Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KPM - 6

Klinik sore hari, jumlah pasien yang datang sudah mulai berkurang. Tidak ada antrian pasien yang nampak duduk di depan ruang periksa Althea, hanya beberapa saja yang masih berada di ruang observasi dan tindakan. Dua orang balita memerlukan infus cairan karena diare yang cukup parah, dan seorang anak sedang menunggu untuk dirujuk ke Rumah Sakit karena ada indikasi Demam Berdarah.

Pintu ruangan Althea menjeplak terbuka, Yolanda menyerbu masuk. Althea yang sedang menikmati semangkuk salad buatan Mbok Mar terlonjak kaget, nyaris saja ia menelan bulat-bulat potongan buah-buahan di dalam mulutnya. Yolanda mendorong Althea yang sedang terduduk di kursi hingga kursi itu meluncur membentur dinding di belakangnya.

“Ngaku, Thea. Ojok gawe-gawe alesan!”

“Apaan, sih Yol?” Althea mencoba menggeser letak kedua tangan Yolanda yang berada persis di sisi kanan dan kiri tubuhnya.

“Anaké sopo yang semalam telepon kamu!”

“Anak? Anaké sopo?”

“lyoh, lha piye toh? Tadi malam kan kamu bilang anak kamu telepon. Trus, kamu kabur dari jamuan makan malam. Nggak biasané kamu gitu, Thea! Siapa dia?”

Menyadari tindakan spontannya semalam menimbulkan pertanyaan di benak koleganya, Althea hanya mampu meringis. “Oh, itu Adelio. Anaké tetangga sebelah rumah. ltu loch sing jareku kembar, sing sering mainan ndek rumah.”

Altahea sengaja memberikan informasi sekilas tanpa menjelaskan keadaan orangtua Si Kembar. la tidak ingin sahabat-sahabatnya mengetahui kenyataan tentang siapa dan seperti apa orangtua Si Kembar. Tidak mau membuat kegaduhan dan spekulasi di antara para sahabatnya.

“Anaké tetangga? Lha kok kowe sing ngurus?” celetuk Gania yang meyusul masuk tidak lama setelah Yolanda mendorong kursinya.

“Ya soalé orangtuané ke luar kota terus kembarane sakit demam tinggi. Makanya semalam dia telepon aku itu.”

Yolanda dan Gania saling lirik, berbicara dengan tatapan mata mereka. Mereka Althea dengan penuh curiga. “Baik amat kowe jadi tetangga, anaké orang sakit kamu pulang. Jangan-jangan anak tetangganya seumur Dokter Marvel!”

“Ngawur, ya nggak lah mereka masih 4 tahun.” Tawa Althea terdengar nyaring karena membayangkan Si Kembar tiba-tiba tumbuh sebesar koleganya yang terkenal ganteng dan idaman ibu-ibu pasien disini.

“Ora mungkin nek nggak onok apa-apané...” Sahut Gania dengan logat medok-nya, sambil sedikit mencibir tanda tidak percayanya pada Althea.

“Papané DuRen yoh, ngaku!” Kali ini tembakan Yolanda benar-benar tepat sasaran dan membuat Althea gelagapan.

“Wah bau-baunya ada yang mau modus PDKT sama Papanya tapi ndeketi anak-anaké.”

“Ngawure loh puoll! Nggak ada ya, aku cuma kasihan sama anak-anak itu, kurang dapat perhatian orangtuanya. Sering banget ditinggal sama asisten rumah tangga sama pengasuhnya. Pengasuhnya saja tiap bulan ganti.”

Gania dan Yolanda mengendikan bahu mereka, saling pandang dan memutuskan untuk menghentikan topik ini melalui pandangan mata mereka.

“Ngomong-ngomong karena kemarin kamu pulang duluan, Dokter Diana mengenalkan ke kita 2 Dokter Anak baru lulus dan beberapa Dokter Umum baru yang tertarik untuk bergabung dalam Klinik ini.” Gania mencoba mengganti topik pembicaraan mereka.

“Wuih, mantap bener Dokter Diana. Terus kapan mereka mulai bisa gabung?”

“Aku sudah sampaikan ke bagian Personalia untuk mengatur jadwal jaga mereka. Kalau soal pendapatan mereka sudah aku jelaskan sistem di sini seperti apa, dan mereka sama sekali nggak keberatan. Nanti bagian personalia yang mengkontak mereka.”

“Thanks God! Paling nggak bulan depan kita sudah bisa bernafas lega ya karena jumlah personil kita sudah bertambah.”

Disaat ketiganya sedang asik mendiskusikan jadwal rolling jaga dan praktek, ponsel Althea bergetar. Sebuah notifikasi WA muncul dengan pop-up messege yang tertera di layar membuat mood-nya anjlok seketika.

