KPM - 5
“Jadi, kapan kita menikah, Mama?”
Hening merajai keduanya, Althea dengan wajah cengo-nya berhasil mendapatkan kembali kewarasannya yang sempat terengut setelah mendengar ucapan Evander.
“Pak, bisa nggak jangan bercanda? lni masih pagi loh, sarapan juga belum sampai lambung ini.”
“Kamu pikir aku bercanda?”
“Ya iya lah, Pak. Mana ada orang waras yang baru pertama ketemu langsung ngajak nikah.”
“Memangnya salah?”
“Yah, salah pokoknya. Nggak bener itu”
“Kok bisa nggak bener? Bukannya kamu sudah jadi Mamanya Si Kembar?”
Althea mengeluh dalam hati, bisa-bisanya masih sepagi ini ia harus berhadapan dengan pria yang sebelas dua belas dengan pasiennya, sama-sama rewel. la mencoba menelan bubur di bawah tatapan Evander yang tajam. la tahu, pria itu sedang menggodanya. Yang Evander tidak tahu adalah, godaan itu membuatnya salah tingkah.
“Mama, mau telul.” Adelia menunjuk pada Omelet yang terhidang di depan Si Kembar.
“Lio juga mau, Ma!”
Althea mengambil Omelet itu, memotong-motongnya menjadi bagian-bagian kecil. Dengan sendok ia pRaniakan ke piring masing-masing, menyaksikan mereka menyuapkannya ke mulut. “Enak?”
Adelio dan Adelia mengangguk kompak. “Enak, Mama.” Sahut keduanya bersamaan.
Evander berdehem, meneguk kopinya yang mulai mendingin. “Sayang sekali, kamu menolakku. Padahal, mereka sudah menganggapmu mama.”
“Aduhhh...,” lirih Althea pelahan namun masih dapat didengar oleh Evander.
“Kenapa? Kamu nggak mau jadi Mama Si Kembar?”
“Bu-bukan begitu, Pak. Tapi” Wajah Althea memerah.
Evander tertawa keras, puas rasanya berhasil menggoda wanita manis di depannya ini. “Sudah, habiskan sarapanmu.”
Althea berusaha menelan buburnya, menatap mangkok yang tersisa setengah. tidak berani mengangkat wajah dengan Evander yang terus menatapnya. Wanita mana yang tidak tergoda saat ada pria tampan, dengan senyum menawan, menatap dengan pandangan intens. Bahkan Althea yang selama ini tidak pernah ingin dekat dengan pria, merasa hatinya tergetar tidak nyaman.
Terdengar langkah kaki mendekat. Marni mengangguk ke arah Evander.
“Pak, sopir sudah siap.”
“Baik, sebentar lagi mereka ke depan. Ayo, Lio Lia. Sekolah.”
Adelio menggeleng. “Nggak mau, pingin sama mama.”
“Mama Althea harus pulang. Harus siap-siap ke Klinik”
“Lio ikut.”
“Nanti, Sayang. Sekarang sekolah dulu.”
Melihat bocah itu seperti enggan berpisah dengannya, Althea mengusap rambutnya dengan lembut. “Lio, saying sekarang nurut dulu ya sama Papa. Sekolah dulu sama Lia, besok-besok tante yang anterin.”
Althea enggan menyebut dirinya mama, karena menurutnya itu aneh.
“Mama antelin kita?”
“lya, besok-besok. Sekarang berangkat sendiri dulu sama sopir ya.”
Setelah dibujuk, kedua bocah kembar itu akhirnya setuju untuk berangkat sendiri. Mereka pamit dengan sang papa, dan kemudian mengecup pipi Althea. Keduanya berlari-lari kecil menuju sebuah mobil SUV sambil melambaikan tangan dengan wajah gembira.
Tanpa sadar Althea ikut tersenyum ceria, tangannya dengan penuh semangat terangkat ke udara dan membalas lambaian kedua anak manis itu. la adalah seorang Dokter anak, sudah tentu ia sangat menyukai anak-anak. Namun dengan kedua bocah kembar ini berbeda. Tingkah mereka yang polos, periang, pintar, dan menggemaskan, membuatnya tanpa sadar selalu merindukan kehadiran mereka dari balik pagar rumahnya.
“Karena anak-anak sudah pergi, sekarang waktunya urusan kita berdua.”
Althea menoleh ke arah Evander dengan kaget. “U-urusan apa, Pak?”
“Kamu dan aku, kita,” jawab Evander tenang, kelewat tenang malahan. Ada segaris senyum tipis yang terbit di bibir seksi pria itu.
“Emangnya kita berdua ada urusan apa?”
“Tentu saja membahas pernikahan, Althea.”
Seketika Althea linglung, lQ-nya mendadak anjlok sehingga tidak dapat memahami ucapan Evander. Melihat wajah Althea yang bingung, Evander tertawa terbahak-bahak.
“Jangan takut! Aku nggak akan menikahi wanita yang belum siap untuk diajak menikah. Duduklah di sofa ruang tengah, dan tunggu aku sebentar.”
Evander menghilang ke kamar, tertinggal Althea sendirian di sofa. Sedikit meringis karena dengkulnya yang mendadak perih. la melihat warna keunguan yang sangat kontras dengan kulitnya, pun beberapa bekas goresan di sana. Sepertinya karena berbenturan dengan semen di jalanan halaman rumah ini.
la tidak habis pikir dengan sikap pria pemilik rumah ini. Tampan, kaya, tapi suka sekali menggodanya soal pernikahan.
‘Apa Papanya Si Kembar selalu bersikap seperti itu pada wanita yang baru ditemui?’
Lamunan Althea terhenti saat Evander mendekat dengan sebuah kotak kecil berwarna putih di tangan. Pria itu berlutut di hadapan Althea dan membuat wanita itu semakin salah tingkah.
“Bapak mau ngapain?” Althea berusaha berdiri, tapi Evander menahan bahunya.
“Santai saja, duduk yang benar Althea. Aku cuma mau mengobati lukamu.”
“Aku bisa sendiri, Pak.”
“Nggak bisa, anggap saja ini bagian dari balas budi, karena kamu sudah menolong Lia semalam. Dan juga karena sudah berbaik hati menanggapi ocehan mereka.”
Althea mengeluh dalam hati, ‘Bagaimana bisa santai, Pak. ltu tangan ngelus-ngelus dengkul pakai alkohol. Yo merinding awakku, Pak.’
Althea duduk dengan tidak nyaman, beberapa kali ia menarik ujung dressnya ke bawah. Sayangnya, bahan dress itu selalu membuatnya terangkat lebih tinggi ketika sedang duduk. Baru kali ini Althea merasa seperti tidak berpakaian ketika berhadapan dengan pria yang baru dikenal.
“Apa kamu memang biasa begitu?” tanya Evander, kali ini mengoles obat antiseptic ke luka-luka Althea.
“Begitu bagaimana, Pak?”
“Ya itu, bertindak bodoh. lmpulsif, nggak pikir panjang. Bukannya melompati pagar itu berbahaya? Apalagi pagar rumah ini kan cukup tinggi untuk dipanjat, aku yang pria saja butuh usaha untuk memanjatnya.”
Evander mendongak, menatap Althea yang terlihat makin salah tingkah. Mereka berpandangan sesaat sebelum Althea mengalihkan tatapan ke arah lukisan pegunungan dan persawahan di ruangan itu.
“Ya, bagaimana ya, Pak. Saat itu kan Lio menangis panik karena katanya Lia sakit. Aku ya ikut panik, Pak. Takutnya mereka berdua kenapa-kenapa di rumah. Apalagi waktu aku datang, rumah ini kelihatan sangat sepi sekali.”
“Kamu bertindak nekat untuk mereka? Padahal kamu baru beberapa minggu mengenenal mereka?”
Evander cukup takjub dengan jawaban spontan Althea, belum pernah sebelumnya ia bertemu dengan seseorang yang sangat mengkhawatirkan anak-anaknya dengan tulus. Bi Marni tidak masuk hitungan, karena sejak Si Kembar lahir, Bi Marni-lah yang membantu merawat keduanya.
Pandangan Althea kembali beralih ke Evander yang masih berlutut di depannya. la berujar heran. “Bukannya itu basic instinct manusia ya, Pak? Apalagi untuk wanita dewasa, kami secara naluriah akan berusaha melindungi anak-anak? Lagian, wanita mana yang nggak akan peduli pada anak kecil yang sedang kesusahan?”
Evander tidak menjawab, matanya mengawasi wajah Althea yang cantik dengan sisa-sisa make up yang masih tercetak jelas di sana. la tersenyum kecil. “Nggak semua, wanita seperti itu, Althea.”
Althea terdiam, memikirkan kata-kata pria itu. Menurutnya itu salah, karena setiap wanita pasti punya hati nurani untuk melindungi anak-anak. Evander bangkit dari hadapannya, berdiri menjulang dengan kotak P3K di tangan.
“Terima kasih, Althea. Sudah baik pada Si Kembar.”
Althea bangkit dari sofa, berdiri goyah di atas sepatu 5 sentinya. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak yang cukup dekat, dan Althea menyadari betapa tinggi pria itu. Dengan tinggi Althea yang mencapai 170 cm, tinggi Evander masih melampaui dirinya.
“Terima kasih kembali, Pak. Aku harus pulang.
“Mau aku antar?” tanya Evander.
“Nggak usah, Pak. Aku tinggal di sebelah saja.” Althea melangkah perlahan, meninggalkan sofa ruang tengah.
“Aku bukan mengantarmu untuk pulang, Althea.” Evander berucap tenang.
Langkah Althea terhenti, menoleh ke samping menatap wajah tampan di sebelahnya. “Hah? Maksudnya bagaimana, Pak?”
“Aku akan mengantarmu ke pelaminan, barangkali saja akhirnya kamu berubah pikiran dan mau menikah denganku.”
Tawa Evander terdengar membahana saat Althea yang salah tingkah, melangkah buru-buru ke teras. la tidak habis pikir bagaimana pria itu selalu bicara tentang pernikahan, seakan-akan sudah hal biasa bagi Evander untuk melamar wanita yang baru pertama ditemui.
“Nggak anak, Nggak bapak, sama saja. Sok akrab!” gumam Althea keluar dari pintu dengan mata setengah tertutup karena silau matahari pagi.
la setengah menggerutu karena bangun amat pagi di hari liburnya. Semua karena salahnya juga, tertidur di ranjang orang lain. Padahal niatnya hari ini adalah bangun lebih siang, karena besok ia akan ada jadwal piket lGD selama sehari penuh.
Membuka pagar rumahnya, Althea menyapa asisten rumah tangganya yang sedang menyirami tanaman bonsainya. Sang asisten terheran-heran melihat penampilan Nona majikannya yang datang dengan pakaian pestanya kemarin. la pikir Nona-nya masih tidur dalam kamarnya.
“Non baru pulang? Mbok pikir tadi sik bobok ndek kamar.”
Althea tersenyum kecut mengingat Dimana dirinya bangun tadi pagi, dan kilasan kejadian pagi tadi kembali membuat pipinya menghangat karena malu.
“Mau disiapin sarapan apa Non?” Tanya, Mbok Mar sang asisten rumah tangga.
“Nggak usah Mbok, tadi wis sarapan ndek sebelah.”
Jawaban Althea sukses membuat asisten rumah tangganya melongo dengan mata membulat. Jika itu Lio atau Lia, mungkin terlihat menggemaskan. Namun ini Mbok Mar, wanita yang memasuki usia pertengahan dengan postur badan sedikit jumbo. Maka hilanglah kesan menggemaskan itu.
“Sarapan ndek sebelah, Non? Nggak salah ta Non?”
Althea hanya bisa meringis mendengar pertanyaan yang lebih bernada terkejut daripada bertanya. “Ceritanya panjang, Mbok. Pokoknya intinya itu kemarin malam aku bantuin anak-anak sebelah. Si Lia demam, terus karena Bi Marni lagi sakit dan nggak ada orang dewasa di rumah, akhirnya Lio telepon aku.”
Althea menceritakan sekilas awal kejadian semalam sambil mengenyakkan diri di kursi kayu teras rumahnya, dilepasnya sepatu yang ia pakai dan menggantinya dengan sendal jepit ungu kesayangannya.
“Semalaman aku obatin Lia, Mbok.” Lanjutnya sambil ikut bergabung dengan Mbok Mar merawat koleksi bonsainya. “Gara-gara merawat Lia dan nungguin Lio tidur, aku malah ikut ketiduran di rumah sebelah.”
Kronologis yang diceritakan Althea dengan sukses membuat Mbok Mar tertawa terpingkal-pingkal. Seluruh lemak dalam tubuhnya hingga ikut bergejolak seiring tubuhnya yang terguncang karena tertawa terlalu keras.
“Oala, Non… Jangan-jangan ini ‘awal mula Mama ketemu Papa’ ya, Non. Kayak sing ndek TikTok iku loch…” Kembali tawa Mbok Mar berderai.
“Memangnya Mbok kenal sama pemilik rumah sebelah?”
“Mbok kenalnya sama Bi Marni, kan konco nggibah ndek pasar. Kalau sama Bapak yang punya rumah cuma pernah lihat beberapa kali. Bapak sebelah iku DuRen loch, Non. Nyonyane meninggal pas lahiran Si Kembar, jarene Bi Marni. Tapi sampe saiki gak gelem rabi maneh, jarene sik belum nemu sing cocok.”
Satu lagi informasi Althea dapatkan dari sang asisten, memang perkumpulan para asisten rumah tangga itu mampu memberikan informasi sekelas intel. la tidak habis pikir, Evander meskipun berstatus duda tapi kaya raya. Bukankah harusnya banyak wanita yang bersedia menjadi pendampingnya? Kenapa pria itu masih sendiri? Ditilik dari umur Si Kembar, setidaknya sudah empat tahun Evander menduda. Hebat sekali, tidak tergoda wanita.
‘Jangan-jangan, sering jajan?’ Pikir Althea muram.
