Bab 5 – Penjaga Tanpa Wajah
Alira berdiri di hadapan gerbang lengkung yang memisahkan Taman Tanpa Waktu dari dunia berikutnya. Simbol mata terbuka di atas gerbang berdenyut pelan, seolah mengamati siapa pun yang hendak masuk. Cahaya di sekitarnya bergetar, tidak seperti cahaya biasa, melainkan seperti jaring-jaring hidup yang menguji keberadaan.
Raak hinggap di pundaknya. “Inilah akhir dari halaman luar. Di balik gerbang ini… Kerajaan di Antara Awan yang sesungguhnya dimulai.”
“Apakah masih banyak ujian?”
Raak menatapnya dengan sorot yang sulit diterjemahkan. “Bukan ujian, tapi pilihan. Dan tidak semua pilihan bisa dibatalkan.”
Alira mengangguk. Dengan satu tarikan napas panjang, ia melangkah.
Begitu kakinya melewati gerbang, dunia di sekitarnya berubah drastis.
Udara menjadi sangat dingin. Langit berubah menjadi campuran biru kelam dan ungu, dengan petir putih sesekali menyambar tanpa suara. Tanah di bawah kakinya keras seperti kristal, dan bangunan-bangunan raksasa menjulang di kejauhan—menara-menara tinggi yang terbuat dari batu mengambang, sebagian tertutup kabut.
Namun, yang paling menarik perhatian adalah lapangan luas yang membentang di hadapannya, dan di tengahnya berdiri sosok tinggi berkerudung. Wajahnya tersembunyi, tubuhnya dibungkus jubah panjang berwarna perak kelam yang tampak mengalir seperti asap.
Ia berdiri diam, tak bergerak, seolah telah menunggu sejak ribuan tahun lalu.
Raak mendekat pelan. “Itu adalah Penjaga Tanpa Wajah. Tidak semua yang memasuki kerajaan bisa melewatinya. Ia tidak bertarung. Ia hanya bertanya.”
“Bertanya?” Alira mengernyit.
“Ya. Tapi satu jawaban yang salah... dan kau akan kembali ke dunia bawah. Lupa segalanya. Bahkan tentang siapa dirimu.”
Langkah Alira terasa berat saat ia mendekat. Tanah di sekitar penjaga bergetar pelan. Ketika ia berjarak sepuluh langkah, penjaga itu akhirnya bergerak.
Ia mengangkat tangan kirinya. Di dalam telapak tangannya, muncul simbol bercahaya: tiga lingkaran bertumpuk.
Suara penjaga keluar bukan dari mulut, tapi dari udara di sekeliling mereka. Dalam, berat, dan menggema.
"Apakah kau datang untuk mengambil atau memahami?"
Alira terdiam. Suara itu bukan hanya terdengar, tapi terasa—menggetarkan tulang dan menembus pikirannya.
Ia menunduk sejenak, berpikir keras. Jawabannya tampak sederhana, tapi Alira tahu: ini bukan pertanyaan biasa.
“Memahami,” jawabnya akhirnya.
Cahaya dari simbol di tangan penjaga berkedip sekali.
"Apakah kau percaya dunia di atas ini lebih benar daripada dunia di bawah?"
Pertanyaan itu menusuk logika. Dunia bawah—desa, tanah, kehidupan nyata—adalah tempat ia dibesarkan. Tapi dunia atas ini menyimpan rahasia besar dan kebenaran yang terasa lebih dalam daripada dongeng mana pun.
“Tidak,” katanya pelan. “Keduanya benar. Tapi yang satu… disembunyikan.”
Simbol kedua muncul di tangan kanan sang penjaga: lingkaran dengan garis putus di tengah.
"Jika kebenaran yang kau temukan menghancurkan segalanya yang kau cintai, akankah kau tetap melangkah?"
Alira menggenggam bukunya. Ia teringat ibunya, rumah kayu kecil, pohon tua tempat ia biasa membaca. Tapi ia juga tahu, jalan yang telah ia pilih bukan jalan yang bisa kembali dengan tangan kosong.
“Ya,” jawabnya tegas. “Karena yang palsu hanya bertahan sementara. Aku ingin yang nyata.”
Penjaga itu menundukkan kepala. Kemudian, dari balik kerudungnya yang kelam, muncul sebuah sinar kecil—bukan wajah, tapi cahaya hangat yang memancar seperti bintang di dalam kegelapan.
Ia mengulurkan kedua tangannya. Di antaranya terbentuk sebuah bola cahaya sebesar apel, berwarna biru keperakan, berdenyut perlahan.
Raak menatap benda itu dengan kagum. “Itu adalah Inti Langit. Hanya mereka yang diterima oleh penjaga yang boleh memegangnya.”
Penjaga berbicara lagi.
"Peganglah. Tapi ingat: inti ini adalah kunci dan beban. Ia akan membimbing, tapi juga akan menuntut."
Alira mengulurkan tangannya.
Begitu ia menyentuh bola cahaya itu, dunia di sekelilingnya seolah diam. Angin berhenti. Langit membeku. Dan di dalam pikirannya, ia melihat peta—bukan peta wilayah, melainkan peta jalur rahasia yang tersembunyi di kerajaan.
Terowongan di balik menara. Ruang penyimpan naskah langit. Ruang gelap tempat suara-suara kuno berdiam.
Tapi di tengah semuanya, ada satu lokasi yang berkedip: Menara Tanpa Bayangan.
Suara Raak bergetar. “Itu tujuan akhir semua Penjejak Awan. Tapi belum ada yang pernah mencapainya.”
Alira membuka matanya. Penjaga telah menghilang, hanya menyisakan lingkaran simbol bercahaya di tanah.
Dan dari jauh, istana langit akhirnya terlihat utuh.
Menara-megara tinggi berputar perlahan di udara, dihubungkan jembatan-jembatan yang melayang bebas. Cahaya dari dalamnya berpendar, tidak stabil, seolah menahan sesuatu… atau seseorang.
Raak berkata pelan, “Kau punya peta. Kau punya kunci. Tapi ingat… kerajaan ini penuh rahasia yang bahkan tidak ingin ditemukan.”
Alira menatap ke depan.
Ia tahu, langkahnya kini bukan lagi eksplorasi biasa. Tapi misi.
Dan ia tak bisa berhenti di tengah jalan.
