Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 – Arsip yang Menyimpan Nafas

Langkah Alira bergema lembut di atas lantai kristal yang melingkar menaiki sisi menara. Setelah melewati Penjaga Tanpa Wajah dan menerima Inti Langit, pintu menuju istana terbuka, memperlihatkan dunia dalam kerajaan yang nyaris tak terbayangkan.

Menara tempat ia kini berada disebut Menara Arsip, satu dari tujuh bangunan utama yang melayang di atas awan kerajaan. Menurut cahaya peta dalam pikirannya, tempat ini menyimpan “Naskah-Naskah Bernyawa”—gulungan kuno yang bisa berbicara dan memilih siapa yang berhak membaca mereka.

Raak terbang rendah di sampingnya, sesekali memeriksa arah jalur. “Kita harus berhati-hati. Arsip ini dilindungi bukan oleh prajurit, tapi oleh ingatan.”

“Ingatan siapa?” tanya Alira.

Raak menoleh, matanya menyipit. “Ingatan siapa pun yang mencoba memalsukan kebenaran.”

Tangga kristal mengantarkan mereka ke sebuah aula luas berbentuk melingkar. Dindingnya dihiasi rak-rak melayang yang berputar perlahan, masing-masing menyimpan gulungan kertas, buku logam, dan lempengan bercahaya. Di langit-langit, terdapat pusaran cahaya seperti mata yang berputar lambat, mengawasi segalanya.

Di tengah aula berdiri Meja Pemanggil—sebuah meja bundar dengan ukiran simbol-simbol yang menyala saat Alira mendekat.

Ia menyentuhkan Inti Langit ke permukaan meja.

Seketika, cahaya meledak lembut. Simbol-simbol naik ke udara dan membentuk formasi huruf-huruf asing. Dari tengah meja, perlahan muncul satu gulungan besar, melayang, dan mengembang seperti membuka mulut.

Raak memberi isyarat. “Biarkan ia bicara terlebih dahulu.”

Dan benar saja—gulungan itu bersuara. Tapi bukan suara biasa. Ia terdengar seperti ribuan bisikan yang berbicara serentak dalam bahasa yang nyaris dikenali. Suara itu menyusup ke dalam kepala Alira, menyusun potongan makna.

“Pewaris cahaya. Telah terlalu lama kerajaan menanti pembaca sejati. Tapi tak semua yang terpilih diizinkan mengetahui semuanya.”

Alira menelan ludah. “Aku tidak datang untuk menguasai. Aku datang untuk mencari tahu… tentang ibuku.”

Suasana tiba-tiba sunyi. Rak-rak buku berhenti berputar. Udara menjadi berat, seperti sedang menahan napas.

Gulungan itu bergetar, lalu menggulung kembali. Suaranya berubah menjadi tajam.

“Nama Erima tercatat. Pengkhianat kerajaan. Penjaga simbol yang hilang.”

“Pengkhianat?” Alira mundur setapak. “Itu tidak benar.”

Raak menggeleng pelan. “Tenang. Mereka hanya menyampaikan catatan. Tapi catatan bisa salah.”

Gulungan membuka lagi. Simbol-simbol di atas meja membentuk gambaran: sosok seorang wanita dengan rambut perak, berdiri di hadapan menara langit yang terbakar.

“Ia mencuri satu dari Tiga Inti. Menghilang ke dunia bawah. Membawa kunci untuk menghentikan ramalan.”

Alira menggeleng keras. “Ibuku tidak mencuri. Ia menyembunyikan sesuatu… untuk melindungi!”

Simbol-simbol mulai berubah. Meja bergetar. Rak buku berdenting.

Raak berseru, “Kau harus kendalikan emosimu! Arsip bisa membaca perasaan dan menciptakan ilusi jika kau tidak stabil!”

Tapi sudah terlambat.

Tiba-tiba, seluruh aula berputar. Dinding bergeser. Lantai menghilang. Dan Alira jatuh—bukan secara fisik, tapi kesadarannya ditarik ke dalam Proyeksi Ingatan.

Ia berdiri di dunia yang berbeda sekarang.

Langit kelabu. Menara terbakar. Suara jeritan dan kilatan cahaya memenuhi udara. Di tengah kekacauan itu, berdiri seorang wanita yang sangat ia kenal: ibunya.

Erima berlari, menggenggam bola cahaya berwarna emas—berbeda dari Inti Langit yang biru. Di belakangnya, sosok-sosok berjubah mengejarnya, membawa tongkat yang menyemburkan kilatan petir biru.

Erima menoleh, tatapannya menembus waktu.

“Alira…” bisiknya. “Maafkan Ibu. Semua ini untuk mencegah kehancuran. Bukan mengkhianati, tapi menunda takdir.”

Lalu semuanya menghilang.

Alira tersentak. Ia kembali berdiri di ruang arsip, nafas memburu, keringat dingin membasahi pelipis.

Raak mendekat. “Apa yang kau lihat?”

“Potongan sejarah… kebenaran yang disembunyikan.” Ia menggenggam erat Inti Langit. “Ibuku bukan pencuri. Ia pelindung. Ia menyelamatkan sesuatu… sesuatu yang ingin dimusnahkan kerajaan sendiri.”

Gulungan kembali terbang rendah dan bicara dengan nada lebih tenang.

“Kebenaranmu diterima. Tapi belum lengkap. Jika ingin memahami semuanya, kau harus ke Menara Tanpa Bayangan. Hanya di sanalah sejarah asli disimpan, dan hanya yang membawa Inti Langit yang bisa membukanya.”

Alira menatap Raak. “Bagaimana kita ke sana?”

Raak membuka sayapnya. “Jalan menuju menara itu tidak bisa dilalui dengan peta. Kau harus menemukan Tangga Terselubung—yang hanya muncul ketika langit dan tanah bercermin.”

“Bercermin?”

Raak tersenyum tipis. “Kita harus menunggu malam… dan badai.”

Alira mengangguk. Meski lelah, hatinya justru semakin yakin. Kini ia tahu bahwa misi ini bukan hanya tentang menjelajahi kerajaan. Ini tentang membersihkan nama ibunya. Tentang mengungkap sejarah yang telah diputarbalikkan.

Dan ia akan melakukannya, meski harus menghadapi seluruh langit sekalipun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel