Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KPM - 7

Sesekali makan santai sambil mengobrol, bagi Althea yang jarang sekali ada di rumah saat begini, ternyata menyenangkan. Matahari tenggelam, digantikan sepenuhnya oleh gulita malam. Lampu-lampu mulai dinyalakan, untuk menerangi teras tempat mereka berkumpul. Adelia dan Adelio main kartu di meja samping, tertinggal Evander mengobrol dengan Althea, yang terus-menerus memegang perut karena kekenyangan.

“Pak, Sudah cari pengasuh baru?”

Evander menggeleng. “Belum, masih mikir mau pakai pengasuh atau tidak.”

“Lah, nanti nggak keurus anak-anak.”

“Ada kamu.”

Althea mendengkus. “Pak, aku bukan baby sitter.”

“Benar juga, kamu mamanya Si Kembar.”

“Pak...”

“lya.”

“Aku, Althea.”

Evander menelengkan kepala, menatap Althea dengan tatapan intens. “Ah, bukan Bukan Dokter Reiza Broto? Dengan jas putih yang kamu pakai tadi, kamu secantik dia,”

“Terima kasih, tapi aku nggak akan muji kamu seperti Alm. Dokter Ryan Thamrin. Karena memang beda.”

Evander tertawa terbahak-bahak, bangkit dari tempat duduk dan pamit menyingkir untuk menerima telepon.

Althea mengipasi wajahnya yang panas karena rayuan Evander. la tak habis pikir, baru bertemu beberapa hari sudah dipuji habis-habisan oleh Evander. Apakah pria itu memang biasa semanis ini mulutnya? Bayangkan gadis-gadis lugu yang baru pertama mengenal cinta, pasti akan kelepek-kelepek mendengar rayuan Evander.

Althea pun mengakui kalau hatinya juga tergetar. la mendesah, seandainya saja bisa punya pasangan seperti Evander, hidup pasti lebih menyenangkan. Sayangnya, ia tidak tertarik dengan pria yang berorientasi pernikahan. Tidak ingin terikat dengan sesuatu yang membuatnya harus egois. Karena itulah yang diajarkan ibunya, kalau menikah dan jadi istri orang, maka keluarga yang utama. Althea tidak akan pernah menjadi dirinya sendiri kalau menikah dan itu menakutkan.

“Ehm.” Althea menoleh, menatap Adelia yang berpRania duduk ke sampingnya. Gadis kecil itu menatap penuh minat dengan binar penuh harap. Si kecil Adelio entah ke mana.

“Mama, aku kurang suka sama cewek-cewek yang deket sama papa.” Ucapan Adelia membuat Althea mengangkat sebelah alis.

“Kenapa?”

“Mereka sok baik kalau depan papa, suka muji kami, anak baiklah, anak pintarlah. Tapi, pas papa pergi mereka asyik sama hape. Adelio haus pingin minum aja nggak digubris.”

“Begitu.” Althea mengangguk. “Kasihan sekali kalian.”

Adelia menyipit. “Cewek-cewek itu juga suka dandan.”

“Well, itu normal. Aku pun suka.”

“Mereka juga pakai baju sexy-sexy.”

“ltu wajar juga, namanya juga cewek. Tapi, satu hal yang kamu harus tahu, Adelia.” Althea menatap Adelia dengan intens, memberi penekanan pada setiap kata. “Aku, nggak seperti perempuan-perempuan yang mengharapkan punya hubungan apa-apa sama papamu. Nggak pingin jadi pengganti mama kalian juga. Jadi Nggak usah kuatir.” la memelankan suara. “Aku sudah naksir cowok, tapi bukan papamu.”

Adelia terdiam, menatap Althea yang kini mengibaskan rambut ke belakang. Sebenarnya, ia sangat menyukai warna baru rambut wanita itu, tapi ia harus menjaga harga dirinya.

“Mama Thea!”

Adelio berteriak, memegang gelas berisi jus. Althea melotot saat melihat cairan di lantai dekat panggangan. Benar dugaannya, Adelio terpeleset dan nyaris jatuh kalau bukan karena dirinya yang bergerak cepat dan menyambar tubuh bocah itu.

“Aduuh!” Dengan Adelio dalam dekapannya, Althea tergeletak di lantai. Ujung kakinya menyenggol panggangan dan benda itu jatuh dengan suara nyaring.

“Althea! Liooo!”

Evander berlari mendatangi mereka, mengangkat Adelio dari dekapan Althea dan membantu wanita itu berdiri.

“Kamu nggak apa-apa?”

Althea mengangguk, sedikit meringis karena sepertinya kakinya keseleo. la menyumpah dalam hati, karena selalu terjatuh setiap kali dekat Adelio.

“Ada yang luka?” Evander membantunya berdiri.

“Nggak ada, Pak. Keseleo dikit.”

“Mana ada keseleo itu dikit. Duduk, biar dipijat Bi Marni.”

“Tapi ̶ “

“Duduk aja. Aku nggak bisa pijit tapi Bi Marni, bisa.”

Marni datang membawa minyak untuk dibalurkan ke kaki Althea. la melakukan itu sambil meminta maaf karena tidak bersih dalam mengepel. Althea tersenyum, mengatakan kalau dirinya baik-baik saja.

“Aku antar pulang.” Evander meraih lengan Althea dan membimbingnya.

“Nggak usah, Pak. Aku bisa pulang sendiri.”

“Althea, kamu terluka karena anakku. Biarkan aku jadi papa yang bertanggung jawab.”

Althea mengangkat bahu, menyerah pada keinginan Evander. la mengusap rambut Adelio yang sedang menangis karena melihatnya kesakitan.

“Adelio, anak baik. Jangan nangis.”

“Mamaaa ...”

“Besok kita ketemu lagi. Aku pulang dulu.”

“Jalan pelan-pelan.”

Adelia terdiam, dengan Adelio dalam rangkulannya. Menatap Althea yang melangkah tertatih dibimbing sang papa. Hatinya sedikit berubah, tapi belum siap untuk melembut.

“Pak, sudah. Sampai sini aja, aku bisa sendiri.”

“Aku antar sampai rumah.”

“Paak, rumah aku hanya di sebelah rumah kamu.”

“Memangnya kenapa? Aku tidak mau jual rumahmu.”

Althea merasa capek berdebat dengan Evander karena ujung-ujungnya dia juga yang kalah. la membiarkan pria itu menyanggatubuhnya, membantu membuka pagar dan pintu.

“Maaf, rumahnya masih berantakan karena ada beberapa furniture baru datang hari ini.”

Evander tersenyum, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang mungil. Tidak banyak perabot di sini karena Althea memang mendesain ruang tamu itu hanya untuk menerima orang-orang luar saja. Ruang tengah lebih nyaman dibuatnya, untuk menerima tamu-tamu keluarga dan sahabat-sahabat dekatnya.

“Kamu beli rumahini?”

Althea menggeleng. “Tidak, Pak. Aku menabung untuk membangunnya. Seluruh desain dan interior aku sendiri yang menentukan”

“Rumah yang cantik.”

“Terima kasih. lni memang desain rumah impian sata dari dulu.”

“Boleh aku minta nomor ponselmu, Althea.”

“Eh, untuk apa, Pak?”

“Mengecek keadaanmu. Mungkin saja kamu butuh bantuan.”

Althea menyebutkan angka-angka dan Evander mencatat di ponselnya. la menatap Althea yang duduk di kursi, mengamati bagaimana wanita itu terlihat tidak nyaman. Bisa jadi kehadirannya di sini, memang dianggap pengganggu.

“Althea, terima kasih sekali lagi sudah menolong anakku.”

Althea mendongak, pandangan mereka bertemu dan ia tersenyum. “Pak, itu reflek saja.”

“Reflekmu bagus. Semoga, suatu hari nanti kalau hatiku yang jatuh, reflekmu sebagus sekarang. Selamat malam, Althea.”

Evander pergi dengan menyisakan tanda tanya di benak Althea. Tentang reflek dan hati yang jatuh. la merasa, makin sering bicara dengan Evander makin bingung dibuatnya. Pria itu kadang terlalu berterus terang hingga membuatnya sering tercengang.

°♡°♡°♡°

Setelah memastikan anak-anaknya sekolah, dan menelepon Althea untuk memastikan keadaan wanita itu baik-baik saja, Evander berangkat ke kantor agak telat. Adelio rewel, ingin bertemu Althea dan nyaris mogo sekolah, untunglah ia bisa menenangkan. Evander berpikir untuk secepatnya mencari baby sitter baru agar anak-anaknya ada yang menjaga.

Tiba di halaman kantor, ia turun dari jok belakang dan sopir membawa kendaraan ke parkiran. Berhenti di tangga karena adayang menelepon. Tidak menyadari bisik-bisik dari beberapa pegawai yang melihatnya.

“Pak Evander tampan, sayangnya galak.” Seorang gadis berambut pendek berbisik pada temannya.

“lya, ih. Kata orang-orang dia kalau marah bikin takut.” Si teman mengangguk.

“Denger-denger, dia nggak segan-segan pecat orang kalau salah.”

“Pantas saja duda lama. Pada takut cewek yang mau deketin.”

Mereka tidak salah, di perusahaan memang Evander terkenal sebagai boss yang angkuh, dingin, dan galak. Ketegasannya membuat banyak orang enggan mendekat. Selain itu, Evander juga terkenal kejam pada anak buah. Banyak kabar yang beredar kalau pria itu tanpa sungkan akan menghabisi siapapun yang menghalangi langkah, yang tidak selaras dengan jalan pikirannya, ataupun yang membuatnya merasa tidak nyaman. Bagi kebanyakan pegawai, sosok Evander ibarat setan dari neraka.

“Selamat pagi, Pak.”

Seorang pria berambut klimis dengan jas abu-abu menghampiri Evander dan menyapa ramah.

“Bobby, kamu sudah memeriksa jadwalku?”

Bobby mengangguk. “Sudah, Pak. Nggak ada rapat hari ini.”

“Bagus. Bagaimana dengan pertemuan untuk investor baru?”

“Mungkin lusa. Mereka memerlukan perpanjangan waktu untuk meninjau.”

Evander mengangguk, melangkah beriringan melewati lobi bersama sekretarisnya. Orang-orang yang berpapasan menyingkir, tidak ingin berada dalam jarak pandang Evander. Mereka takut akan mendapat masalah kalau tanpa sengaja membuat pria itu marah atau tidak senang.

“Kopi, Pak?” tanya Bobby.

Evander menggeleng. “Nanti dulu. Kamu bantu aku mencari baby sitter untuk anakku. Yang terakhir aku pecat. Cari dari agen lain.”

Bobby mengangguk. “Baik, Pak.”

Evander sedang membaca laporan saat menerima panggilan di ponsel. la menghela napas panjang, saat membaca nama penelepon.

“lya, Ma.”

“Evander, Mama dengar dari Bi Marni, kamu pecat baby sitter lagi?”

“Benar.”

“Ckckck, ini yang keberapa, Evander? Sepertinya setiap bulan kamu ganti orang.”

“Terpaksa, Ma. Nggak ada satu pun yang benar.”

Hening sesaat, lalu kembali terdengar suara. “Nggak usah cari baby sitter baru. Mama punya kenalan, dan dijamin pasti bagus kerjanya.”

“Ma, nggak usah repot-repot.”

“Jangan membantah, ini demi kebaikan cucu-cucuku.”

Evander menghela napas. “Baiklah, Ma.”

“Satu lagi, kamu ingat Martha? Sepupu Renata? Yang tinggal di lnggris?”

Evander berusaha mengingat tentang nama yang disebutkan mertua perempuannya. Nama itu terdengar tidak asing tapi lupa di mana bertemu.

“Ma, aku lupa.”

“Sudahlah, Minggu depan dia akan pulang. Nanti kamu ajak anak-anak untuk makan bersama.”

“Baik, Ma.”

Evander mengakhiri panggilan dengan mertuanya dengan kepala berdenyut sakit. Dari dulu, mertuanya memang suka sekali memerintah derngan alasan untuk kebaikan bersama. Padahal, banyak hal yang kini tak sesuai dengan keinginannya. la tidak membantah karena menghormati orang tua.

“Pak, sudah dapat baby sitter baru. Mau kerja mulai kapan?” Bobby memberi kabar.

Evander melambailkan tangan. “Nggak jadi, batalkan saja. Mertuaku sudah dapat baby sitter baru.”

“Baik, Pak.”

“Kopi Bobby, aku sedang butuh penyegaran.”

Ternyata, meskipun sekretarisnya mengatakan tidak ada rapat, tamu yang datang tidak sedikit, dari mulai supplier barang sampai beberapa orang yang mengajak kerja sama. Belum lagi diselingi dengan telepon dari anak-anaknya, Evander merasa hari ini berlalu sangat padat.

Satu pegawai, mengimput data penjualan yang salah. Membuat Evander malu pada tamunya karena memberikan data yang salah. Saat si tamu pulang, Evander pergi ke ruangan pegawai. la menunjuk wanita itu dengan tatapan dingin.

“lni hari terakhir kamu kerja!”

Evander tidak peduli, meski pegawai itu menangis. Berbuat kesalahan harus berani bertanggung jawab dan ia orang yang tidak suka berbasa-basi apalagi bersikap manis.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel