KPM - 4
Mentari sudah menggeliat naik, waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WlB, namun udara sejuk masih menyelimuti. Cahaya matahari samar mulai menerobos tirai tipis yang semalam memang lupa ia tutup, memberikan penerangan yang cukup untuk kamar yang luas itu.
Samar-samar suara percakapan mulai mengusik tidur Althea. Ada suara anak-anak dan orang dewasa yang sedang berbincang perlahan. Kesadarannya mulai kembali, ia menggeliat, mengucek matanya dan mengusap wajahnya dengan tangan. Digerakkan tangan, kaki, dan bahu untuk meregangkan otot yang terasa ngilu. Entah siapa orang-orang yang sudah berani mengganggu tidurnya. Kepalanya masih berat, matanya enggan untuk terbuka, tapi percakapan yang masuk ke telinga, membuatnya terjaga.
“Berisik banget, sih!” la menggeliat dan bergumam dengan suara serak dan pelan khas bangun tidur.
Althea membalikkan tubuhnya yang menghadap ke kaca besar dalam kamar, tidak sadar gerakannya menyingkap selimut yang entah sejak kapan membungkus tubuhnya. Dress yang ia kenakan naik hingga ke paha, menunjukkan pemandangan betis dan pahanya yang putih jenjang. Suara-suara itu terhenti. Althea mendesah dan kembali terlelap sampai terdengar suara melengking.
“Mama, sudah bangun!”
Sepasang telapak mungil mengusap pipinya, suara celoteh anak perempuan kembali mengusik inderanya. Althea mengerang, tidurnya terganggu. la berusaha menarik seluruh kesadarannya kembali.
‘Di rumah nggak ada anak kecil, kemarin juga nggak ada piket di lGD. Siapa yang manggil-mangil Mama? Mimpi kali ya?’
“Mama, papa sudah pulang.”
Kali ini suara bocah laki-laki yang terdengar, tegas namun penuh keceriaan.
‘Mama? Papa? Orang tua siapa yang sudah pulang?’
Kesadarannya kembali menghinggapi Althea, ia membuka mata, menatap langit-langit kamar yang asing. Memalingkan wajah dan menatap Adelio yang tersenyum di sampingnya, dan jangan lupakan Adelia yang masih setia bertengger di dekat perutnya sambil mengusap lengannya.
“Aku di mana?” tanyanya linglung.
“Di rumah kami!”
Kali ini suara pria dewasa terdengar, suara bariton seksi yang menggema di gendang telinganya. Althea akhirnya menyadari keberadaannya, ia buru-buru bangkit dari tempat tidur, merapikan gaunnya dan duduk tertegun di pinggir ranjang.
Di depannya, berdiri seorang pria asing yang tinggi, tampan, dengan rahang persegi ditumbuhi bulu tipis. Kalau itu belum cukup, alis pria itu yang nyaris menyatu, membuat pandangannya menjadi sangat tajam. Althea mengerjap beberapa kali.
‘lni aku masih nglindur apa sudah bangun ya?’
“Mamaaa, itu papa!” Adelio berteriak, menunjuk pria itu.
Teriakannya terdengar nyaring dan gembira, seolah-olah mengatakan pada dunia kalau dia punya papa dan mama. Sepertinya ini ia ingin mendeklarasikan bahwa pagi ini mereka telah menjadi keluarga yang lengkap.
Althea menoleh pada Adelio dan bertanya. “Papamu?”
Adelio mengangguk. “lya, Ma.”
“Papa aku juga, Ma” cicit gadis kecil yang kini juga sudah duduk disampingnya. Mata kedua bocah kembar ini membulat dengan binar menggemaskan, menunjukkan betapa bahagianya perasaan mereka.
“Selamat pagi, Nona.”
Suara pria itu terdengar bagaikan ledakan bom di telinga Althea, padahal suara pria itu sangat seksi untuk ukuran pria tampan. Althea buru-buru bangkit dari ranjang dan berdiri goyah, ia merapikan gaunnya yang naik hingga ke paha, berusaha untuk tetap tenang meski sudah kepergok tidur di kamar orang.
‘Duh… apes bener pagi ini!’
“Pa-pagi, Pak.” la menjawab gugup, wajahnya yang linglung tampak tegang.
‘Kaca mana kaca, mesti mukaku bengep iki,’ mengerang dalam hati karena penampilannya yang bisa dikatakan kacau balau saat ini.
Evander tidak menjawab, tetap memandang Althea dari atas ke bawah. la tidak salah mengenali aroma parfum mahal yang menggoda menguar dari tubuh wanita itu. Rambut kusut, make up yang memudar, dan wajah menunduk malu, entah kenapa bagi Evander terlihat sangat menggemaskan. la memandang geli pada wanita yang terlihat malu.
“Pak, se-semua bisa aku jelaskan. Anu, semalam, itu.”
Althea menggigit bibir, mendadak kehabisan kata untuk bicara. Tenggorokannya juga kering, ingin minum.
‘Mampus kon Thea…!’
Evander tersenyum. “Aku tunggu di ruang makan. Silakan bersih-bersih di kamar mandi dulu.”
Althea mengangguk kikuk. “Maaf.”
“Kenapa minta maaf?”
“Ka-karena masuk rumah tanpa ijin.” Althea menahan rasa ingin amblas ke dalam bumi.
Evander tersenyum. “Kita bicarakan nanti. Silakan mengambil waktu pribadi. Kamar mandi di sebelah sana, ada handuk baru untuk kamu pakai. Ayo, kita ke ruang makan.” Evander meraih tangan kedua anaknya dan melangkah ke pintu.
Adelia melambaikan tangan. “Mamaa, Lia tunggu, ya! Jangan lama-lama!”
“Lio juga ya, Ma. Kita sarapan sama-sama,” ucap Adelio tidak mau kalah hebohnya.
“Mama Althea, Lia suka namanya.”
“lya, nama Mama cantik ya.”
“Sudah, ayo, ke meja makan.”
Althea menghela napas panjang yang sejak tadi tertahan, diraupnya oksigen dengan rakus karena sesaat tadu untuk bernafas saja ia takut. Menatap kepergian ayah dan kedua bocah kembarnya, Althea masih bisa mendengar percakapan mereka. la menepuk dadanya yang berdebar tak karuan, tak habis pikir, bagaimana bisa tertidur di kamar orang lain. la begitu mengantuk semalam, sampai tidak sadar.
Setelah menyelesaikan membersihkan diri dan merapikan penampilannya, Althea menyadari kalau gaunnya sungguh bukan pakaian pantas untuk berbicara dengan anak-anak. Apalagi sekarang ada sang papa yang menurutnya bukan pria biasa. Mana ada papa dua anak tapi begitu tampan dan menggoda.
Althea memukul jidatnya, bisa-bisanya disaat begini dia malah mengagumi ketampanan pria itu. Sedikit mengernyit karena nyeri di lutut, terasa sakit kedua kakinya. Semalam tanpa pikir panjang ia melompati pagar dan jatuh.
“Eh, Althea. Tahu diri kamu. Sudah sembarangan masuk ke rumah orang, pakai tidur di ranjangnya lagi. Sekarang, malah kagum sama wajah tampannya.”
Althea bicara cukup keras di depan cermin. la menyadari kalau sekarang tidak ada jalan lain, harus menemui pria itu dan keluarganya sebelum pulang. Entah kenapa ia seperti masuk dalam ruang pengadilan.
Setelah merasa penampilannya sudah cukup pantas, ia keluar dari kamar. Menoleh ke kiri dan kanan sebentar, timbul niat untuk langsung berlari pulang. Akhirnya menyadari kalau tindakannya akan sangat konyol. Dengan berat hati, ia menuju ruang makan. Saat melihatnya, Adelio yang sudah rapi dalam balutan seragam Paud, bangkit dari kursi dan menubruknya.
“Mama sudah bangun. Lio mau disuapi.”
“Lia juga, Ma. Mama suapi Lia aja!” teriak Adelia.
Adelio menggeleng. “Nggak bolah. Lio maunya sama Mama. Ayo, Ma. Kita duduk.” Lio berucap sambil menarik tangan Althea untuk duduk diantara dirinya dan Lia, kembarannya. Mereka duduk di meja makan menghadap sang Papa yang duduk persisi di seberang Althea.
Evander tidak mengatakan apa pun, ia menatap tajam bercampur rasa ingin tahu saat melihat interaksi anak bungsunya bersama Althea. Wanita itu duduk dengan grogi, terlihat tidak nyaman. Meski begitu, tetap meraih sendok dan mangkok dari meja dan menyuapi makanan pada kedua bocah kembar yang saling berebut perhatian.
“Namamu Althea?” tanya Evander, setelah jeda keheningan.
Althea mengangguk, menolak untuk menatap mata pria di depannya. “lya, Pak.”
“Kita belum berkenalan. Namaku Evander, dan ini kedua anak kembarku Adelia dan Adelio. Maaf jika mereka berdua merepotkanmu”
“Tidak apa, Pak. Lagipula aku sudah kenal mereka,” sahutnya cepat.
“Baguslah. Aku senang ada orang yang bisa akrab dengan anakku,”
Althea tersenyum kikuk, terus menatap Adelio dan Adelia yang berkonsentrasi pada bubur yang mereka makan. la sedikit bingung dengan situasi yang dihadapinya sekarang. Dalam keadaan linglung karena baru terpergok tidur di kamar orang, dan kini terdampar di ruang makan rumah tetangga. Untungnya duda.
“Aku sudah tahu apa yang terjadi semalam. Sebelumnya aku mau bilang, terima kasih sudah menolong anakku.” Evander tersenyum tulus. “Aku juga lihat dengkulmu lecet. Pasti melompat dari tembok.”
Althea tercengang, menatap Evander. “Bagaimana Bapak tahu?”
“Ada rekaman CCTV.” Evander mengusap rambut Adelia yang duduk di sebelahnya. “Kamu sudah bilang terima kasih apa belum? Sudah ditolong semalam.”
Adelia menggeleng, wajahnya menunjukkan rasa malu dan bingung sekaligus.
“Anak papa mengerti bagaimana harus menghargai orang, bukan?”
Menggigit bibir bawah, Adelia mengangguk. “Terima kasih, Mama,” ucapnya penuh keceriaan.
“Bagus, sekarang kamu bisa berangkat.”
Adelia enggan untuk bangkit dari kursi. Gadis kecil itu melirik saudara kembarnya, mencoba mengajaknya tapi Adelio menolak.
“Mau sekolah sama mama.”
“Lia juga mau sekolahnya sama Mama, Pa.”
Evander terdiam, ia tidak memarahi tingkah kedua anaknya dan membiarkan mereka melanjutkan menerima suapan sarapan dari tangan Althea.
“Aku sudah memecat pengasuh Adelio. Semalam dia pergi untuk berkencan dan pulang subuh.”
Althea mengangguk. Merasa kalau ini bukan urusannya tapi ia ingin tahu. “Ke mana Bi Marni?”
“Bi Marni sakit. Semalam dia minum obat yang membuatnya tertidur sepanjang malam. Saat tahu kalau Adelia demam dan di rumah tidak ada yang jaga, Bi Marni menangis dan merasa bersalah pagi ini.”
“Begitu. Pantas saja.”
“Sebenarnya, ini salahku juga. Meninggalkan anak-anak hanya di bawah pengawasan pengasuh selama berhari-hari. Untung, Lio dan Lia ada Mama, ya?”
Althea tercengang sementara kedua bocah kembar itu mengangguk antusias. Althea sampai takut jika kepala keduanya sampai lepas karena terlalu kencang mengangguk.
‘Ma-maa? Siapa yang dikatakan mama di sini? Akuu?’
Althea bergumam dalam hati, menatap tidak percaya pada duda tampan yang sepertinya sedang menggodanya.
“Silakan dicoba buburnya. Enak.” Evander menunjuk mangkuk di depan Althea.
Mengabaikan wajah Althea yang tercengang Evander tetap tersenyum. Wanita itu akhirnya mengangguk. Mulai mencicipi bubur dengan topping daging ayam, kacang, dan cakwe.
“Jadi, kapan kita menikah, Mama?”
Althea tersedak bubur dan batuk dengan tak terkendali. Adelio menatapnya dengan bingung. Meraih tisu untuk mengelap mulut, dari ujung matanya Althea melihat Evander tersenyum dengan mata tertuju ke arahnya. Althea menyadari satu hal, kalau hidupnya tidak lagi mudah, karena sang duda bermata tajam yang tinggal di sebelah rumahnya.
