Pustaka
Bahasa Indonesia

Kesombonganmu Kubayar Tunai

64.0K · Tamat
DeealoF3
56
Bab
4.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Tujuh tahun kami menikah, selama itu pula Mas Daffi tidak pernah sekali pun mengakuiku sebagai istrinya. Latar belakang sebagai anak pemulung dan bekas luka di wajah membuatnya jijik menatapku. Bahkan pria itu baru mau menyentuhku ketika papa mertua mengancam tak akan mewariskan hartanya jika kami tak memberikan cucu. Sampai suatu ketika aku mengajukan satu permintaan. "Aku ingin operasi plastik, Mas.” "Nggak usah aneh-aneh, kamu! Walaupun wajahmu sudah tidak semenyeramkan sekarang, perasaanku padamu tetap tidak akan berubah!” Sakit rasanya. Meski telah dikaruniai anak yang cantik, entah mengapa kebenciannya padaku semakin mengakar. Mas Daffi mulai mendoktrin anak kami, Liana, untuk ikut membenciku, ibu kandungnya sendiri. Tunggulah, Mas, hingga kesombonganmu kubayar tunai!

RomansaIstriKeluargaSalah Paham

Bab 1.Suami yang Membenciku

"Aku sudah selesai, kembali sana ke tempatmu!" hardik lelaki itu tanpa sudi melihatku sama sekali. Aku tersentak.

Cukup mendengar nada bicara pria yang sudah tujuh tahun menjadi suamiku itu, aku langsung paham apa yang harus kulakukan.

Aku langsung bangkit menjauhinya dan menuju sofa di dekat pintu, tempat yang biasa kujadikan peraduan setiap malam.

"Tunggu!" Ia memutus langkahku yang baru saja akan menuju sofa.

"Iya, Mas. Mau apa lagi?"

"Malam ini kamu tidur di luar! Aku lagi ingin sendiri."

"Tapi, Mas, aku harus tidur di mana?"

"Terserah! Itu urusanmu!"

"Mas ...."

"Sudah sana pergi! Jangan lupa, tutup pintu!"

Tanpa bisa kutahan, air mataku turun dengan deras. Sabar Riana, sabar. Kamu kayak nggak tau aja sikap dia.

Kuhela napas dalam untuk membantu menenangkan dadaku yang mulai sesak. Dengan langkah gontai terpaksa aku keluar kamar, membawa selimut dan sebuah bantal, menuju ke kamar tamu.

Jika ia sedang punya masalah di kantor, Mas Daffi memang kadang suka memintaku tidur di tempat lain. Mau tidak mau, aku menurut.

Mas Daffi, partner tidur yang seharusnya membuatku merasa terlindungi, justru merupakan sosok yang paling sering menyebabkanku merasa sedih dan terluka. Pria sombong yang tidak akan pernah bisa tersentuh olehku, baik melalui cinta maupun kelembutan.

Sebenarnya sudah kesekian ratus kalinya sikap dingin Mas Daffi kuterima, sikapnya yang selalu tidak pernah menganggapku sebagai istrinya. Ia bahkan tak sudi memandangku sama sekali jika bukan karena terpaksa.

"Pergi sana!"

"Jangan dekat-dekat!"

"Wanita pembawa sial!"

Dan masih banyak lagi kata-kata menyakitkan yang ia lontarkan.

Aku, gadis yatim piatu yang hanya anak seorang pemungut sampah, dan Mas Daffi menikah tanpa didasari rasa cinta sedikit pun, tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Ayah Mas Daffi, Papa Asmoro yang telah menjodohkan kami. Tak dipedulikannya tentangan keras dari Mas Daffi dan Mama Juwita, istrinya. Ya wajar, mana mungkin seorang Daffi yang tampan dan kaya raya itu mau menikahiku yang hanya seorang gadis miskin? Terlebih saat itu ia juga sudah punya kekasih. Gadis cantik dari keluarga kaya berpenampilan nyaris sempurna, bernama Friska. Ditambah lagi dengan adanya bekas luka di wajah bagian kiriku ini, sehingga membuatku terlihat seperti sosok yang menyeramkan baginya.

"Ma, Daffi nggak bisa nikah sama perempuan itu! Daffi, kan, cintanya sama Friska! Tolong Daffi, dong, Ma!" ucapnya saat dulu Papa Asmoro menyuruhnya menikahiku.

Padahal waktu itu aku ada di hadapannya. Keterlaluan sekali, kan?

Namun, Mas Daffi terpaksa menikahiku karena ancaman dari sang ayah. Terkait haknya sebagai ahli waris. Jika tidak mau, ia tidak akan mendapatkan harta warisan sepeser pun.

