantungku langsung berdebar. Di satu sisi aku senang, diperhatikan sedemikian rupa oleh kekasih tercinta? Tapi di sisi lain, hatiku ciut. Bukan saja takut ancaman Mbak Aulia, tetapi kehidupan keluargaku di kampung jauh dari kata cukup, makan seadanya. Rumah sederhana dengan dinding retak, pekarangan berupa kebun kecil.
Sementara Hafiz, dengan tutur kata, wibawa, dan caranya berpakaian, selalu membuatku merasa jika ia berasal dari keluarga yang berada. Walau memang tidak pernah pamer atau sombong.
“Loh, bukannya kamu juga mau pulang ke Tasik?” tanyaku, mencoba memastikan niatnya itu.
“Iya,” jawabnya cepat, “tapi aku nganterin kamu dulu. Masa calon istri dibiarkan pulang sendiri, nanti aku dimarahi camer dong, hehehe”
“Terus ke Tasik kapan?”
“Ya nanti, setelah ngenterin kamu ke kampung.”
Aku terdiam beberapa lama. Kata-katanya ringan, tapi sukses membuat hatiku semakin berkecamuk.
“Nanti libur Idul Fitri, kamu yang ikut ke kampung aku. Biar ketemu sama camer juga, hehehe,” lanjutnya.
Aku terdiam, bukan itu maksudku. Rasa minder makin menyusup ke hatiku. Apakah ia benar-benar ingin ikut ke kampung yang terpencil? Apakah ia tahu betapa jauhnya, dan betapa sederhananya kehidupan keluargaku? Bagaimana jika ia kecewa?
Hafiz menatapku lama, seakan membaca setiap keraguan yang ada di kepalaku. Lalu, ia meraih tanganku perlahan dan menekannya hangat.
“Mer, jangan pikirkan itu. Aku siap berangkat. Apapun adanya kamu, aku tetap mencintaimu, Titik.” Pungkasanya yang tak mungkin aku sangkal lagi.
Setelah kupikir-pikir, masih ada waktu seminggu sebelum batas yang diberikan Mbak Aulia. Anggap saja ini sebagai kesempatan terakhir kami bersama, sebelum situasi menjadi lebih rumit. Maka, akhirnya aku menuruti keinginan Hafiz untuk menemaniku pulang kampung.
Dilema masih menghantui, tapi ada perasaan hangat karena masih bisa menghabiskan waktu bersama, sebelum berpisah yang tentunya akan membuatku terluka.
Setelah lulus SMA, aku merantau ke Bandung, bekerja di café, menabung untuk kuliah. Hidupku berubah saat Hafiz muncul.
^*^
