Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Mengantar Liana

Mas Daffi dan Friska. Mereka berdiri angkuh sambil memandang rendah ke arahku. Hei, apa-apaan si Friska? Dia itu kan cuma tamu. Ah, tapi apa yang bisa kulakukan?

Aroma parfum khas feminin yang berbau vanila, bercampur dengan aroma floral seketika terhidu olehku. Penampilan Friska kali ini juga lagi-lagi mampu membuatku seakan langsung terhujam ke dalam kerak bumi. Kulit seputih pualam yang khas seperti dewi kayangan dan hidung bangir, terpahat begitu cantik di wajahnya.

"Tante Friska, yuk, masuk!" Liana lalu menggandeng tangan Friska, kemudian mengajaknya ke dalam rumah. Ia melewatiku begitu saja.

"Eh, cucu nenek sudah pulang. Pasti capek, ya, habis pulang sekolah?" tanya Mama Juwita yang ikut bergabung bersama kami.

"Iya, Nek. Liana capek banget," jawab Liana manja. Ah, kenapa ia tidak bisa juga bermanja seperti itu padaku?

"Tapi Nek, tadi Liana seneng, deh, Nek. Tante Friska ikutan jemput, terus ngasih Liana boneka. Bagus banget."

"Oh, ya? Mana coba nenek lihat bonekanya."

Gadis kecil itu lalu mengeluarkan sebuah boneka barbie berbaju princess berwarna pink dari dalam tasnya.

"Wah, bagus banget. Jadi ngerepotin kamu ni, Friska, pake ngasih Liana hadiah segala."

"Nggak apa, nggak repot, kok, Tante. Saya senang bisa ngasih hadiah ke Liana." Wanita cantik itu berkata lalu tersenyum. Lubang kecil di salah satu sudut pipi semakin menambah pesona di wajahnya.

"Sini, Mas, tasnya biar Riana bantu letakkan di kamar," tukasku sambil mencoba untuk segera beranjak dari suasana yang sudah mampu membuat dadaku sesak itu.

Tanpa enggan menarik pandangannya sama sekali, Mas Daffi memberikan tas kerjanya. Ia kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya, memandangi wajah Friska.

***

"Mas, apa hari ini aku boleh ikut mengantar Liana les piano?" tanyaku pada Mas Daffi yang baru saja selesai mandi.

Iring semut di atas mata Mas Daffi seketika merapat. "Ngapain kamu mau pake nganter Liana segala? Udah kamu di rumah aja," ujarnya sambil menatap pantulan diri di cermin.

"Ya, sekali-sekali, Mas. Aku kan belum pernah ke tempat les Liana. Sebagai ibunya, ingin juga rasanya datang ke sana," tukasku dengan kalimat yang sudah kutata sebaik mungkin.

"Boleh, kan, Mas? Sekali aja, Mas."

"Terserah Liana saja! Kamu tanya dia baik-baik, kalau Liana nggak mau, kamu nggak usah maksa!"

Setelah selesai mematut diri, Mas Daffi langsung keluar kamar, menuju ruang makan. Aku yang ditinggalkannya begitu saja di kamar masih dapat merasakan aroma parfum maskulin yang Mas Daffi kenakan pagi ini.

Langsung kuhampiri Liana ke kamarnya. Nampak gadis kecil itu masih sibuk menata rambut panjangnya. "Sini, Nak, biar ibu bantu." Kuambil sisir dari tangan Liana lalu menyisiri rambutnya dengan penuh kasih. "Hari ini rambutnya mau diapakan, Nak? Kalau dikepang aja gimana?"

"Terserah," jawabnya sembari tangannya memainkan boneka pemberian Friska.

Gadis kecil di depanku terlihat cantik. Jika diperhatikan lebih lanjut garis wajahnya memiliki kemiripan dengan wajahku, tentu saja mirip dengan wajahku sebelum memiliki luka seperti sekarang. Dulu Papa Asmoro pun pernah menyatakan hal serupa.

"Dah, siap. Anak mama cantik sekali," pujiku pada gadis kecil itu seraya mengusap pelan kepalanya.

"Oh, iya, Liana, boleh nggak ibu ikut nganter ke tempat les?"

Liana merengut. "Mau ngapain?"

"Ibu cuma mau lihat tempat les Liana aja, Kok. Ibu, kan, belum pernah ke sana. Boleh ya, Sayang? Kata Papa, kalau Liana setuju, baru ibu boleh ikut."

Ia mengangguk pelan. Saking bahagianya, mataku sampai berkaca-kaca. Akhirnya aku bisa melihat tempat Liana menghabiskan sebagian besar waktunya di akhir minggu.

***

"Nanti kamu tunggu aja di deket mobil, nggak usah ikutan nganter Liana sampai pagar segala," ujar Mas Daffi yang sedang fokus menyetir.

"Loh, kenapa, Mas?"

"Apa perlu aku kasih tau alasannya?" Dia bertanya dengan tajam.

Aku menunduk, sudah memperkirakan apa yang akan keluar dari mulut Mas Daffi selanjutnya.

Baru saja aku akan menjawab Mas Daffi, ponselku berbunyi. Ada tanda pesan masuk di sana dari nomor yang tidak kukenal.

"Hai Riana. Udah lama ya kita nggak ketemu?"

"Kamu, kan, cuma ingin tau Liana les di mana. Buat apa pake nganter ke pagar segala? Di sini itu banyak preman, Aku gak mau kalau nanti mereka ganggu kamu." Mas Daffi bicara lagi, mengalihkan sejenak pikiranku akan isi pesan di ponselku.

Tapi, tunggu, apa yang dia bilang tadi? Aku nggak salah dengar, kan? Kenapa kata-katanya manis sekali? Membuatku serasa seperti disiram air es, sejuk sekali. Benarkah ia sekhawatir itu padaku?

"Lagian kasian kalau sampai teman-teman Liana nanti sampai melihat wajahmu. Nanti dia malu," ucapnya kasar di depan Liana.

Bahuku melorot. Baru saja ia membuatku serasa terbang tinggi ke langit, dalam sekejap ia menghempaskanku lagi ke bumi. Menyebalkan!

Aku sadar memang wajahku ini membuat takut sebagian orang, makanya aku tak pernah lupa untuk menutupinya dengan selendang saat sedang berada di luar rumah. Termasuk saat ini, aku juga mengenakan selendang di kepala.

Sebenarnya Papa Asmoro dulu pernah menawariku untuk melakukan operasi plastik di wajah. Tapi aku tolak, karena menurutku belum perlu. Pikirku saat itu, aku akan menunggu keputusan Mas Daffi saja. Jika ia yang menyuruh, tentu aku akan langsung mengiyakan. Lagi pula operasi plastik, kan, membutuhkan biaya yang sangat besar.

"Iya, Mas."

Mobil berjalan perlahan memasuki kawasan pemukiman yang sangat mewah. Tidak jauh dari gerbang utama, kami akhirnya tiba di salah satu ruko tiga lantai yang sangat megah. Pagar tinggi bercat biru lautnya berdiri angkuh menyambut semua murid yang datang. Ditambah lagi dengan hiasan berbagai ornamen bebatuan di dinding, semakin memperindah eksterior gedung itu. Banyak kendaraan roda empat yang lalu lalang mengantarkan anak mereka, sebaliknya jarang sekali terlihat kendaraan roda dua.

Mas Daffi memarkir mobil tak jauh dari pintu masuk. Setelah ia mematikan mesin, cepat-cepat kurapikan kembali letak selendangku, baru setelahnya keluar mobil dan membantu Liana turun.

Mataku seketika berbinar ketika mengetahui bahwa putriku bisa kursus di tempat semewah itu. Tanpa sadar kakiku berjalan melangkah mengikuti Liana dan Mas Daffi menuju gerbang.

"Eh, kamu mau ke mana? Diam saja di sana!" Mas Daffi berbalik badan demi hanya untuk memotong langkahku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah, melihat Liana memasuki tempat lesnya dari jauh saja.

***

Saat aku tengah menunggu Mas Daffi keluar dari pagar, datang sekawanan pemuda berpenampilan preman menghampiri. "Bu, sedekahnya, Bu. Asem ni mulut, udah lama ga ngerokok," ucap salah satu pemuda itu.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, tanpa menjawab apapun. Sama sekali tidak berniat memberi.

"Yah, Bu. Kita, tu, mau duit, bukan senyuman. Masa naik mobil bagus gini, ga ada duit," cibirnya. "Mana?" tangan salah seorang pemuda itu sudah memegang tanganku.

"Ok, sebentar." Baru saja akan mengeluarkan uang dari dalam dompet, Mas Daffi tiba-tiba sudah berada di belakangku.

"Heh, lepasin! Ngapain kamu pegang-pegang istri orang? Mau saya panggilin satpam?" ancam Mas Daffi kepada mereka.

"Jangan dikasih, Ri. Kebiasaan nanti, paling kalian pakai buat rokok, kan! Sudah sana kalian pergi!" Dengan bersungut-sungut mereka akhirnya pergi menjauh.

"Kamu itu ga usah sok baik pake mau ngasih uang segala ke mereka. Kebiasaan nanti!" ucap Mas Daffi lagi.

"Tapi ...."

"Makanya tadi aku bilang kamu ga usah ikut, di rumah aja. Dasar bandel. Kayak gini, kan, jadinya. Untung tadi aku cepat datang jadi kamu ga diapa-apakan sama mereka. Sekarang kamu langsung pulang aja. Ga usah nunggu sampai Liana pulang. Aku sudah menelepon Friska. Dia yang nanti akan menjemput Liana," titah Mas Daffi lagi.

"Tapi, kenapa harus Friska, Mas? Aku ini ibunya Liana, biar aku tunggu saja sampai Liana pulang nanti."

"Kalau aku bilang pulang, ya, pulang!"

"Tapi, Mas ...."

"Kamu ini kenapa, si, susah banget dikasih tau? Udah cepetan pulang! Aku mau langsung ke kantor. Nih, uang buat ongkos taksi." Selesai mengangsurkan selembar uang berwarna merah ke tanganku, Mas Daffi langsung masuk mobil dan meninggalkanku sendirian di sana.

Sepeninggal Mas Daffi, pelan-pelan senyumku mengembang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel