Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Sikap Mama Mertua

Segera kumanfaatkan waktu untuk menciumi pipi tembemnya, karena selama ini Liana hampir tidak mengizinkanku untuk menyentuhnya.

Aku hanya bisa menyentuhnya dengan sepuasnya saat ia tidur. Anakku itu ikut membenciku karena terpengaruh dari perlakuan buruk ayah dan neneknya yang hampir setiap hari selalu aku terima.

***

"Riana, kamu itu ga capek apa, tiap hari dihina Daffi terus? Mbok ya kamu itu pergi aja dulu sementara dari rumah ini?" Mama Juwita yang baru saja tiba, langsung mengeluarkan kata-kata andalan dari dalam mulut.

Kuhirup napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Berusaha agar tidak terpengaruh dengan kalimat tajam Mama Juwita.

"Suami dan anak saya, kan ada di sini, Ma. Jadi tempat saya ya di sini juga, saya ga bisa pergi," ucapku membalas ucapannya sesantai mungkin.

"Iya, tapi mama itu ga tega lihat kamu tiap hari selalu sedih karena ulah Daffi," ujarnya sarkas.

"Dulu, ada suami saya yang selalu ngedukung kamu. Sekarang suami saya udah ga ada, apa lagi yang kamu bisa harapkan di sini? Bahkan Liana saja tidak ingin berdekatan dengan kamu. Wajahmu itu udah bikin semua orang di sini merasa gak nyaman."

Aku sadari memang sepeninggal Papa Asmoro, sikap Mama Juwita dan Mas Daffi semakin 'baik' saja.

"Astagfirullah, Nyonya. Ga baik bicara begitu." Bik Sumi, asisten rumah tangga kami, mencoba menasehati.

"Bik, Bik Sumi ga usah ikut-ikutan, ya! Ga usah ngebela dia! Ini rumah anak saya, majikan yang udah ngegaji kamu. Berarti saya ini juga majikan kamu!"

"Ma-maaf, Nyonya. Saya hanya ...."

"Udah, Bik, ga papa," ujarku lembut pada Bik Sumi yang seketika pias karena bentakkan Mama Juwita tadi.

"Mama kan baru datang, gimana kalau istirahat aja dulu di kamar tamu, ya. Nanti Riana buatkan makanan kesukaan mama," tukasku berusaha mengusir Mama Juwita secara halus dari dapur.

Akhirnya ia meninggalkan kami.

"Ibu yang sabar, ya," ucap Bik Sumi. Bik Sumilah satu-satunya orang di rumah ini yang selalu baik padaku. Ia juga sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Ia juga yang selalu menghiburku tatkala terluka karena perlakuan Daffi, Liana dan Mama Juwita.

"Iya, Bik. Insya Allah. Apapun yang terjadi saya akan tetap bertahan selama Liana masih membutuhkan saya di sini." Itu juga yang sudah Papa Asmoro pesankan padaku sebelum ia meninggal dunia.

Walaupun sikapnya selalu kasar, tapi Mas Daffi juga tidak berani menceraikanku. Hal itu karena syarat untuk mendapat warisan papa secara keseluruhan adalah dengan tetap memperistriku. Namun, berbeda halnya jika aku yang lebih dulu mengajukan cerai. Disebabkan itu pulalah Mama Juwita selalu berusaha untuk membuatku tidak merasa betah berada di rumah ini. Ia akan berusaha agar akulah yang lebih dulu mengajukan cerai.

"Oh, iya, Bik." Mama Juwita datang lagi dengan gayanya yang angkuh. Suaranya sengaja dikeraskan untuk memanas-manasiku.

"Iya, Nyonya, ada apa?"

"Masak yang enak, ya. Sebentar lagi, Friska, calon mantu saya yang cantik, mau datang. Ia mau ikut makan siang di sini bersama Daffi dan Liana."

Degup jantungku bertabuh kencang mendengar kalimat Mama Juwita barusan. Friska--wanita cantik itu--mau makan siang di sini? Walaupun selama ini aku selalu berusaha untuk bersikap santai, tapi tak kupungkiri kehadiran Friska di rumah ini selalu mampu membuatku merasa ingin menghilang saja. Pesonanya selalu saja membuat pandangan Mas Daffi tidak dapat beralih. Bahkan ia juga sudah mampu mengambil hati Liana, anakku.

Mama Juwita yang paham betul bagaimana sikap Mas Daffi dan Liana, semakin gigih saja memperjuangkan agar Mas Daffi bisa segera memperistri Friska, terlebih sepeninggal Papa Asmoro. Friska yang dulu tidak pernah berani datang ke rumah, kini bisa dengan leluasa datang ke sini, sesuka hati. Tak dipedulikannya status Mas Daffi yang masih beristri. Ia merasa mendapatkan dukungan penuh dari Mama Juwita.

"Iya, Nyonya," jawab Bik Sumi seraya memperhatikan raut wajahku yang mulai berubah.

"Umm, dan kamu juga Riana, jangan lupa juga masak sup ikan gurame favorit Friska. Kata dia hari ini lagi ingin makan sup buatan kamu. Saya mau dia merasa diterima dengan baik di rumah ini," perintah Mama yang hanya kutanggapi dengan anggukan pelan.

Setelah selesai bicara, Mama Juwita lalu meninggalkan dapur, kembali menuju kamarnya.

Bik Sumi kembali mengusap pelan punggungku. Tanpa bisa kutahan, air mata sudah memenuhi kedua pelupuk mata. "Ibu ga papa? Atau biar saya saja yang menyelesaikan masaknya, ya. Ibu istirahat aja di kamar."

Aku menggeleng pelan. "Ga apa, Bik. Mata saya cuma pedih terkena bawang, kok. Nih, lihat, hidung saya juga ikutan berair," jawabku sambil mencoba tersenyum lalu menyambungnya dengan tawa hambar.

"Oh iya, Bik. Ikan guramenya udah disisikkan? Tinggal dipotong aja, kan? Bibik tolong bantu masakkan ikannya ya. Saya mau masak ayam goreng kesukaan Liana dulu."

Bik Sumi mematuhi perintahku. Dengan cekatan, ia langsung mengambil ikan gurame dari dalam kulkas, lalu memotongnya menjadi empat bagian. Setelah dicuci bersih, lalu ditaburinya dengan perasan air jeruk nipis dan sedikit garam, kemudian ia diamkan beberapa saat agar bumbunya meresap.

"Non Friska itu sebenarnya cantik, tapi sayang, ga ada laki-laki yang tertarik padanya." Bik Sumi memulai pembicaraan lagi sambil meneruskan aktivitas memasaknya.

"Hush, Bik. Ga boleh bicara begitu. Lagi pula dari mana Bibik tau kalau ga ada yang mau sama Friska?"

"Eh, Bu. Memang kenyatannya begitu, kok. Kalau ada laki-laki yang mau, mana mungkin sampai sekarang dia belum nikah? Sampai rela nunggu tujuh tahun hanya demi Pak Daffi jadi duda."

Aku hanya tersenyum mendengar celotehan dari Bik Sumi yang sedikit mampu membuatku terhibur. "Yah, mungkin, jodohnya belum ketemu, Bik. Jodoh itu kan, udah diatur."

"Bener si, Bu, tapi gimana mau cepet ketemu jodohnya, wong, tiap hari dia nempelin Pak Daffi mulu."

Tidak kupungkiri, perkataan Bik Sumi ada benarnya. Jika saja Friska tidak menghabiskan sebagian waktunya bersama Mas Daffi, bisa jadi saat ini ia sudah memiliki pasangan.

***

Jarum jam sudah terlihat segaris. Setelah menyelesaikan aktivitas di dapur, aku segera membersihkan diri. Agar saat Liana pulang nanti, ia tidak risih saat berdekatan denganku.

Beberapa menit kemudian terdengar suara bel pintu berbunyi.

"Sudah Bik, biar saya saja yang buka," ucapku memotong langkah Bik Sumi yang sedang menuju ke pintu. "Bibik tolong siapkan meja makan saja, ya."

Setelah handle pintu terbuka, nampak Liana sudah berdiri di depan sambil merengut.

"Lama banget, si, Bu, buka pintu nya!"

"Eh, anak ibu sudah pulang, capek ya, Nak?"

"Udah tau, masih nanya!" Gadis kecil itu bicara dengan ketus. Sabar, sabar, Riana.

Pandangan mataku kemudian beralih kepada dua sosok manusia yang berdiri di belakang Liana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel