Bab 1
Suara kicauan burung yang begitu nyaring membuat telingaku sedikit berdenging. Ingin sekali aku menyentil burung itu hingga terjatuh dan mati, namun segera kuurungkan niatku. Aku bukanlah pembunuh.
Mengingat satu kata itu membuat dadaku kembali berdenyut nyeri. Aku benci semua orang yang tak mau mendengarkan penjelasanku, apalagi saat pria yang kucintai lebih memilih untuk mempercayai wanita sialan itu—wanita yang sayang sekali adalah kakakku, yang menusukku dari belakang hanya demi Alvon.
Srek.
Aku bergeming dan berpura-pura masih tidur saat mendengar suara itu. Gerakan yang sangat halus—bahkan tak bisa ditangkap oleh indera manusia—mendekat ke arahku dengan sangat cepat seperti hembusan angin. Ia mendekatiku dan baunya langsung tercium. Vampir.
Sesaat kemudian, sesuatu yang tajam menusuk pangkal leherku. Darahku terasa mengalir menuju ke area itu karena hisapan dari si vampir. Aku membuka mata dan melihat rambut cokelat panjangnya menutupi sebagian wajahku. Vampir itu terlalu sibuk, membuatku tersenyum dan membiarkannya mengambil apa yang dia mau.
"Agh!" Terdengar suara seperti tercekik dari atasku.
Wanita itu mengangkat wajahnya. Mata merahnya menatapku nanar dan dia melangkah mundur.
"Bagaimana rasanya?" tanyaku seraya menyeringai. Aku bangkit dari posisi tidurku di atas rerumputan lalu mendekatinya dengan perlahan. Wanita itu semakin cepat berjalan mundur, tapi sayang sekali tubuhnya semakin melemah dan akhirnya jatuh tersungkur setelah menabrak sebuah pohon besar.
"Ka-kau...da...da..."
"Yup, kau benar," jawabku. Dalam sepersekian detik aku sudah berada tepat di hadapannya.
"T-tapi...baumu seperti...manusia. Aku mohon...tolong...a-aku. Aku benar-benar...kelaparan tadi. Aku mohon," mohonnya sambil mencengkeram lehernya dengan erat.
Wanita itu mulai menitikkan air matanya yang membuatku heran. Vampir bisa menangis? Kukira mereka tidak punya emosi.
"Ak-aku...mohon. Aku masih...ingin hidup," lanjutnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Aku menghela nafas panjang. Aku bukan makhluk jahat. Dan aku bukanlah pembunuh. Sialan dengan satu kata itu! Memejamkan mata sebentar, aku berjongkok dan melepaskan cengkeraman tangannya dari lehernya.
Lehernya mulai membiru dan hampir sebagian besar tubuhnya sudah ditumbuhi sesuatu seperti akar berwarna hitam. Hanya tinggal wajahnya saja yang masih terlihat putih pucat.
"Tolong...aku. Kau adalah...orang baik. Maafkan...aku," ucapnya, mulai kehilangan fokus dan nafas yang mulai melemah.
Sekali lagi aku menghela nafas. Dengan segera aku menggigit lehernya, menghisap darahnya dan meludahkannya ke samping, lalu memasukkan racun yang ada di taringku ke dalam tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, akar-akar yang tadi menjalari tubuhnya berangsur lenyap. Wanita itu kembali normal hanya dalam hitungan detik. Setelah wanita itu sudah kembali sehat, dia langsung memelukku.
"Terima kasih karena sudah menyelamatkanku. Maafkan aku karena telah berusaha memakanmu tadi," ucapnya seraya menangis.
Aku mengelus punggungnya lalu melepaskan pelukannya.
"Hei, tidak apa-apa. Aku mengerti dengan apa yang kau rasakan. Ngomong-ngomong, aku Candice. Siapa namamu?" kataku seraya mengulurkan tangan padanya.
Dia menatap tanganku dengan takjub sebelum beralih menatap mataku. Alisku berkerut melihat reaksinya. Kenapa?
"Kau mengajakku untuk berkenalan? Setelah tadi aku berusaha membunuhmu?" tanyanya dengan kerutan dalam di antara kedua alisnya.
Aku mengangkat bahu tak peduli. "Memangnya ada masalah?"
"Eh? Oh, umm...seingatku tak ada yang berani dekat-dekat denganku. Biasanya manusia akan takut melihatku ketika aku sedang kelaparan," jawabnya masih dengan raut wajah bingung.
"Yeah, itulah mereka. Tapi tidak denganku," balasku. Aku melirik tanganku, dan dia cepat-cepat menjabatnya.
"Maaf membuatmu menunggu lama. Aku Sharon. Senang berkenalan denganmu. Jadi, mulai sekarang kita berteman?" tanyanya dengan wajah berseri-seri.
Aku baru tahu bahwa ternyata wajah vampir bisa berseri-seri. Dia terlihat lebih cantik.
"Tentu saja," jawabku sambil tersenyum.
"Ayo, ikut ke rumahku. Oh iya, jadi sebenarnya kau ini apa? Baumu manusia, tapi kenapa darahmu beracun?" tanya Sharon sambil menggandeng tanganku dan berjalan keluar dari hutan.
"Aku? Aku adalah dacros," jawabku dengan santai, namun mendadak Sharon menghentikan langkahnya. Dia menegang dan aura ketakutan memancar di sekitar tubuhnya.
"Tak usah khawatir, aku tidak akan membunuhmu. Kita adalah teman, ingat?" ucapku berusaha menenangkan.
Sharon masih belum merespon.
"Aku terpaksa harus menyamarkan bauku karena aku sedang melarikan diri. Aku...adalah seorang buronan," lanjutku dengan wajah muram.
Ya, aku adalah buronan, dan itu benar-benar menyakitkan. Dengan perlahan tubuh Sharon mulai rileks, lalu dia berbalik menghadapku.
"Kenapa?" tanyanya bingung.
"Aku dituduh telah membunuh ibuku, padahal aku sama sekali tidak pernah melakukannya," jawabku, lantas mengangkat bahu.
Sharon memegang kedua tanganku. "Aku di sini untukmu. Aku yakin kau bukanlah makhluk yang jahat. Tolong jangan bersedih. Aku tidak mau teman baruku bersedih," ucapnya dengan wajah memelas.
Aku tersenyum, lalu memeluknya. Teman. Entah kenapa kata itu membuatku merasa nyaman. Selama ini aku tidak pernah memiliki teman yang tulus. Mereka mau berteman denganku karena aku adalah seorang putri dari kerajaan tertinggi White Dacros.
Aku tidak butuh orang-orang munafik seperti mereka. Yang aku butuhkan adalah makhluk seperti Sharon, meskipun dia adalah vampir. Tapi aku tidak peduli. Mulai detik ini aku berjanji, akan melindungi Sharon dan memasukkannya ke dalam daftar orang yang sangat penting dalam hidupku setelah ibuku.
***
"Selamat datang di rumahku!" teriak Sharon dengan riang sambil menarikku masuk kedalam rumahnya. Rumah yang terlihat minimalis di luar, namun begitu luas di dalam. Setidaknya rumah ini terasa nyaman dan jauh dari hutan.
"Jadi, kenapa kau lebih memilih untuk tinggal di sini? Apa kau tidak khawatir jika manusia akan curiga padamu?" tanyaku sambil mendekat ke perapian.
"Saat aku tidak haus, mereka akan bersikap biasa saja padaku. Terkadang aku terpaksa harus memakai kontak lens untuk menutupi mata merahku sebelum datang ke kantor."
"Kantor?" tanyaku bingung. Seperti...tempat kerja?
"Uh-huh. Aku harus berpura-pura menjadi manusia jika ingin diterima di sini. Aku sudah lelah hidup di dunia vampir. Mereka selalu saja berperang untuk memperebutkan kekuasaan," jawab Sharon sebelum beranjak ke dapur.
Aku memandang perapian dengan pikiran kosong.
"Um, Candice? Kau mau minum apa? Aku tidak begitu tahu dengan makanan dan minuman yang disukai oleh bangsa dacros," tanya Sharon sambil menggaruk tengkuknya.
Aku mengerjap lalu menatapnya yang berdiri beberapa kaki jauhnya dariku.
"Oh, um, sebenarnya aku sangat menyukai air bunga mawar. Tapi kalau kau memiliki teh, aku akan tetap meminumnya," jawabku.
Sharon mengernyitkan alisnya. Mungkin dia heran dengan minuman kesukaanku. Di dunia Dacros, kami biasanya meminum air yang dicampur dengan bunga. Aku sangat menyukai air mawar, sedangkan Alvon....Oh, tidak. Aku malas untuk membahas si brengsek itu.
"Kenapa kau tidak mandi dulu? Kau bisa memakai bajuku untuk sementara. Besok ikutlah denganku. Rasanya sangat menyenangkan berteman dengan manusia. Bagaimana menurutmu?" kata Sharon dengan antusias sambil meletakkan secangkir teh ke atas meja.
"Kupikir itu ide yang bagus. Aku tidak mau terus bergantung padamu."
"Hei, kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau. Aku punya banyak kamar dan pakaian di sini, jadi kau tidak usah..."
"Sharon."
Aku tersenyum geli melihat Sharon langsung salah tingkah dan meringis. Rupanya dia sudah terpengaruh oleh manusia, hingga menjadikannya sosok vampir yang cerewet seperti ini.
"Maaf, aku sudah terbiasa bergaul dengan manusia, jadi aku banyak bicara," ucapnya dengan malu-malu.
Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang membuatnya terlihat imut, alih-alih terlihat kejam seperti kebanyakan vampir.
"Aku penasaran dengan bagaimana caranya kau bisa pergi ke dunia manusia," ujarnya dengan memusatkan seluruh perhatiannya padaku.
Aku menghela nafas panjang. "Pertanyaan itu juga berlaku untukmu, Sharon. Kau yang terlebih dulu datang kesini.”
Sharon memutar matanya ke atas seperti sedang mengingat sesuatu. "Ah, kau benar. Aku datang ke dunia ini melalui portal khusus yang dijaga ketat oleh selusin vampir. Butuh waktu yang cukup lama untuk melumpuhkan penjaga-penjaga itu agar aku bisa melewati portal.”
"Aku datang kesini juga melalui portal, tapi portal itu hanya bisa dilewati oleh dacros yang benar-benar kuat. Dacros yang lemah atau biasa-biasa saja tidak bisa melewatinya, karena perpindahan dari dunia dacros ke dunia lain membutuhkan energi yang sangat besar. Mereka bisa mati dalam prosesnya atau terombang-ambing diantara dua dunia tanpa bisa kembali lagi ke dunia dacros, jelasku."
"Benarkah? Ternyata fatal sekali akibatnya. Pantas saja keberadaan dacros tidak pernah diketahui oleh siapapun selama ini," gumam Sharon.
"Benar. Dacros lebih suka berada di dunianya sendiri. Namun dalam kasusku, aku terpaksa sekali harus melakukan ini karena tidak punya pilihan lain," sambungku lagi.
"Yah, aku mengerti," sahut Sharon seraya mengagguk.
Kami berdua terdiam cukup lama setelah itu, sampai tiba-tiba Sharon mengamatiku dan mengernyitkan hidungnya seperti mencium sesuatu yang tidak enak. Aku menatapnya heran.
"Sebaiknya kau mandi dulu. Kau bisa memakai kamar kosong di sebelah kamarku. Di sana sudah ada pakaian bersih di dalam lemari. Ayo," paksa Sharon sambil menarikku menuju ke tangga.
Aku mengikutinya dengan pasrah hingga akhirnya kami sampai di sebuah ruangan yang terlihat bersih dan nyaman.
