Bab 3 – Bayang-Bayang yang Menyalin
Langit berwarna ungu senja memudar menjadi biru pekat saat Alira berdiri di ujung awan terakhir. Di depannya terbentang gerbang besar yang tampak menggantung di udara, terbuat dari batu hitam mengilap dan dihiasi simbol-simbol bercahaya yang terus berubah bentuk.
Gerbang itu berdetak—ya, berdetak—seperti jantung hidup yang terbuat dari batu dan cahaya. Suara gema halus terdengar setiap kali simbolnya berganti: Tung... tung... tung...
Raak hinggap di atas tiang batu yang mengambang tak jauh dari Alira. “Kau telah melewati Perbatasan Langit. Tapi jangan terkecoh. Apa yang akan kau hadapi di balik gerbang ini... tidak akan seperti apa pun yang kau bayangkan.”
“Aku tidak pernah membayangkan apa pun,” jawab Alira jujur. “Semua ini... sudah di luar pikiranku.”
Raak menatapnya, matanya bersinar keemasan. “Bagus. Yang berbahaya adalah mereka yang datang dengan keyakinan, bukan dengan kehati-hatian.”
Alira mendekat ke gerbang. Simbol di tengah pintu mulai berpendar saat ia mengangkat buku warisan ibunya. Tanpa ia perintah, buku itu terbuka dengan sendirinya dan halaman-halaman bergulir cepat sampai berhenti pada simbol lingkaran dengan lima garis menyilang.
Simbol yang sama kini muncul di pintu. Cahaya menyala terang—dan pintu terbuka perlahan dengan suara rendah, seperti raksasa yang terbangun dari tidur panjang.
Apa yang ada di balik pintu membuat Alira terpaku.
Ia melihat... dirinya sendiri.
Sosok di hadapannya persis dirinya—dari rambut keperakan, jubah, hingga tatapan mata yang sama-sama terkejut. Tapi ada satu perbedaan mencolok: salinan dirinya itu memegang buku yang kosong, tidak bersinar, dan matanya... datar. Tanpa emosi.
“Salinan?” bisik Alira.
Raak mendekat dan berbisik cepat, “Hati-hati. Kau berada di Ruang Cermin. Setiap yang masuk ke sini akan diuji oleh versi dirinya sendiri. Bukan sekadar ilusi, tapi representasi dari apa yang kau sembunyikan dari dunia—dan dari dirimu sendiri.”
Salinan Alira melangkah maju.
“Kenapa kau ke sini?” tanya salinan itu, suaranya sama persis tapi nadanya hampa.
“Aku mencari kebenaran.”
“Benarkah? Atau kau hanya ingin menjadi istimewa?”
“Aku...”
Salinan itu mendekat. “Kau selalu merasa tidak cukup. Di desamu, kau hanya gadis aneh dengan buku tua. Di tempat ini, kau pikir kau akan menjadi pahlawan?”
Simbol-simbol di sekeliling ruangan mulai bergetar. Lantai awan berubah menjadi permukaan cermin. Di sekeliling Alira, puluhan bayangan dirinya muncul—semua dengan ekspresi berbeda: marah, takut, malu, dan satu yang menangis.
Raak terbang di atas mereka, cemas. “Alira! Jangan dengarkan suara mereka. Temukan simbol aslimu. Ingat: kau adalah Penjaga Simbol. Hanya kau yang bisa membedakan mana cahaya dan mana pantulan!”
Alira menggenggam bukunya erat-erat. Ia menutup matanya.
Bayangan itu terus berbicara—menyerangnya dengan kata-kata yang terasa terlalu akurat, terlalu dalam. Ia merasa seolah diseret ke pusaran cermin, kehilangan pijakan.
Lalu ia teringat: buku itu tidak hanya menyimpan simbol dari luar. Ia pernah membaca halaman kosong yang berubah isi sesuai pikirannya.
Ia membuka buku itu perlahan. Halamannya kosong.
“Aku… takut,” bisik Alira, suaranya gemetar. “Tapi rasa takutku bukan alasan untuk berhenti.”
Lalu, di halaman kosong itu, muncul satu simbol. Simbol sederhana berbentuk garis vertikal tunggal—sangat berbeda dari yang rumit lainnya.
Raak melihatnya dari kejauhan dan berseru, “Itu simbol Kejujuran! Ucapkan kebenaranmu!”
Alira berdiri tegak, menatap langsung ke mata salinannya. “Ya. Aku takut. Aku merasa kecil. Aku tidak tahu apakah aku mampu. Tapi aku memilih untuk tetap berjalan.”
Cahaya menyembur dari bukunya. Bayangan-bayangan di sekelilingnya hancur seperti kaca yang dihantam badai. Ruangan berguncang. Salinan Alira mulai retak, lalu pecah menjadi debu berkilau yang melayang ke udara.
Cermin-cermin menghilang. Lantai kembali menjadi awan.
Raak turun, matanya membulat kagum. “Kau melewati ujian terdalam.”
Alira jatuh berlutut, napasnya berat. “Kenapa terasa... sangat nyata?”
“Karena itu nyata. Rasa takutmu, ragumu, semuanya adalah bagian darimu. Tapi kau memilih untuk tidak tunduk padanya.”
Lalu sebuah jembatan dari cahaya muncul di depan mereka. Kali ini, jembatan itu tidak membimbing ke arah awan, tapi ke arah pulau besar melayang yang dikelilingi kabut emas. Di sana, terlihat siluet menara dan taman melayang.
Raak berbisik, “Itu... adalah halaman luar dari Kerajaan di Antara Awan.”
Alira berdiri perlahan. Buku di tangannya kini tidak bersinar, tapi terasa hangat.
“Berapa banyak lagi ujian yang harus kuhadapi?” tanyanya.
Raak menoleh. “Sebanyak kebohongan yang harus dipecahkan. Sebanyak teka-teki yang kau tinggalkan sendiri. Tapi satu hal pasti, Alira... kau bukan lagi hanya gadis dari desa. Kau kini Penjejak Awan.”
Dan dengan langkah pelan, Alira menapaki jembatan cahaya menuju kerajaan yang telah lama tersembunyi dari sejarah dan kebenaran.
