KPM - 3
...
Billy merajuk dengan ibunya, ia menangis dan pergi dari rumah saat hujan. Berlari kencang tanpa memedulikan sekitar hingga terjatuh, kaki kecilnya terluka. Hampir saja sebuah motor menyerempetnya. Tangis Billy makin menjadi karena ketakut, wajah pengendara motor itupun terlihat tak ramah. Untunglah, ibunya segera datang, dengan membawa payung, menghampiri dan menggendongnya.
“Ssstttt... cup... cup..., anak tampan. Sudah... sudah... Jangan menangis, ada ibu di sini.”
lbu Billy berbicara dengan pengendara motor yang galak, Billy merasa tenang karena ibunya ada bersamanya. Dia menyesal, sudah merajuk dan memilih pergi dari rumah. Padahal dirinya yang keras kepala dan ibunya selalu baik, selalu ada dan membelanya saat orang lain marah.
°♡°♡°♡°
Bi Marni menutup buku dongeng yang baru saja dibacakan untuk si kembar, entah kemana pengasuh mereka kali ini. la tersenyum saat kedua anak kembar itu menatapnya sambil mengernyit dan terlihat tidak puas. Sikap keduanya begitu menggemaskan, sayangnya kekurangan perhatian orangtua.
“Kenapa? Ada yang mau kalian tanyakan?”
Adelio menggeleng. “Bi, ibu itu apa? Apa sama dengan Mama?”
“lya, Lio. lbu itu sama dengan mama. Nama lainnya Mama ya lbu.”
“Apa Mama ada kalo Lia nangis?”
“lya, sayang.”
“Malahin olang yang jahat ke kita juga?” Tanya Lio
Bi Marni terdiam, memikirkan kata yang tepat untuk menjawabnya, lalu mengangguk. “lbu marah demi membela anak.”
“Mama gendong Lia sama Lio juga?”
“lya, memangnya Lio kenapa minta digendong?”
“Kalau jatuh dan sakit.”
“Kalau gitu Mama kita dimana, Bi?”
Habis sudah kata-kata Bi Marni, tidak tahu harus menjawab apa. la sadar bahwa si kembar ini sangat merindukan kehadiran sosok Mama. Sejak mereka lahir kedunia, takdir telah merampas sang Mama dari keluarga kecil ini.
Wajah Adelio yang mungil menatap asisten rumah tangganya dengan pandangan bertanya-tanya. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan tapi tidak tahu harus bicara seperti apa. Keduanya tidak akan mengerti tentang itu.
“Lio sama Lia, tunggu di sini. Jangan ke mana-mana, Bibik mau ke dapur sebentar ya,”
Adelio dan Adelia mengangguk, menatap kepergian Bi Marni. Tidak ada orang lain, dan langit mulai gerimis. Mereka berdua duduk bermain di teras, tiba-tiba terdengar suara khas penjual ice cream keliling. Adelio bangkit dari kursi, menyeberangi halaman luas dengan kaki kecilnya dan keluar dari rumah melalui pagar yang sedikit terbuka.
“Liooo... tungguin Lia!”
°♡°♡°♡°
Sepasang kaki jenjang beralaskan sandal jepit ungu melangkah cepat di bawah guyuran gerimis yang makin deras. Sambil menggerutu dan menggenggam erat payung ungu-nya, Althea merutuki dirinya sendiri. Tadinya ia pikir ke apotik depan komplek saja, tidak perlu membawa kendaraan, toh langit hanya mendung saja. Akhirnya ia tidak jadi mengeluarkan scuter-nya dari garasi, apalagi mobil, jalan kaki lebih sehat.
Jalanan mulai basah dan becek, nampak genangan air kotor mulai terbentuk. Beberapa sepeda motor yang melaju agak cepat, sesekali mencipratinya dengan air. Makin menggerutulah Althea, mendapati ujung celana rumahnya juga sendal kesayangannya kotor.
“Orang-orang sekarang bisa beli motor tapi nggak bisa beli otak. Sudah tahu lagi hujan malah naik motor kenceng-kenceng!” Althea menggerutu, sedikit menggulung ujung celananya ke atas agar tidak terkena air.
Althea baru pRania ke perumahan ini beberapa minggu yang lalu, dan dibuat bingung dengan jalanannya yang rusak. Padahal perumahan ini masuk dalam komplek yang terhitung ekslusif. Mungkin karena konsep perumahan ini adalah pembelian dalam bentuk tanah kavling, sehingga pemilik bebas mendesain sendiri rumahnya. Akhirnya jalanan utama komplek sering dilalui kendaraan proyek yang merusak paving jalan.
Awalnya, ia kaget saat tahu rumah yang akan ditinggali berada di kawasan elit dan mewah dengan jalan masuk ke perumahan ternyata becek dan hancur. Bukan hanya sekali ia menemui kondisi jalanan depan komplek yang seperti ini. Di Surabaya rata-rata begitu. Para pengembang hanya membangun jalan untuk komplek, tidak mau repot-repot dengan jalanan umum yang dianggap sebagai kewajiban pemerintah untuk memperbaiki.
Napas Althea tersengal karena berjalan jauh. Menyesal tidak membawa scuter-nya dan sekarang merasa kesulitan. Dua blok berhasil ia lewati dan saat di kelokan terakhir langkahnya terhenti. Seorang pengendara motor sedang memaki dua orang anak kecil yang menangis di pinggir jalan. Entah apa yang terjadi dan ia tidak menyukainya.
“Bocil, hujan-hujan, tuh, di rumah. Bukannya di jalanan dan bikin repot!”
Althea menyeberangi jalan, menghampiri anak-anak itu dan menutupi tubuh keduanya yang basah dengan payung dan berjongkok di hadapannya.
“Anak-anak manis, kalian tidak apa-apa?”
Kedua anak kembar itu mendongak, wajah mereka sudah dibasahi hujan dan air mata. Mendadak, kedua anak itu berteriak keras sambil memeluk Althea.
“Mamaaaa...!!”
“Wait... Mama? Siapa Mama?”
“Eh, tunggu. Kalian siapa?” tanyanya bingung.
Althea hampir terjengkang, saat dirinya dipeluk erat. Pikirannya kacau karena ada dua anak tak dikenal memanggilnya mama.
“Oh, ada mamanya. Bagaimana kerja kamu jadi orang tua, hah! Anak dibiarin hujan-hujan. Lihat, nih, aku hampir jatuh karena ngindarin anak itu!”
Althea tersadar, masih ada pria itu di belakangnya. la menarik napas, berdiri dengan susah payah sementara kecua anak kecil itu masih memegang erat kakinya. la berkacak pinggang, menatap pria yang sekarang sedang menatap sok galak. Althea adalah wanita yang lembut dan sangat penyabar, namun entah kenapa kalimat pria tadi mampu menaikkan tensinya.
“Tadi kamu bilang apa? Kamu hampir jatuh? Kamu yakin jatuh karena mereka dan bukan karena kamu yang nggak bisa bawa motor?”
“Heh! Mata kamu bisa lihat kan? Lihat ini tangan aku lecet-lecet!”
Althea menyipit, menatap tajam pada pria itu kemudia beralih pada motornya. Sambil mendekat, dengan mata jelinya ia bisa melihat kalau ban motor itu gundul bahkan ada beberapa bagian yang melembung seperti bisul. Tidak heran kalau motor itu tergelincir saat melewati genangan air.
“Ada anak kecil jatuh. Kamu bukannya bantu malah dimaki-maki. Sakit jiwa kamu, ya?”
“Eh, Mama gila kayak kamu, masih nyolot! Urus anak kamu yang bener.”
Althea yang kehilangan kesabaran, menutup payung. Membiarkan air membasahi tubuh dan bajunya. la menunjuk pria itu dengan ujung payung dan kembali berteriak.
“Jangan dikira, aku akan diam aja kamu aniaya anak ini. Sini kamu maju, aku gebok!” la mengayunkan payung dan berniat memukul pria itu, sebelum akhirnya mendengar starter dinyalakan.
“Wanita gila!”
Makian pria itu masih sempat terdengar sebelum sosoknya menghilang. Althea menghela napas panjang, menunduk dan menatap anak laki-laki yang masih memeluk kakinya. la tersenyum, mengusap rambut anak itu.
“Teman kecil, di mana rumahmu?”
Salah satu dari anak itu menunjuk ke arah yarng sama dengan rurmahnya. Althea mengamati keduanya dan menyadari kemiripan wajah mereka, sepertinya mereka anak kembar. Hujan mulai reda, Althea menutup payungnya.
“Ayo, tante antar kalian pulang.”
Anak itu mengangguk. “Mama …”
“Tante, aku ini tante bukan mama.”
“Tidak, kamu Mama.”
Althea menghela napas, menyadari tidak ada gunannya berdebat dengan anak kecil. Dengan perlahan, ia melepaskan pegangan anak itu di kakinya meraih tangan mungil mereka. Masing-masing tangannya menggandeng salah satu dari mereka.
“Ayo, tante antar pulang.”
Baru beberapa langkah, mereka terhenti. Althea menyadari kalau salah satu anak yang di gandengannya terluka, dan jalannya pincang. la memeriksa kaki dan mendapati ada banyak lecet di betis dan dengkul kanan. Menghela napas, ia berjongkok.
“Kakimu sakit?”
Si anak mengangguk. “lyaa.”
“Kasihan.” Althea mengambil selembar tisu dari dalam tas yang dibawa dan mengusap lecet-lecet di tubuh anak itu. “Sampai rumah langsung pakai obat.”
“Terima kasih, Mama.”
Althea tersenyum kecut. “Ayo, naik punggung tante. Kakimu luka.”
Wajah anak itu tersenyum cerah, mengalungkan lengannya yang mungil ke leher Althea dan membiarkan dirinya digendong.
“Hai cantik, di mana rumah kalian.”
“Di sana.” Anak itu menunjuk arah depan.
“Kebetulan, rumah tante di sana juga. Rumahmu nomor berapa?”
“Dua belas.”
“Hah, kita bertetangga dong. Rumah tante nomor tiga belas.”
Mendadak Althea teringat sesuatu dan menoleh. “Rumah kalian yang pagar hitam?”
Kedua bocah itu mengangguk kompak dengan wajah menggemaskan.
“Besar dan luas itu?”
Lagi-lagi keduanya mengangguk. Althea mengeluh dalam hati, bagaimana mungkin anak dari orang kaya bisa berkeliaran di jalanan saat hujan. Ke mana orang tuanya dan kenapa anak yang ada di punggungnya sekarang, memanggilnya mama. Kepalanya penuh dengan pertanyaan.
Dengan anak kecil di punggungnya, langkah Althea semakin melambat. Agak terengah dan satu tangan menggandeng bocah laki-laki. Tangan lain berada di pinggul si bocah perempuan, memastikan anak itu tidak jatuh. Di dekat rumah besar itu, ia melihat satu pria dan seorang wanita, berteriak di tengah hujan.
“Bibikkk!”
Saat mendengar teriakan kedua bocah itu, orang-orang di depan menghampiri Althea dan berucap histeris.
“Lio Lia, kalian kemana aja, sayang? Bibik tinggal sebentar malah hilang!”
Wanita tua menyambut mereka dan berniat menggendong anak kecil itu, sayangnya ditolak.
“Nggak mau, Lia mau sama mama.” la meringkuk di punggung Althea dan membuat orang-orang yang melihat tercengang.
“Kalian keluarga anak-anak ini?” tanya Althea. Wanita yang lebih tua mendekat.
“Maaf, Nona. Aku Marni. Penjaga rumah ini. Karena Adelia tidak mau turun, bisakah Nona mengantarnya ke dalam? Maaf, merepotkan.”
Mendengar permintaan sopan dari wanita itu, Althea mengangguk. Diikuti yang lain, ia masuk ke rumah besar dengan halaman cukup luas. Sesampainya di teras dengan sebuah sofa panjang dan beberapa kursi rotan, ia menurunkan anak dari punggungnya. Dibantu Marni, mendudukkan anak itu ke sofa.
Althea tersenyum, mengusap rambut anak itu. “Namamu siapa, Sayang?”
“Adelia. Dan ini kembaranku, Adelio”
“Adelia Adelio, anak baik, lain kali tidak boleh keluar lagi saat hujan atau juga sendirian, bahaya”
Keduanya mengangguk kompak dengan mata membola. “lya, Mama.”
Althea berucap sambil tersenyum. “Aku masih terlalu muda buat jadi mama. Daah, Adelio Adelia. Sampai ketemu lain kali. Rumah tante di samping, nomor 13.”
Althea membalikkan tubuh, melangkah ke halaman. Tugasnya sudah selesai. Namun, lengkingan dari belakang membuatnya menghela napas panjang.
“Mamaaa! Lio mau mama.”
“Mamaa, Lia ikut!”
Dua pasang tangan yang kecil kembali merangkul kakinya. Althea terdiam, menatap langit mendung dengan hujan yarng telah berhenti. Di belakangnya, terdengar banyak bujukan dari orang-orang pada si kembar, sayangnya anak-anak kecil itu tidak mau melepaskan kakinya. Akhirnya, ia mengalah. Mencoba berpikir realistis kalau melakukan semua ini demi kemanusiaan. Si kembar sedang membutuhkan bantuan dan ia tidak mungkin tinggal diam.
“Baiklah, tante antar kalian ke dalam. Lio, Lia, kalian harus mandi mandi dan ganti baju. Dan untuk si cantik ini, mari kita obati luka-lukanya.”
Althea meraih tubuh kedua anak itu dan menggandengnya masuk. la tidak menyangka kalau pertolongannya pada bocah yang hampir ditabrak motor, membawa banyak dampak dalam kehidupannya. Saat kakinya menginjak karpet ruang tamu, Althea tidak menyadari kalau nasib dan takdirnya sudah ditentukan.
Setelah hari itu, si kembar benar-benar menganggapnya seorang mama. Kedua bocah itu mendatangi rumahnya bersama si pengasuh, meminta nomor ponselnya dan setiap malam akan melakukan panggilan video. Althea tidak tahu siapa orang tua mereka. la hanya mendengar dari Marni kalau sang mama sudah meninggal, dan sang papa sedang bekerja di luar kota. Tidak peduli meski dilarang, keduanya terus mendatangi rumah Althea, dengan lantang memanggilnya mama.
