Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 – Tangga Menuju Dunia yang Terlipat

Tangga spiral itu tampak tak berujung. Setiap langkah yang diambil Alira terasa seperti memasuki lapisan-lapisan waktu. Cahaya keemasan yang terpancar dari dinding batu seolah berasal dari simbol-simbol bercahaya yang terukir di sana—simbol yang sama dengan yang ada di buku warisan ibunya.

Raak, sang gagak hitam bermata emas, terbang mengitari lorong itu perlahan, seperti penjaga yang memastikan Alira tidak tersesat.

"Berapa jauh lagi?" tanya Alira, suaranya menggema dalam lorong sempit.

Raak tidak menoleh. "Jarak tidak berarti apa-apa di tempat ini. Yang penting adalah niatmu."

Tangga itu akhirnya berakhir pada sebuah pintu batu berbentuk setengah lingkaran. Di tengahnya, terukir lambang menyerupai lingkaran dengan tiga garis yang saling bersilangan. Begitu Alira menyentuh lambang itu, buku di tangannya bergetar, lalu terbuka dengan sendirinya pada halaman yang penuh dengan simbol yang bersinar terang.

Seketika, pintu batu terbuka ke samping. Angin dingin berembus dari baliknya.

Alira melangkah masuk.

Apa yang ia lihat membuat napasnya tercekat.

Di hadapannya terhampar ruang luas seperti gua, namun langit-langitnya dipenuhi awan yang melayang rendah. Di atas awan-awan itu berdiri reruntuhan menara, jembatan gantung yang melayang di udara, dan benda-benda aneh yang seolah melayang tanpa penopang. Simbol-simbol bercahaya membentuk jalur di udara, membimbing arah langkah.

"Ini… ini bukan dunia bawah," gumamnya.

"Ini adalah Perbatasan Langit," jawab Raak. "Tempat di mana dunia manusia berakhir, dan dunia langit dimulai. Hanya yang terpilih yang bisa melangkah lebih jauh."

Alira menatap jalur bercahaya di udara, seolah-olah simbol-simbol itu menunjukkan arah. Tapi satu hal yang ia sadari: tak ada jalan setapak. Untuk mencapai titik berikutnya, ia harus melompat ke atas awan.

"Jalan ini tidak bisa dilalui dengan kaki biasa," ucap Raak, hinggap di pundaknya. "Kau harus percaya pada simbol. Baca mereka. Biarkan mereka menuntunmu."

Alira membuka kembali buku itu. Kata-kata bercahaya menyatu satu sama lain, membentuk satu kalimat:

"Hanya mereka yang menyebut nama langit pertama yang bisa menginjak awan tanpa jatuh."

“Nama langit pertama?” gumamnya. Ia mengingat semua cerita ibunya tentang langit, bintang, dan kata-kata yang dibisikkan dalam dongeng sebelum tidur.

Lalu ia berbisik pelan, “Tharell.”

Saat kata itu diucapkan, simbol-simbol bercahaya melonjak dari buku dan membentuk jembatan tipis dari cahaya ke awan pertama.

Dengan napas ditahan dan jantung berpacu, Alira melangkah.

Kakinya menginjak awan itu seperti tanah padat. Ia masih berdiri. Ia tidak jatuh.

“Satu langkah kecil bagimu. Tapi besar bagi nasib langit,” ucap Raak, terdengar geli.

Alira mengikuti jalur cahaya itu. Setiap awan yang diinjak mengeluarkan nada nyaring, seperti suara lonceng kristal. Ia melompati celah-celah di antara awan, melintasi reruntuhan melayang, dan melihat dari kejauhan pulau-pulau terapung dengan bentuk aneh.

Namun, sesuatu mulai berubah.

Awan-awan itu bergerak pelan, seperti sedang menggiring Alira ke arah tertentu. Raak pun terlihat gelisah. “Hati-hati. Kita sudah melewati batas peta lama. Ini bukan jalur utama menuju kerajaan.”

“Apa itu berarti aku tersesat?”

Raak tidak menjawab. Ia malah terbang lebih tinggi, mencoba melihat arah.

Tiba-tiba, dari balik kabut ungu, muncullah sesosok makhluk besar.

Itu adalah Bayang Penjaga—makhluk hitam setinggi lima meter, dengan tubuh mirip kabut padat dan wajah tanpa mata. Di dadanya terdapat simbol bercahaya yang sama dengan lambang di pintu batu tadi. Ia tidak memiliki mulut, tapi suara gemanya menyebar ke seluruh udara.

"Kau bukan penerus. Kembali ke tanahmu."

Alira menggenggam buku itu erat-erat. “Aku tidak datang untuk merebut. Aku datang untuk mengerti.”

"Tak ada pemahaman di langit. Hanya perintah dan kunci."

Raak berteriak dari kejauhan, “Bacalah halaman ketiga belas! Cepat!”

Alira membuka buku itu. Di halaman ketiga belas, terdapat gambar Bayang Penjaga, dan simbol di bawahnya terbaca jelas:

"Cahaya akan menelan kegelapan, bila namanya disebut."

Di bawahnya, tertulis satu kata:

"Seryon."

Tanpa berpikir panjang, Alira mengucapkan kata itu lantang. “SERYON!”

Simbol di dada Bayang Penjaga menyala terang. Tubuhnya mendesis, lalu menghilang dalam pusaran kabut. Awan-awan di sekitarnya tenang kembali.

Raak kembali turun dan hinggap di bahu Alira. “Berani, dan cukup pintar untuk tak lari. Kau benar-benar bisa membacanya.”

Alira menatap tempat makhluk itu menghilang. “Apa semua penjaga akan sekuat itu?”

“Tidak,” jawab Raak, “Beberapa hanya bisa dilawan dengan logika. Tapi sisanya… dengan pengorbanan.”

Sebelum Alira sempat bertanya lebih jauh, awan di depannya terbuka. Sebuah istana mulai terlihat di kejauhan—melayang di atas awan ungu, menara-menara menjulang, dikelilingi lingkaran simbol bercahaya.

“Kerajaan di Antara Awan…” bisiknya.

Namun Raak mendekat dan berkata pelan, “Itu baru bayangan luar. Yang asli tersembunyi di balik dimensi. Kau belum tiba. Ini hanya ujian pertama.”

Alira menarik napas dalam. Ia tahu petualangan ini belum mencapai puncaknya. Tapi langkah pertamanya sudah melampaui batas dunia biasa. Dan ia tidak akan mundur.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel