Bab 2
"Kalau kau lapar, kau bisa turun ke bawah setelah ini."
Sharon meremas lenganku lalu keluar dari kamar. Sebelum membersihkan diri, aku mengamati kamar ini. Dindingnya berwarna beige, karpet merah marun lembut yang hangat di atas lantai kayu keras, dan sebuah ranjang berukuran besar di dekat lemari kayu.
Ada lorong kecil di dekat pintu dan satu pintu lagi di sana yang ternyata adalah kamar mandi. Setidaknya kamar ini lebih baik daripada kamarku yang dulu. Rasanya lebih nyaman. Baiklah, Candice. Lupakan tentang kamar lamamu karena sekarang kau adalah buronan.
Bergegas aku melepaskan pakaianku dan menuju ke kamar mandi. Setelah menyiapkan air hangat di dalam bak mandi, aku segera berendam dan menikmati rasa hangat yang membuat tubuhku langsung terasa rileks. Aku lupa kapan terakhir kalinya memanjakan tubuhku dengan air hangat seperti ini. Mungkin dua bulan? Tiga? Empat? Entahlah.
Sambil memejamkan mata, aku teringat dengan reaksi Sharon ketika tahu bahwa aku adalah dacros. Memang benar bahwa keberadaan kami sangat jarang diketahui oleh siapapun. Hanya iblis, beberapa penyihir tingkat tinggi, malaikat, dan tentu saja Sang Pencipta yang tahu.
Para tetua sengaja menyembunyikan dunia kami agar tidak ada yang mengganggu, entah bagaimana caranya. Kami memang tidak suka jika ada makhluk supernatural lain memasuki dunia kami, terutama iblis yang suka berbuat ulah.
Selama ini dacros hanya dianggap sebagai mitos bagi makhluk supernatural lain, bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Kekuatan Raja dan Ratu Dacros sangatlah besar, tapi masih kalah dengan kekuatan yang dimiliki oleh para malaikat—karena mereka mendapatkan kekuatan penuh dari Sang Pencipta.
Dacros dibagi menjadi dua ras, yaitu ras White Dacros dan ras Black Dacros. Kedua ras sering berperang dan sampai sekarang aku masih belum tahu pasti apa penyebabnya.
Bangsa kami memiliki bau yang khas. Jika ada makhluk supernatural yang bertemu dengan salah satu dari kami, mereka akan lupa daratan dan memburu kami karena mabuk dengan aroma yang menguar dari tubuh kami. Itu benar-benar mengganggu.
White Dacros dan Black Dacros memiliki cukup banyak perbedaan. White Dacros lebih suka mengenakan pakaian berwarna putih atau biru, dan suka memakan buah-buahan. Sedangkan Black Dacros lebih suka memakai pakaian berwarna gelap dan memakan daging.
Darah dacros sangat beracun bagi vampir dan werewolf. Setidaknya itu yang kutahu dari buku sejarah di perpustakaan kerajaan. Tapi setelah melihat bagaimana efek darahku bagi Sharon, aku baru benar-benar percaya sekarang.
White Dacros memiliki sayap berwarna putih dan senjatanya adalah tombak dan panah. Sedangkan Black Dacros memiliki kekuatan hitam, tidak memiliki sayap atau mungkin mereka memilikinya namun aku belum pernah melihatnya, dan senjatanya adalah pedang.
Jika salah satu dari mereka terkena kekuatan lawan, maka ia akan terluka cukup parah, bahkan ada yang sampai meninggal. Maka dari itulah setiap individu dacros pintar bertarung untuk mempertahankan diri.
Untungnya tidak setiap hari kedua ras berperang. Mereka akan berperang setahun sekali, saat perayaan pergantian tahun. Dan selama ini White Dacros selalu menang karena ayahku begitu kuat.
Namun saat ini raja baru Black Dacros masih sangat muda dan kuat. Kekuatannya setara dengan kekuatan ayah, atau bahkan mungkin melebihi? Entahlah, aku tidak terlalu mengenal raja baru itu. Untuk itulah ayahku sedikit khawatir jika suatu saat nanti ia kalah dan dunia dacros akan dikuasai oleh Black Dacros.
Ada satu hal yang harus diketahui bahwa White Dacros tidak selalu baik dan Black Dacros tidak selalu jahat. Pada kenyataannya, ras White Dacros bernafsu sekali ingin melenyapkanku begitu ibuku meninggal di depan mata kepalaku sendiri.
Berbeda sekali dengan ras Black Dacros yang tidak mempermasalahkan saat aku menyelinap ke kamar....Oh, sial! Kenapa aku harus mengingat kejadian itu lagi? Baiklah, abaikan. Jika kalian mengira bahwa aku adalah White Dacros, maka kalian salah besar. Aku bukan White Dacros ataupun Black Dacros, melainkan...
"Siapa kau?"
Aku terlonjak kaget ketika mendengar bentakan dari samping kananku. Seorang pria dengan mata merah dan taring panjang. Dia menatapku seolah-olah aku adalah makanan terlezat di dunia. Aku menaikkan sebelah alis. Huh, vampir lagi? Bisakah aku beristirahat lebih lama tanpa adanya insiden merepotkan seperti ini lagi?
Aku berusaha untuk terlihat tenang, meskipun saat ini aku ingin sekali mencolok kedua matanya. Mata itu dengan sangat kurang ajarnya menulusuri tubuhku yang masih terendam di dalam bathtub.
Untungnya masih ada busa yang menghalangi tubuhku dari tatapan kelaparan vampir sialan itu, sehingga aku masih bisa bernafas lega. Tanpa sadar aku mendesis dan orang itu—maksudku vampir itu—membelalakkan matanya. Ia mundur selangkah dan menggeram hingga matanya semakin menghitam dan taringnya semakin memanjang. Cakarnya pun juga ikut memanjang.
Entah sejak kapan taringku keluar, yang jelas aku hanya ingin mempertahankan diri. Aku enggan mengobatinya jika ia berhasil meminum darahku. Vampir pria berambut dirty blonde itu tiba-tiba saja melesat ke arahku dan mencakar lenganku, lalu mengarahkan taringnya ke leherku.
"Ashton, jangan!" teriak Sharon dari ambang pintu. Dia menarik vampir itu dan membantingnya hingga merusak pintu kamar mandi.
Vampir itu ternyata keras kepala. Ia tetap berusaha untuk kembali menyerangku dan menghisap darahku.
"Kau akan mati jika menghisap darahnya! Dia adalah dacros!" jerit Sharon yang berhasil membuat vampir pria itu membeku di tempatnya.
Dengan perlahan taringnya menghilang, begitu juga dengan kuku panjangnya. Warna matanya berubah menjadi biru laut yang menyejukkan.
"Da-Dacros?" tanya pria itu.
Tiba-tiba matanya membelalak dan terpancar kengerian di sana. Ia melangkah mundur dan mengambil jarak terjauh dariku.
"Candice, maafkan aku. Aku tidak tahu bahwa Ashton akan masuk kemari. Kau tidak apa-apa? Astaga, lukamu!" pekik Sharon panik, namun sedetik kemudian tertegun sambil menatap lenganku yang tadi terluka.
Lukaku bisa menutup dengan sendirinya seperti yang dialami oleh vampir. Bukan hal yang aneh.
"Bisakah kau menyuruhnya untuk keluar? Aku tidak ingin masuk angin jika terus bersembunyi di sini," mohonku sambil mengeratkan kedua lenganku untuk menutupi dadaku.
Kulihat vampir pria bernama Ashton itu langsung salah tingkah dan buru-buru melesat keluar dari kamar mandi. Sharon membantuku berdiri lalu segera memakaikan handuk ke tubuhku.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya masih dengan raut wajah menyesal.
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa mendapatkan luka seperti ini," jawabku.
Aku bergegas keluar dari kamar mandi dan mengambil pakaian dari lemari. Kuambil celana pendek dan t-shirt longgar, lalu menyisir rambut hitam bergelombangku dengan cepat setelah selesai memakai pakaian sederhana itu.
Saat aku menatap pantulan wajahku di cermin, mataku langsung membelalak kaget. Pantas saja Ashton tadi langsung bersikap siaga. Ternyata warna mataku berubah menjadi hitam pekat. Perlahan warna itu berubah lagi menjadi hijau, lalu violet.
"Wow! Warna matamu bisa berubah-ubah? Indah sekali," gumam Sharon dengan takjub di belakangku.
"Yah, memang hanya aku yang bisa melakukannya. Makanya banyak yang bilang aku ini aneh," sahutku sambil mengamati kedua mataku.
"Tidak, tidak! Kau sangat cantik, Candice. Apalagi saat kau mengeluarkan taring tadi. Aromamu berubah menjadi sangat wangi dan memabukkan, seperti percampuran antara bunga-bungaan dan buah-buahan atau apapun itu yang membuat nafsu makan makhluk supernatural manapun meningkat drastis. Ashton saja sampai tak bisa menahan diri untuk menghisap darahmu. Yah, meskipun darahmu adalah yang terlezat sekaligus mematikan," ujarnya lalu tertawa kecil.
Aku tertawa mendengar pendeskripsiannya mengenai diriku.
"Aku jadi ragu kalau besok kau benar-benar ikut bekerja denganku di perusahaan yang penuh dengan manusia. Kau akan membuat semua wanita iri dan laki-laki meneteskan air liur," desahnya.
Benarkah? Kupikir itu terlalu berlebihan. Bukankah cantik itu relatif, jadi tidak mungkin semua wanita dan pria yang melihatku akan bereaksi seperti itu.
"Candice?" panggil Sharon dengan hati-hati.
"Hmm?" gumamku sebagai jawaban.
"Kau...aku baru sadar bahwa kau memiliki taring. Kudengar kalau dacros memiliki taring, berarti dia adalah Black Dacros..." Sharon menghentikan perkataannya, lalu tiba-tiba membelalak.
Ada ketakutan yang terpancar di matanya. Apa dia suka membaca buku sejarah sehingga mengetahui seluk beluk mengenai dacros secara detail?
"Jadi, itukah sebabnya mengapa darahmu bisa membunuh vampir? Karena kau adalah Black Dacros?" tanyanya.
Aku melirik pintu sebentar, lalu kembali menatap Sharon. "Black Dacros tidak bisa menyembuhkan," jawabku lirih.
Sharon mengerutkan keningnya, terlihat bingung. "Lalu? Kau ini termasuk yang mana? Aku benar-benar tidak mengerti mengenai bangsamu. Aku hanya membaca sekilas saja mengenai sejarah dacros karena kukira mereka hanyalah mitos untuk menakuti vampir yang masih anak-anak."
Haruskah aku mengatakannya? Apakah ini tidak terlalu cepat? "Aku memiliki darah campuran," jawabku singkat lalu berjalan melewatinya dan keluar dari kamar.
Itulah mengapa aku menjadi buronan, karena darah sialanku inilah yang membuat ibuku meninggal. Aku benci memiliki darah ini. Aku benci menjadi pembunuh. Tanpa sadar aku menangis.
Tidak! Aku tidak boleh menangis. Tapi dikhianati itu rasanya sakit sekali! Aku mencengkeram pegangan tangga sambil mencengkeram dada kiriku. Aku seperti terbuang. Tidak ada yang menginginkanku, bahkan ayahku sekalipun.
Huh, ayah? Masih pantaskah aku memanggilnya ayah setelah apa yang dia lakukan padaku? Bahkan dia sudah tak mau lagi untuk sekedar menoleh ke arahku karena aku bukanlah anak kandungnya.
Pantas saja selama aku hidup, ia hanya memanjakan Airis. Itu benar-benar menyakitkan. Dia juga selalu membuang muka saat melihat sayap emas yang keluar dari punggungku. Dia hanya memuji Airis meskipun wanita tolol itu tidak pernah berubah menjadi pintar.
"Candice, kau tidak apa-apa?" tanya Sharon seraya menggenggam kedua tanganku.
