Bab 3
Aku menggeleng dan tersenyum tipis. Untungnya Sharon bukanlah tipe wanita yang suka ikut campur atau memaksakan kehendaknya sejauh ini.
Kami segera menuruni tangga dan menuju ke meja makan agar tidak membuang-buang waktu. Banyak sekali makanan disana, sementara Ashton sedang menikmati sepotong daging mentah dengan lahap.
Di sampingnya ada segelas darah yang pastinya akan membuat manusia mual jika melihatnya. Ia mendongak dan melihatku sekilas, lalu kembali melanjutkan kegiatannya.
"Aku tidak tahu seleramu, jadi aku memasak ini semua. Makanan manusia rasanya lumayan enak," ucap Sharon memecah keheningan di antara kami.
Aku tak membalas perkataannya karena mendadak aku sangat kelaparan. Ada apa denganku? Tiba-tiba saja aku sudah melahap habis makanan di hadapanku tanpa sisa, membuat Ashton dan Sharon melongo.
"Candice?" panggil Sharon dengan hati-hati.
Aku mendongak dan melihat tatapan ingin tahu dari mereka berdua. Tubuhku terasa sakit sekali. "Aku masih lapar. Apa yang terjadi padaku?" tanyaku panik lalu berlari menuju ke dapur dan melahap apapun yang kutemui. "Bahkan ini semua tak mampu menghentikan rasa laparku!" Aku menenggak sebotol darah dengan cepat.
"Hei, itu darahku!" teriak Ashton sambil berusaha merebut botol itu dari tanganku.
Aku membanting botol itu lalu menatap mereka dengan nafas terengah-engah. Ashton dan Sharon melangkah mundur dengan waspada begitu aku merasakan ada yang tidak beres dengan gigiku saat melihat mereka.
"Apa yang terjadi denganku? Aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Aku...agh." Tiba-tiba dada kiriku terasa sangat perih dan panas. "Sharon! Tubuhku seperti terbakar! Tolong aku!" jeritku sambil berusaha mencakari dada kiriku.
Seseorang menahan tanganku dan aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu. Tubuhku seperti melayang sebelum dibaringkan di atas sesuatu yang empuk.
"Panas....lapar....tolong aku," desisku.
"Hei, berhenti mencakari tubuhmu sendiri! Sharon, cepatlah!"
Tiba-tiba aku merasakan sengatan di lenganku dua kali. Aku masih menggelepar kepanasan dan meronta-ronta. Rasanya seperti terbakar dan itu menyakitkan.
"Lagi!"
Sekali lagi aku merasakan sengatan itu dan cairan entah apa itu memasuki pembuluh darahku, hingga lama kelamaan aku merasakan mataku mulai memberat.
Aku mengerjap beberapa kali, dan akhirnya kedua mataku menutup dengan sempurna. Masih sempat kudengar sayup-sayup suara Sharon dan Ashton, lalu rambutku dibelai dengan lembut, dan setelah itu aku sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
***
"Kau milikku, Candice," kata seorang pria yang wajahnya tak begitu jelas.
"Siapa kau?" tanyaku sambil berusaha menajamkan penglihatanku.
"Kau melupakanku, hm? Setelah apa yang kau lakukan padaku di kamarku?" tanya pria itu dengan nada menggoda.
Kamar?
"Aku bisa menghentikan rasa laparmu itu, Sayang. Karena aku juga merasakan hal yang sama," kata pria itu lagi.
Oh, aku baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Astaga! Tidak Mungkin! Dia...dia adalah...
"Hayden," gumamku tak percaya.
"Ya, Sayang. Aku ingin kau merasakan hal yang sama seperti waktu itu," jawabnya lalu tersenyum lebar.
"Jangan," gumamku saat dia mulai mendekatiku.
Hentikan! Jangan lakukan itu! Tapi aku merasa tidak sanggup untuk menolak sensasi yang menyenangkan dan luar biasa ini.
"Kau adalah ratuku. Tak akan kubiarkan siapapun memilikimu," ucapnya dengan nada yang terdengar begitu mendominasi.
***
"Hah!" Aku tersentak dan langsung membuka mata.
"Candice, kau tak apa-apa?" tanya seorang wanita yang terdengar familiar di telingaku.
Aku menoleh dan mendapati Sharon yang sedang berbaring di samping kananku. Entahlah, apakah aku baik-baik saja? Tapi mimpi tadi terasa begitu nyata. Rasanya, rasanya bagian bawah tubuhku... Tidak mungkin! Tanpa sadar aku berlari ke kamar mandi secepat yang aku bisa.
Tubuhku sudah bugar sepenuhnya. Tak ada lagi rasa lapar seperti sebelumnya yang begitu menyiksa. Aku menatap cermin dan terkesiap saat mendapati wajahku terlihat berbeda. Kulitku nampak bersinar dan rambut hitamku berkilau.
Oh, tidak. Ini terlalu mencolok. Apa yang terjadi padaku? Dan itu...tunggu, tanda apa itu di dada kiriku? Seperti tato sepasang sayap dan pedang dengan posisi vertikal di tengah-tengahnya yang berada tepat di atas jantungku. Apakah ini yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa itu?
"Candice?" panggil Sharon dari luar kamar mandi.
Cepat-cepat aku melepaskan pakaianku dan melangkah ke bilik shower. Guyuran air hangat merilekskan tubuhku dan menenangkan pikiranku. Aroma lavender dari sabun dan shampo semakin membuatku merasa nyaman. Setelah membilas tubuh dan rambutku, aku keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. Kudapati Sharon yang tengah menatapku aneh.
"Kau terlihat...berbeda," gumamnya sambil mengamati seluruh tubuhku.
Aku merasa risih dipandangi seperti itu, jadi kuputuskan untuk menuju ke lemari besar di dekat ranjang dan melihat-lihat pakaian yang tertata rapi di sana.
"Hari ini kau ikut denganku ke kantor," ujarnya.
Aku menoleh sekilas padanya, lalu kembali fokus pada tumpukan pakaian yang membuatku bingung. Di dunia dacros, tidak ada yang namanya celana pendek atau t-shirt seperti yang kupakai kemarin. Pakaian yang dipakai wanita adalah gaun tanpa lengan yang panjangnya selutut dan terbuat dari kain sutra.
Sedangkan untuk keluarga kerajaan, gaunnya panjang sampai di bawah mata kaki dengan lengan panjang sampai di bawah pergelangan tangan, yang berarti menandakan bahwa wanita itu terhormat dan berkelas tinggi.
Sebenarnya aku merasa sangat risih jika setiap hari harus mengenakan gaun panjang, karena itu menghambat pergerakanku yang tidak suka berdiam diri. Tapi di dunia manusia, kenapa pakaiannya justru banyak yang terbuka? Kutebak karena gaya hidup atau cuaca yang begitu panas. Di duniaku tidak pernah sepanas ini.
"Aku harus memakai pakaian yang mana?" Aku menoleh ke arah Sharon yang sudah memakai pakaian yang terlihat tebal dan kaku.
"Pakailah ini. Beberapa manusia berpakaian seperti ini saat bekerja," jawabnya sambil mengambil tiga potong pakaian lalu menyerahkannya padaku.
Aku mengambil bra dan celana dalam, lalu menyambar pakaian itu dan melesat menuju ke kamar mandi. Hanya butuh waktu kurang dari satu menit dan aku sudah selesai memakai semua itu. Aku menatap bayanganku di cermin. Oh, tidak!
"Sharon, bisakah kau membuatku terlihat biasa-biasa saja?" tanyaku sambil berjalan mendekatinya.
Sharon memiringkan kepalanya tampak berpikir. "Kau masih terlihat mencolok meskipun mengenakan pakaian formal seperti itu. Huh, aku sungguh iri."
"Sharon, kau tidak ingin sara...pan?"
Aku menoleh ke arah pintu dan mendapati Ashton yang tengah mematung seraya mengamatiku. Aku tersenyum padanya, namun tubuhnya langsung menegang dan sebelum aku sempat berkedip, dia sudah menghilang. Kenapa dia?
"Dasar! Baru kali ini dia jatuh cinta. Sayang sekali pada wanita yang salah," gumam Sharon sambil menggiringku ke depan meja rias di samping nakas.
"Jatuh cinta pada siapa?" tanyaku penasaran.
"Bukan siapa-siapa. Candice, aku penasaran kenapa baumu seperti manusia?" tanya Sharon sambil melakukan sesuatu pada rambutku. "Wow, rambutmu memiliki highlight merah marun. Seingatku kemarin hanya berwarna hitam. Apakah semua dacros seperti itu? Menyenangkan sekali jika bisa mengganti warna rambut dan mata setiap saat."
"Hei, aku sendiri tidak tahu kenapa rambutku tiba-tiba memiliki highlight," jawabku sambil ikut mengamati warna rambutku.
"Jawab dulu pertanyaanku yang tadi," desak Sharon mengingatkanku.
"Oh, aku memakai sesuatu yang membuatku bisa menyamar. Yah, seperti menghilangkan jejak," ucapku seraya mengamati kalung di leherku dari balik cermin.
Kalung milik Raja Black Dacros memang terkenal sakti. Itu bisa membuat sang raja mengubah baunya menjadi seperti makhluk apapun yang dia inginkan. Entahlah, kenapa dia bisa memiliki benda seperti ini? Apa yang tersimpan di dalamnya sehingga bisa membuat pemiliknya menyamarkan atau mengubah bau tubuhnya?
"Oh, ya? Apa itu?" tanya Sharon penasaran.
Aku mengeluarkan kalung dengan liontin sebuah pedang kecil yang memiliki hiasan batu permata berwarna emerald. Kalung itu terlihat bersinar jika dilihat oleh makhluk supernatural seperti kami.
"Indah sekali," gumam Sharon dengan mata berbinar.
"Um, sebenarnya ini sangat rahasia. Aku harus menyembunyikannya agar tidak diketahui oleh makhluk lain. Bisakah kau menjaga rahasiaku?" pintaku.
"Tentu saja. Aku tak ingin terjadi sesuatu padamu. Nah, sekarang sudah selesai. Ayo kita sarapan!" ajaknya dengan antusias sambil menarik tanganku untuk keluar dari kamar.
"Darimana kau mendapatkan darah-darah itu? Kemarin aku melihat ada berbotol-botol darah di lemari es," tanyaku penasaran.
"Ashton yang mendapatkannya. Dia memburu binatang karena tidak ingin meminum darah manusia. Kemarin aku benar-benar kelaparan, jadi aku memutuskan untuk berburu sendiri di hutan. Ternyata aku malah menemukanmu tergeletak begitu saja di atas rumput dengan bau yang menggiurkan," jawabnya dan meringis begitu menatapku.
Kami sudah sampai di ruang makan dan hanya tersedia sandwich di atas meja.
"Ak-aku tidak tahu apa seleramu, jadi aku menuangkan darah di gelasmu. Aku pikir setelah melihatmu meminum darah kemarin, kau juga meminum darah seperti kami," ujar Ashton dengan gugup. Wajahnya terlihat begitu tegang.
Ada apa dengannya? Dia bahkan tidak berani memandangku secara terang-terangan seperti kemarin. Aku mengerutkan kening sambil mengamati perubahan raut wajahnya.
"Ashton, kau terlihat gugup sekali. Bersikaplah biasa saja di depannya," bisik Sharon dengan sangat pelan, namun aku masih bisa mendengarnya.
Tiba-tiba terbersit ide jahil di kepalaku yang membuatku menyunggingkan seringai. Aku mendekati Ashton dengan perlahan lalu duduk di sampingnya dan menghadapnya.
"Jadi, kau memperhatikanku, hm?" tanyaku sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya.
Ashton melengos. Tangannya menggenggam gelas di depannya dengan erat. Geraman rendah lolos dari tenggorokannya yang sempat terdengar di telingaku.
"Kenapa kau menghindariku? Apa aku sejelek itu?" tanyaku dengan wajah sedih.
"Tidak! Kau sangat cantik! Kau sungguh mempeso...."