“Ntar aku mau ke Klinik. Penting! Kamu jangan kemana-mana”

Althea tidak membalas pesan itu, sedang tidak ingin ribut dengan Calista, saudara sepupunya. Masalah warisan Opa membuatnya selalu dalam masalah. la menarik nafas panjang, tidak habis pikir kenapa keluarga tantenya itu selalu bertingkah demikian. Padahal Opa sudah berbaik hati dengan memberikan satu perusahaan distribusi alat medis untuk dikelola Om Gunawan, suami tante Rania. Bukan perusahaan besar, baru berjalan sekitar 3 tahunan, namun jika dikelola dengan baik harusnya bisa jauh lebih berkembang.

“Kamu kenapa?” tanya Gania.

Althea mengendikan bahu, tanda malas membicarakan hal ini. “Biasa, Gank Riweh. Calista bilang mau kesini nanti.”

Gania tersenyum, menepuk pundak sahabatnya. “Kamu pasti bisa menghadapi ulet keket macam dia.”

“Kalau perlu bala bantuan buat tawuran, panggil aku ya. Aku praktek sore ini, kalau cuma sekedar jambak-jambak manja rambut dia juga masih bisa kok.” Sahut Yolanda sambil berakting menggulung lengan sneli-nya.

Althea kontan tertawa renyah mendengar ucapan kedua sahabatnya. Sejak dulu mereka memang sudah tahu betul bagaimana tabiat tante dan kedua sepupunya itu. Anehnya itu hanya berlaku bagi kedua orang itu, sedangkan sepupu laki-laki dan juga Om-nya sama sekali tidak menunjukkan sikap agresif kepadanya maupun Mamanya.

“Jadi apa menu makan malam kita hari ini, ladies?” Tanya Yolanda yang memang bertubuh sedikit bongsor.

“Soto Cak Har saja yuk, tapi GoJek saja. Malas banget kalau keluar pas jam macet pulang kantor.” Usul Gania yang memang penggemar berat makanan berkuah.

Althea mengangguk. “Setuju.”

Tiba-tiba ponsel Althea kembali bergetar, ia melirik ponsel di atas mejanya dan nama Adelia tertera di layar.

“Hallo, Lia sayang.” la menerima panggilan video call dengan wajah berbinar.

“Mama Althea, ayo, kita makan-makan!”

“Apa?”

“Makan-makan, Mamaaa.”

Wajah Adelia menghilang, digantikan oleh Adelio. Bocah tampan itu menatap Althea dengan senyum sumringagnya. “Mama, kata papa, maunya Mama makan malam sama-sama. Papa tadi belanja daging dan udang banyak, Ma.” Tak lama, layar video Althea menunjukkan ada banyak daging di piring dan ada sebuah panggangan.

“Kalian mau barbeque-an malam ini?” tanyanya.

“lya, Mama harus datang ya,” kata Adelio. “Daah Mama!” Kali ini wajah keduanya muncul di layer sambil melambaikan tangan dengan heboh.

Tidak memberi kesempatan pada Althea untuk menjawab, Adelia mematikan sambungan. Althea menatap layar ponsel, melihat waktu sudah jam lima sore. Seketika ia menyadari jika percakapannya dengan Si Kembar barusan terdengar juga oleh kedua sahabatnya.

“Mama, hah?” Sindir Gania sambil tersenyum menggoda.

“Wuidih… Udah main Mama Papa aja nih… Sebentar lagi sudah nggak jomblo nih Dokter Anak favorit kita.”

“Aku harus pulang.” Potong Althea cepat-cepat. Jika ditanggapi maka kedua sahabatnya itu tidak akan berhenti menggoda sekaligus mengorek informasi darinya.

“Mau pesta daging panggang?” tanya Yolanda.

“Salah satunya, tapi alasan lain Calista mau datang. Males banget aku.”

“Ya sudah, sana!”

Setelah berpamitan, Althea membereskan kotak saladnya kemudian merapikan kembali meja kerjanya. la berjalan keluar Klinik, memasuki mobilnya yang terparkir bersamaan dengan munculnya sosok Calista. Gadis itu berteriak, berusaha menghentikan Althea yang sudah mulai melajukan mobilnya meninggalkan halaman Klinik.

Di belakangnya, Calista menyumpah dan memaki. la tidak peduli. Gadis itu harus tahu, tidak semua orang musti tunduk dengannya. Jam pulang kerja, jalanan padat kendaraan. Untunglah kali ini Althea tidak terjebak dalam drama kemacetan. Satu jam kemudian, ia sudah tiba di depan rumah Evander. Mobilnya sudah ia parkirkan di garasi rumahnya sendiri.

“Mamaaa!” Adelia dan Adelio berlari menyongsong saat Althea satpam membuka pagar.

“Hallo, Sayang. Sini, peluk dulu.”

