Bab 1 – Pustaka yang Tak Terdaftar
Desa Elrath berdiri di antara lembah-lembah berkabut yang jarang disentuh matahari. Penduduknya percaya, jika seseorang menatap langit terlalu lama, pikirannya akan ditelan awan.
Alira, gadis berusia tujuh belas tahun, adalah pengecualian dari aturan itu.
Setiap subuh, sebelum matahari mengusir embun, ia memanjat bukit tua dan menatap langit ungu dengan penuh keyakinan. Di dadanya tersemat keingintahuan yang tak bisa dijinakkan—dan semuanya bermula dari satu buku aneh yang ia temukan di bawah lantai rumah kayu peninggalan ibunya.
Buku itu tak memiliki judul. Kulitnya terbuat dari bahan aneh, seperti kain namun keras seperti batu. Yang membuatnya berbeda adalah, tulisan di dalamnya bersinar samar dalam kegelapan—huruf-huruf yang tak dikenalnya, membentuk simbol-simbol aneh seperti mata, lingkaran berujung patah, dan garis-garis yang tampak bergerak bila ditatap lama.
Ia tahu, buku itu tidak berasal dari dunia ini.
Hari itu, Alira memutuskan untuk mencari jawaban. Bukan dari orang-orang desa yang terlalu sibuk menghitung panen atau takut pada dongeng-dongeng kuno. Ia menuju satu tempat yang hampir dilupakan semua orang: Pustaka Orlan.
Pustaka itu terletak di kaki bukit, tersembunyi di balik akar pohon-pohon raksasa. Bangunannya tak terlihat dari jalan utama. Bahkan, beberapa warga mengira itu hanya gudang tua. Tapi Alira tahu, perpustakaan itu masih menyimpan sesuatu—karena ibunya dulu sering menghilang ke sana diam-diam, membawa buku dan pulang dengan mata berbinar.
Ketika ia mendorong pintu kayu berat itu, suara engsel berderit memecah keheningan.
Udara di dalamnya lembap, berbau kertas tua dan tinta yang nyaris mengering. Rak-rak buku menjulang hingga langit-langit, sebagian tertutup jaring laba-laba dan debu yang tebal. Di sudut ruangan, seorang pria tua dengan rambut seputih salju duduk di balik meja kayu penuh coretan.
"Selamat datang di tempat yang tidak pernah dicari," kata pria itu tanpa menatap. "Dan selalu dicari ketika dunia mulai runtuh."
Alira menelan ludah. "Anda Tuan Orlan?"
"Sudah bertahun-tahun tak ada yang menyebutku begitu." Ia menatap Alira dengan mata kelabu yang tampak menembus kulit. "Apa yang kau bawa, anak langit?"
Alira terdiam. Ia membuka tas kain di bahunya, mengeluarkan buku aneh itu, dan meletakkannya perlahan di atas meja.
Sekonyong-konyong, ruangan menjadi lebih dingin. Lampu minyak di dinding berkedip meski tak ada angin. Buku itu terbuka dengan sendirinya, halaman-halamannya membalik cepat seperti terbangun dari tidur panjang.
Tuan Orlan menarik napas dalam. "Sudah kuduga. Ini bukan sekadar buku."
"Apa maksud Anda?"
Ia mendekat. "Ini adalah Kunci Langit—satu dari tiga peninggalan kuno yang bisa membuka gerbang menuju Kerajaan di Antara Awan."
Alira mengerutkan dahi. "Kerajaan itu... hanya dongeng, kan? Cerita tidur untuk anak-anak."
Tuan Orlan menggeleng pelan. "Dongeng hanyalah ingatan yang terlalu lama dilupakan. Kerajaan itu ada. Mengambang di antara kabut, tersembunyi dari mata manusia biasa. Dan kau... kau punya darah yang bisa membangunkannya."
“Darah?” Alira mundur setengah langkah.
“Darah dari penjaga simbol, mereka yang bisa membaca bahasa langit. Dan hanya mereka yang bisa membuka jalur ke atas.”
Tiba-tiba, seekor burung gagak mendarat di jendela. Hitam legam, matanya berkilat emas. Ia memandang lurus ke arah Alira dan berbicara.
"Waktumu hampir habis. Rasi bintang ke-13 sudah muncul. Gerbang akan terbuka malam ini."
Alira terperangah. “Burung itu… bicara?”
"Namanya Raak," jawab Orlan. "Dia penunjuk jalan. Kau harus mengikutinya saat malam tiba, atau gerbang akan tertutup selama seratus tahun."
Alira memeluk buku itu. "Tapi... aku tidak tahu harus ke mana. Atau apa yang harus kulakukan!"
Tuan Orlan menatapnya dengan tajam. “Tidak ada yang tahu ketika petualangan dimulai. Tapi yang bertahan adalah mereka yang berani melangkah.”
Langit mulai berubah warna di luar jendela—ungu pekat berkilau dengan titik-titik cahaya yang membentuk simbol yang mirip dengan isi buku.
Tuan Orlan mendekatkan wajahnya ke Alira, suaranya berubah menjadi bisikan. “Saat kau mencapai awan, jangan percaya pada apa pun yang tampak terlalu sempurna. Kerajaan itu menyambut tamu, tapi tidak selalu membiarkan mereka pulang.”
Dan sebelum Alira bisa bertanya lebih lanjut, lantai perpustakaan bergemuruh.
Rak-rak buku bergeser sendiri, membentuk lingkaran di tengah ruangan. Di dalamnya, muncul tangga spiral yang turun ke dalam tanah, memancarkan cahaya keemasan dari bawah.
Raak mengepakkan sayapnya dan melayang turun ke tangga, suaranya bergema:
"Turunlah, penjaga simbol. Perjalananmu dimulai di tempat dunia terlipat."
Alira menatap ke dalam kegelapan bercahaya itu. Tangan gemetar, hati berpacu. Tapi ia tahu, ini saatnya.
Ia melangkah.
Dan dunia tak akan pernah sama lagi.