Selama kami menikah, Mas Daffi sama sekali tidak mau menyentuhku. Walaupun kami tidur satu kamar, ia selalu menyuruhku untuk tidur di sofa dekat pintu. Ia pernah bilang bahwa jika bisa ia lebih memilih buta agar tidak bisa melihatku. Bahkan, terkadang ia hanya akan masuk ke dalam kamar jika aku sedang tidak ada di dalamnya, atau aku sudah tertidur. Ia akan mematikan lampu kamar agar tidak ada pantulan cahaya yang mampu membuat matanya dapat melihat keberadaanku. Aku? Awalnya sedih, tapi lama kelamaan aku jadi terbiasa.

"Riana, Papa ingin menimang cucu. Papa nggak yakin bisa menemani kamu lebih lama lagi di dunia ini. Dengan adanya anak, Papa yakin sikap Daffi bisa berubah." Kalimat Papa Asmoro kembali terngiang di telingaku.

Bahkan, di depanku pun Papa Asmoro menyuruh Mas Daffi untuk memperlakukanku sebagai istrinya. Entah dari mana, ternyata Papa juga tahu, jika setelah menikah Mas Daffi belum pernah menyentuhku sama sekali.

"Pokoknya, kalau sampai Papa mati, kalian nggak juga punya anak, kamu batal dapat warisan Papa!" ancam Papa pada Mas Daffi. Aku tahu jika itu hanya salah satu cara Papa untuk melindungiku.

Akhirnya demi memenuhi keinginan sang papa, Mas Daffi terpaksa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami padaku untuk pertama kalinya. Tanpa kata-kata mesra dan sentuhan lembut, Mas Daffi melakukannya dalam waktu yang sangat singkat dan suasana yang benar-benar gelap. Beruntung setelahnya aku langsung hamil.

Aku dan Mas Daffi dianugerahi seorang bayi perempuan yang cantik, kami memberinya nama Liana. Namun, sangat disayangkan, Papa Asmoro tidak sempat melihat Liana tumbuh dewasa, karena saat usia Liana menginjak lima tahun, papa mertuaku itu meninggal dunia.

Saat ini usia Liana sudah enam tahun. Ia sudah menjelma menjadi gadis kecil yang cantik dan pintar. Tapi yang paling membuatku sedih adalah sikapnya padaku yang tidak jauh berbeda dengan sikap ayahnya.

"Dimakan ya, Nak," ujarku seraya menyodorkan sepiring nasi goreng ayam suwir untuk Liana yang tengah duduk di meja makan bersama dengan ayahnya.

Liana hanya menggeleng sambil menutup mulut dengan kedua tangan. Pandangannya dialihkan ke arah Mas Daffi yang sedang asyik menikmati setangkup roti berisikan selai kacang.

"Loh, kenapa? Biasanya anak ibu suka nasi goreng ayam kayak ini. Cobain dulu, deh. Wanginya aja udah enak gini. Dimakan ya, Sayang, biar nanti sekolahnya makin semangat."

"Nggak mau! Liana kenyang, Bu!"

"Liana, kan, belum makan apa-apa dari tadi."

Gadis itu tetap menggeleng kuat. Ia bangkit dan mendekati papanya yang duduk di seberang. Untung saja aku berhasil menangkap tubuh kecilnya.

"Sayang, yuk dibuka mulutnya." Liana akhirnya mau membuka mulutnya. Aku cukup senang, ia akhirnya mau menurut. Namun, baru saja aku mau menyuapi Liana, sebuah tangan kekar memegangi tanganku.

Tiba-tiba saja Mas Daffi sudah berada di belakangku.

"Hei, kamu nggak denger anakku barusan bilang nggak mau? Ya sudah nggak usah dipaksa! Kalau punya telinga itu dipakai yang benar!" Dengan suara dinginnya, lagi-lagi Mas Daffi menghardikku kasar di depan Liana. Hih, rasanya ingin kuremas saja mulut suamiku itu, tapi tidak mungkin kulakukan. Karena biar bagaimanapun dia adalah lelaki yang harus aku hormati.

"Liana sayang, cepetan selesaikan sarapannya, setelah itu kita berangkat. Papa tunggu di depan ya," ujar Mas Daffi lembut, sangat jauh berbeda dengan sikapnya padaku tadi. Aku masih sangat bersyukur, karena walaupun ia membenciku, tapi ia begitu menyayangi putri kami. Mas Daffi lalu beranjak dari meja makan, meninggalkan aku dan Liana berdua saja.

Sepeninggal Mas Daffi, dengan mata kecilnya Liana menatapku tajam. "Ibu nggak usah lagi bikinin sarapan buat Liana, biar Bibik aja." Ia pun ikut beranjak pergi menyusul ayahnya.

"Eh, tunggu, cium tangan dulu, dong." Kuulurkan punggung tangan ke depan wajahnya.

Walau dengan wajah ditekuk, tapi Liana tetap mematuhi kata-kataku. Lalu dengan gerakan cepat, segera kucium kedua pipinya. Tak kupedulikan kalimat protes yang keluar dari mulut mungilnya. Tak apa, itu saja sudah membuatku sangat bahagia.