Althea menunduk, memeluk kedua bocah kembar itu dengan gemas dan mengelitik pinggang keduanya bergantian. Suara tawa Si Kembar terdengar nyaring di senja yang temaram.

“Anak-anak, ajak mama kalian masuk!”

Suara Evander menghentikan tawa Si Kembar. Althea menegakkan tubuh dan melihat siluet pria berdiri menjulang, membelakangi senja. Bukankah dia terlihat seperti ukiran patung Dewa Yunani? Tampan, kejam, dan berbahaya. Bukankah pria seperti itu ditakdirkan untuk dikelilingi dan dipuja banyak wanita? Kenapa justru memilih untuk menduda dengan begitu lama? Althea melangkah pelan, menghampiri Evander.

“Selama malam, Pak.”

Evander menatapnya dari atas ke bawah dan menelengkan kepala.

“Kamu baru pulang praktek?”

“Ah, ini. lya, Pak. Maaf aku baru sampai tadi jadi lupa melepas ini.” Althea mengeratkan sneli yang rupanya masih ia kenakan. Ada name tag yang masih menempel di bagian dada, dan juga stetoscope yang ia simpan di saku sneli-nya

“Cantik, kamu kelihatan berbeda dengan jas putih itu.”

Pujian dan tatapan Evander membuat Althea melongo. Saking kagetnya, bahkan tidak bisa berkata-kata.

“Pak?”

“lya.”

“Bapak nggak kenapa-kenapa kan? Nggak lagi kesambét kan, Pak? Biasanya, kalau mau Magrib banyak setan lewat.”

Evander mengerjap lalu tertawa. “Kamu pikir aku kesurupan karena memujimu? Althea, rendah sekali tingkat kepercayaan dirimu. Ayo, masuk!”

Sebenarnya, bukan tingkat kepercayaan dirinya yang rendah, Althea hanya merasa kalau orang setampan, semenarik, dan sekaya Evander, terlalu ramah. Padahal, banyak orang kaya yang tidak begitu.

Mereka duduk di teras samping, Marni menggelar tikar rotan dan meletakkan bantal kotak di atasnya. Ada meja pendek untuk makan dan sebuah panggangan tinggi di dekat pot. Cukup jauh dari jangkauan Si Kembar.

“Duduk, Althea. Biar aku memanggang untukmu.”

Althea mengenyakkan diri di dekat Si Kembar dan tak lama, kedua bocah itu pRania ke pangkuannya, masing-masing di paha kanan dan kirinya. Di depannya tampak sang Papa yang tersenyum melihat kelakuan kedua anaknya.

“Kamu tadi praktek dari siang?” ucap Evander memecah keheningan.

Althea mengangguk. “Benar sekali.”

“Tapi, papa memanggilmu mamanya Adelio.”

“Jadi jadwal kamu bergantian tidak sama setiap harinya. Kenapa begitu?”

“ltu karena pagi sampai siang selalu ada jadwal praktek di Rumah Sakit. Nggak setiap hari, hanya Senin Rabu dan Jumat. Kalau Selasa Kamis Sabtu biasanya piket lGD, tapi itu juga tergantung on call pasien sih, Pak.”

“Jadi kalau nggak ada jadwal praktek pagi kamu berdinas di lGD, terus siang sampai sore praktek di Klinik?”

“Hahaha, benar sekali. Hanya saja kalau dinas lGD itu tergantung panggilan saja. Tetapi setiap bulan akan ada satu kali jadwal piket 24 jam di lGD.”

Evander menghidangkan dua piring daging panggang yang diiris tipis. Althea mengambil beberapa iris, memotong-motong dan menghidangkannya pada piring Adelio dan Adelia.

“Mamam yang banyak, biar cepat besar.”

Kedua bocah itu mengangguk kompak. “lya, Mama.”

Evander duduk di sebelah Althea, bagian memanggang digantikan oleh sopir dan Marni. Hari ini, semua orang di rumah memakan daging panggang, tidak terkecuali pelayan.

“Enak?” tanya Evander.

Althea mengangguk. “Aku suka yang setengah matang.”

“Panggang baru lagi saja.”

“Tidak, Pak. lni sudah bagus, buat anak-anak memang harus memakan daging yang matang sempurna.”

Althea memakan bagiannya, sesekali menyuapi Si Kembar dengan sayuran. Evander menatap Althea dengan pandangan tak terbaca.

“Althea.”

“lya, Pak.”

Althea mendongak saat telunjuk Evander terulur dan mengusap ujung bibirnya. “Ada saos barbeque.”

Wajah Althea menegang saat melihat Evander memasukkan jari ke mulutnya. la masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi merasa kalau tempat yang baru saja disentuh Evander terasa panas. Di depan mereka, Si Kembar tersenyum satu sama lain sambil menahan tawa mereka, dengan tatapan jenaka ke arah Althea dan papanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel