Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KPM - 2

Sebuah sedan SUV berhenti tepat di depan gerbang rumah Althea. Rumah dengan design minimalis modern dengan halaman yang cukup luas untuk ditanami aneka bunga dan bonsai. Althea tadinya diberikan sebidang tanah oleh Opanya, kemudian ia bangun sendiri dengan jerih payahnya selama menjadi Dokter. Perlahan-lahan sedikit demi sedikit, akhirnya rumah itu bisa ia tempati, baru beberapa minggu ini.

Masih ada sisa tanah, yang ia putuskan untuk dibangun sebuah Toko Kue, sekedar memenuhi hobby Mamanya. Jika ditanya kenapa ia tidak tinggal di rumah Opa? Sejak berkuliah ia memilih tinggal di kost, karena memang letak rumah sang Opa yang jauh dari lokasi kampusnya. Dengan padatnya jadwal kuliah kedokteran, Althea pikir akan lebih efisien jika ia tinggal di dekat kampus saja. Namun setiap akhir pekan ia akan pulang ke rumah Opa, menghabiskan waktu bersama Mamanya, karena memang dari rumahnya sekarang tidak terlalu jauh dengan rumah Opa.

Terdengar suara berat gerbang dibuka, bilah kayu kecoklatan itu bergeser. Nampak Althea keluar, berbalut dress simple navy selutut dan tas tangan putih. Kaki jenjangnya melangkah mendekati pintu samping penumpang yang terbuka.

Bersama dengan Tamara, Yolanda, dan Gania, tiga sahabat sekaligus koleganya yang juga sama-sama melayani di Klinik Sosial, mereka menuju Hotel tempat jamuan makan malam dengan mobil milik Yolanda. Mereka memutuskan untuk berangkat bersama, dengan maksud agar ada alasan jika mereka meninggalkan acara sebelum larut malam. Acara semacam ini biasanya memang berlangsung hingga larut malam, dan mereka berempat enggan untuk menghadiri hingga selesai.

Sesampainya di sana, Althea dikejutkan dengan banyaknya orang yang diundang datang. Gania mengajak ketiga sahabatnya untuk menemui sang pemilik acara, Dokter Diana. Di tengah ruang dengan meja makan bundar yang sudah tertata rapi, Dokter Diana menghampiri masing-masing meja kolega seniornya.

“Selamat malam Dokter Diana. Profinciat untuk promosinya. Semoga dengan promosi ini membawa manfaat untuk para pasien kedepannya, ya Dok”

Bergantian mereka menyalami Dokter senior mereka itu satu persatu dan saat tiba giliran Althea, tangannya dijabat lebih lama. Tiga sahabatnya sudah membaur bersama tamu-tamu yang lain. Tertinggal ia sendiri, berbicara sedikit serius dengan Dokter Diana.

“Al, aku mau mengenalkan kamu dengan beberapa Dokter Anak senior, siapa tahu mereka tertarik menjadi donatur atau relawan untuk Klinik Kesehatan kamu,” ucap Dokter Diana.

Althea tersenyum lebar, kedua lesung pipinya semakin mempermanis wajahnya yang hanya dipoles sederhana.

“Terimakasih banyak Dok, tahu saja kalau kami sangat membutuhkan tambahan Dokter Spesialis Anak. Beberapa waktu ini ada banyak kasus Diabetes Anak yang telat kami tangani karena prosedur rujukan pasien ke Rumah Sakit besar agak ribet. Kalau makin banyak yang bisa memberikan penanganan awal di Klinik setidaknya kondisi pasien nggak terlalu buruk sampai dengan mendapatan perawatan lebih lanjut di Rumah Sakit”

Dokter Diana tertawa. “Kamu juga jangan kapok-kapok ya kalau kami minta menjadi Dokter pengganti di Rumah Sakit, musim begini biasanya banyak pasien anak yang datang ke lGD. Kami juga kekurangan Dokter piket lGD.”

“Terimakasih banyak Dok. Aku pasti selalu siap menerima panggilan lGD. Lagian nih Dok, jomblo macam aku selain Klinik dan Rumah Sakit, bisanya hanya di rumah saja.”

Tawa renyah terdengar dari keduanya, memang bukan rahasia lagi jika Althea yang seorang jomblo memang lebih gemar berada di Klinik dan Rumah Sakit ketimbang di Mall atau Klinik. Tidak seperti wanita-wanita berkelas lainnya, penampilan Althea sangat sederhana. Menghindari kemewahan dan hidup glamor.

“Kapan kalian berencana membawa pasangan untuk undangan jamuan seperti ini? Masa kemana-mana selalu jomblo” tanya Dokter Diana. Dia cukup mengenal Althea dan ketiga temannya mulai dari bangku kuliah, karena Dokter Diana memang Asisten Dosen dan senior mereka sejak di bangku kuliah

Althea menggeleng dengan cengiran khasnya, mencoba untuk mengelak dari modus-modus mak comblang yang biasanya dilakukan Dokter Diana.

“Nggak ada yang mau sama aku Dok”

“Kenapa? Kamu cantik banget, pintar dan berjiwa sosial.” Dokter Diana menatap Althea dari atas ke bawah yang malam ini terlihat sekali aura kecerdasannya.

“ltu mungkin karena tipeku agak aneh, Dok.”

“Maksudnya? Kamu masih ‘normal’ kan?” Dokter Diana mengerutkan keningnya sempurna.

“Aku hanya tertarik sama duda dan sekarang lagi nunggu duda kaya raya yang mau sama aku. Syukur-syukur sudah tua. Hahaha!” Tawa Althea setelah berhasil mengerjai seniornya itu.

“Hahaha. Althea kamu lucu! Baiklah aku sapa yang lain dulu tamu yang lain dulu.”

Althea mendengkus dalam hati, berjalan ke meja dimana ketiga temannya menunggu. Bukan pertama kalinya rekan sejawatnya menanyakan soal pacar atau status. Mereka mengira, karena kemana-mana selalu dengan ketiga sahabat wanitanya yang juga Dokter, jadi ia ‘belok’ dari orientasinya.

Tidak ada lagi suara riuh tawa para undangan setelah satu persatu hidangan dikeluarkan oleh para pelayan. Aneka macam menu, mulai dari hidangan pembuka, menu western yang mahal hingga kudapan dan dessert ludes seketika, dan masih ada wine premium yang turut dihidangkan malam itu. Musik klasik dari alunan piano klasik mengalun lembut mengiringi acara makan malam ini.

Althea, yang sejak siang tadi merasa kepalanya sedikit berat, sempat meminum beberapa pil obat sakit kepala. Bisa dikatakan, itu adalah upaya mengurangi rasa pening di kepalanya sejak kedatangan tante dan sepupunya. Namun ia lupa jika jamuan makan malam biasanya menghidangkan wine. Dan kini reaksinya mulai muncul, dirinya diserang rasa kantuk yang cukup mengganggu, ia tidak dapat berkonsentrasi pada topik pembicaraan koleganya.

“Althea, HP-mu berbunyi!”

“Hah!”

“Ada telepon, HP kamu bunyi terus!” Yolanda yang duduk di sebelahnya, menunjuk dengan dagu pada tas tangan Althea di pangkuannya, menyadarkan akan suara dering ponsel dari dalamnya.

Althea mengedip, matanya berusaha terlihat fokus. la berusaha menarik kesadarannya kembali. Meraih ponsel dari dalam tas kecil itu dan memohon ijin rekan-rekan semejanya untuk menerima telepon itu. la tidak melihat nomor atau nama si penelepon, tapi karena berbunyi tiada henti, ia berniat untuk mengangkatnya. Althea dengan rasa kantuknya, menerima telepon itu dengan berusaha menjaga nada suaranya.

‘Siapa ya yang menelepon jam segini? Semoga bukan panggilan lGD’ monolog Althea dalam hati sambil mengetuk layar ponselnya. Panggilan sempat mati sesaat, namun kembali ponselnya berdering. la mengangkat panggilan itu.

“Halo!”

“Mama...”

“Hah, halo?”

“Mama, kakak sakit.”

Althea mengerjapkan mata beberapa kali, untuk menghilangkan kantuk dan menarik seluruh kesadarannya. ‘Mama? Mulai kapan aku punya anak, sedangkan menikah saja belum? Nggak mungkin aku nggak ingat kalau sudah melahirkan.’

“Maaf, sepertinya salah sambung,” ucapnya dengan nada lembut.

Jeritan di ujung telepon membuatnya terdiam.

“Mama Althea, Lia sakit, Lio atuut, Mamaaa!”

‘Lia Lio?’ Perlahan-lahan, nama-nama itu masuk ke dalam otaknya. ‘Ah, mungkin maksudnya Adelia dan Adelio.’

Tersentak akan ingatannya, Althea membulatkan mata. Bergegas ia berdiri dari duduknya, meraih tas tangan yang ia tinggalkan di meja, dan menganggukan kepala tanda pamit kepada rekan-rekan di mejanya.

“Adelio, Sayaang. Jangan nangis, Mama pulang sekarang!”

Mematikan sambungan, ia berjalan cepat menuju meja Dokter Diana. Berpamitan singkat pada Dokter Diana, menggunakan alasan pasien emergency. Setengah berlari menuju keluar restoran itu, menekan tombol lift dan berdiri tak tenang menunggu lift itu naik hingga lantai 30.

“Althea! Kamu mau ke mana?”

“Pulaang!”

“Ada apa denganmu?” Yolanda mengusap bahunya. “Apa ada pasien gawat di Klinik?”

“Althea, ada apa.” Kali ini suara Gania yang terdengar.

Althea tidak peduli dengan panggilan teman-temannya. la bergegas masuk ke lift yang membawanya menuju lobby, masuk ke dalam taxi yang sudah standby di depan Hotel, dan mengatakan alamat tujuannya.

“Agak ngebut sedikt ya, Pak!” perintahnya. Hilang sudah kantuknya tadi, ia menyandarkan tubuh ke kursi. Tidak peduli pada taxi yang melaju gila-gilaan di jalan raya. Kekuatirannya akan bocah yang tinggal di sebelah rumah, mengalahkan ketakutannya.

Tidak sampai lima belas menit, ia sudah tiba di depan rumah berpagar tinggi berwarna hitam. Suasana yang sepi membuatnya bertanya-tanya, apa benar tadi yang meneleponnya adalah Adelio. Untuk memastikan, ia memencet bel. Tidak ada yang membuka pintu, ia kembali memencet bel, hingga pintu rumah terbuka dan Adelio berlari keluar dalam balutan baju tidur dan guling kecil di tangannya.

“Mamaa!” teriaknya.

Althea tersenyum. “Ssttt… Tenang sayang, Mama datang. Siapa yang sakit sayang?”

“Adelia, Ma. Lio takut Maaa”

“Kalau begitu, bisa Lio bukakan pagarnya? Mana kuncinya, sayang?”

Adelio menggeleng. “Lio nggak tahu, Mama. Lia sakit. Bibi bobok”

“lya, Lia sakit. Sabar ya, sayang.”

Althea menyumpah dalam hati, mendapati pagar terkunci sedangkan ia harus masuk. la mengedarkan pandangan pada sekeliling yang sepi dan gelap. Menyadari tidak akan ada yang akan membantunya masuk, ia memilih menaiki pagar setelah melepas sepatunya dan berharap tidak jatuh. Untung saja potongan gaun Althea malam ini agak lebar di bagian bawah, sehingga memudahkan langkanya saat memanjat pagar itu. la melompat turun dan terguling di tanah yang keras. Meringis saat lututnya perih dan kepalanya kembali berdenyut menyakitkan.

Adelio bergegas menghampiri dan meraih tangannya. “Mama nggak pa-pa?”

“Ayo, kita lihat Lia. Di mana Bi Marni dan pengasuhmu?”

Anak kecil dalam genggaman Althea menggeleng. Bukan salah anak itu, karena malam ini rumah memang terlihat sangat sepi.

Bergandengan tangan, mereka menuju salah satu kamar yang berada di lantai atas. Saat pintu membuka, Althea melongo, melihat betapa besarnya kamar itu. Tatapannya tertuju pada ranjang besar, seorang anak perempuan terbaring di atasnya. la melangkah mendekat, dan mendengar anak itu merintih.

“Mamaa .. Mama.”

la memegang dahinya dan berjengit karena panas. Sialnya ia tidak membawa peralatan Dokter-nya Menoleh pada Adelio ia bertanya lirih. “Sayang, di mana dapurnya?”

Dibimbing oleh Adelio, Althea menuju dapur di lantai satu. Membuka kulkas, namun ia tidak menemukan kompres yang dicari. Biasanya orang tua dengan anak-anak kecil menyimpan sejenis kompres instan, untuk berjaga-jaga bila si kecil demam.

la mengambil panci dengan gerakan cepat, mengucurkan air dan meletakkan di atas kompor lalu menyalakannya. la mencari wadah apapun, mengisi dengan air dingin. Setelah merasa air cukup panas, ia mencampur dengan air dingin.

“Lio, apa di kamar ada handuk kecil?”

Adelio mengangguk. “Ada Ma, di kamar Lia.”

Mereka kembali ke kamar di lantai atas, Adelio berlari masuk ke kamar mandi dan mengulurkan handuk pada Althea. Perlahan Althea mengompres Adelia. Anak perempuan itu terus merintih dan mengigau. Dia mulai tertidur dengan tenang saat panasnya mulai mereda.

Althea mengambil tisu, mengelap keringat anak perempuan itu. la tak habis pikir, saat ada anak kecil sakit dan ditinggal tanpa pengawasan. Ke mana perginya pengasuh mereka? Bukankah harusnya malam ada di rumah? Kenapa Adelio meneleponnya?

“Lio, ke mana Bi Marni? Dari tadi tidak kelihatan?”

Tidak ada jawaban dari bocah kecil itu. Althea menoleh dan mendapati Adelio tertidur di samping Adelia. Seulas senyum muncul dari bibirnya. Mendadak, rasa kantuk menguasainya. Althea membuka sepatu, berbaring di sebelah Adelio dan memeluk anak itu. Dalam hitungan menit, ia tertidur pulas.

°♡°♡°♡°

Pagi menjelang, sebentar lagi matahari akan muncul di ufuk Timur, mengusir embun dan udara sejuk pagi hari. Evander baru saja memarkirkan kendaraannya di carport, sedikit lelah untuk memarkirkannya ke dalam garasi. la meraih koper kecilnya di jok tengah lalu menyeretnya masuk. Pertemuan bisnisnya di kota Malang yang berjalan hingga larut-lah yang membuatnya memutuskan untuk pulang di pagi buta.

Rumah masih sangat sepi, belum ada penghuninya yang bangun. Cukup aneh karena biasanya Bi Marni sudah berkutat di dapur jam segini. Evander memutuskan akan memeriksa kondisi rumahnya yang tidak biasa ini.

Langkah Evander terhenti di ruang makan. Melepaskan jaket dan mengambil segelas air dari dispenser, lalu meneguknya. Beberapa hari ia tinggalkan, rumah dalam keadaan sama. Tidak ada yang berubah, juga tidak ada tanda-tanda kenakalan dua anaknya, yang biasa suka mengacak-acak.

“Kali ini, pengasuh mereka bekerja dengan benar. Anak-anak bisa dikendalikan,” gumam Evander dengan senang.

Selesai minum, ia mencuci gelas bekasnya di westafel. Mengernyit saat mendapati panci di atas kompor. Tidak biasanya begitu, Bi Marni selalu merapikan dapur setiap ia selesai memasak. Siapa yang baru selesai memasak?

Evander memutuskan untuk membersihkan diri dahulu, menarik koper menuju kamar, ia membuka pintu dan tertegun. Di ranjanganya, kedua anaknya sedang berbaring dengan seseorang yang tidak dikenal. la mengernyit, mendekati ranjang dan bingung dengan pemandangan yang dilihat.

Seorang wanita bergaun navy, berbaring memeluk Adelio. Ujung gaun wanita itu tertarik hingga nyaris ke pangkal paha dan menunjukkan kakinya yang jenjang dan mulus. Evander menghela napas panjang, memiringkan kepala. Tidak habis pikir ada seorang wanita asing, berbaring di ranjangnya bersama kedua anaknya.

“Siapa kamu? Kenapa ada di kamarku?”

Evander bergumam pelan, dan tidak ada jawaban. Samar-samar ia mendengar dengkur halus dari mulut wanita itu. Menghela napas panjang, Evander duduk di kursi, menatap kedua anaknya dan si wanita. Mau tidak mau, ia harus menunggu mereka bangun untuk mendapatkan jawabannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel