Bab 02 - Permohonan Sandra
Sandra mematut dirinya di depan cermin, seperti apa yang dikatakan suaminya memang benar. Tubuhnya gempal tampak lemak semua tiada bertulang, rambut gimbal karena seminggu sekali dia mencucinya, wajah kusam jerawatan pula berminyak bukan berarti glowing oleh skincare, tapi disebabkan minyak jelantah yang selalu menempel di kedua tangannya karena terlalu setia di dapur.
Perkataan Candra memang benar meski terasa menyakitkan. Perubahannya sangat terlihat drastis. Penampilannya kini selalu mengenakan jubah kebangsaan ibu-ibu rumahan atau yang biasa disebut dengan daster.
"Aku memang sudah seperti si Mbok." Dia masih ingat dengan salah satu ARTnya dulu yang kini sudah kembali pulang kampung karena dia memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri lagipula si Mbok pula sudah tua, tidak kuat untuk bekerja meski hanya sekedar memasak rasanya lelah baginya.
"Apa aku harus bermakeup seperti dulu lagi?" tanyanya pelan. Kedua matanya masih sayu karena terus menangis tiada henti.
Wanita itu menyambar satu kantong besar yang berisi alat tempurnya. Sudah lama sekali tidak dipakainya, baru sekarang dia kembali melihatnya. Ternyata semuanya sudah kadaluarsa, seharusnya sudah dibuang. Dia mengembuskan napasnya pelan, pada akhirnya tong sampah yang mendapatkannya.
Ucapan Candra tidaklah main-main, bahkan kedua bola matanya saat itu menatapnya dengan tajam. Dia tidak tahu bagaimana nasib anak-anaknya nanti jika memang hubungan mereka benar-benar kandas setelah beberapa tahun terikat jalinan pernikahan.
Jemarinya meremas rambutnya yang gimbal, dahinya terasa pening karena terlalu banyak berpikir mengenai hubungannya dengan Candra yang sudah berada di ambang kehancuran.
Dia memandangi Malika si anak bungsu yang tengah tertidur pulas di atas box bayi. Kehadiran anak itu memang bukanlah keinginannya karena mengingat Alika yang masih kecil membuatnya tidak begitu senang saat menyambut si bayi mungil itu. Namun, bagaimana lagi kehadirannya sudah menjadi takdir. Dia tidak mungkin mengelaknya, apalagi kini sosoknya sudah terlahir ke dunia. Wanita itu menyayanginya sama seperti pada anaknya yang lain.
Beberapa saat Candra memasuki kamarnya dengan tampang datar. Dia seolah tidak sadar keberadaan Sandra yang terduduk di depan cermin rias. Pria itu membuka lemari dan mengeluarkan beberapa baju lalu dimasukkan ke dalam tas besar miliknya.
"Kamu mau ke mana, Kang?" tanya Sandra panik saat melihat suaminya sudah memasukkan barang-barang miliknya.
"Rumah ini untuk anak-anak. Saya tinggal di apartemen saja." Candra mengatakannya dengan tenang.
Di apartemen? Apa maksudnya? Dia benar-benar ingin pergi dalam kehidupan Sandra juga ketiga anaknya? Kenapa harus pergi hanya karena fisik istrinya yang kini berubah?
"Kang, kita bisa selesaikan semuanya dengan baik-baik. Aku bisa merubah diriku." Sandra memohon pada suaminya, bahkan dia rela bersujud di kedua kaki Candra. Wanita itu tidak ingin berpisah dengannya karena tiada masalah yang terjadi dalam rumah tangganya.
"Saya kan sudah bilang, kalau kamu ingin rujuk, setelah dirimu cantik. Masih belum mengerti?" tanyanya ketus.
Dia sudah beres memasukkan semua barang-barangnya ke dalam kantong. Hal itu membuat Sandra merasa lemas karena usahanya sia-sia. Meski sudah bersimpuh di hadapannya, tekad pria itu sangat bulat.
Kedua kakinya mulai melangkah keluar kamar, Sandra mengikuti sembari memanggilnya dengan suara lirih. Jangan ditanya perihal air mata, bulir bening yang menggenang di pelupuk matanya itu terus berjatuhan membasahi kedua pipinya.
"Papa!" Bertepatan, Raka baru saja keluar dari kamarnya dan mendapati sang Ayah yang sudah siap untuk segera pergi.
Dilihatnya tas besar yang berisi barang-barangnya, membuat anak itu mengernyitkan dahinya kebingungan.
"Papa mau ke mana?" tanyanya.
"Papa mau ke luar kota, Sayang. Ada urusan pekerjaan di sana." Candra membohongi putranya, karena tidak mungkin jika harus mengatakan yang sebenarnya. Anak itu masih terlalu dini untuk memahami semua yang terjadi pada hubungan kedua orang tuanya.
"Raka mau ikut. Boleh?" tanyanya, menengadah berusaha memandangi wajah sang Ayah.
Sandra menutup mulutnya dengan tangan kanan, dia berusaha untuk menahan isak tangisnya agar tidak meledak dan mengundang tanya sang anak.
Candra menggeleng pelan, tangannya yang kekar menggendong putra sulungnya lalu mengusap puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang.
"Raka di sini sama Mama ya. Jaga Alika dan Malika. Bukankah kamu jagoan Papa satu-satunya?" tanyanya, dia masih bisa mengembangkan senyumannya. Padahal, kepergiannya itu akan mendatangkan pertanyaan beruntun dari sang anak.
"Tapi Raka belum bisa jaga Mama. Kalau Mama harus dijaga sama Papa. Gimana dong?" Anak itu mengeluh, menundukkan pandangannya.
"Mulai sekarang, Raka harus bisa jagain Mama juga ya." Candra beberapa kali mengecup kening putranya lembut.
Anak itu mendengus kesal sepertinya dia merasa keberatan karena harus menjaga tiga orang perempuan. Melihat dirinya yang masih perlu dilindungi, membuatnya tidak begitu yakin jika dia bisa menjaga kedua adik dan ibunya.
"Memangnya Ayah akan pergi dalam waktu yang lama?" tanya Raka akhirnya. Dia menatap wajah sang Ayah yang masih tetap tenang.
Candra mengangguk mantap, wanita yang sedari tadi mematung di tempat kini terduduk lemas di atas lantai. Dia merasa jika kehidupannya semakin berantakan sama saja seperti penampilannya.
"Kenapa Ayah tidak mengajak kami?" tanyanya lirih.
Raka memang sudah pandai dalam berbicara. Dia selalu balik bertanya pada sang lawan bicaranya. Bagaimana nanti jika sudah beranjak besar? Kelak, anak itu pasti semakin banyak bertanya apalagi perihal persoalan hubungan yang pastinya selalu ada batas.
"Karena ini urusan pekerjaan, Nak." Sesekali Candra melirik sang istri yang menatapnya dengan tatapan nanar. Wanita itu masih saja memohon agar pria itu berubah pikiran mengenai keputusannya.
Sandra memang bisa hidup tanpanya karena ada ketiga buah hatinya, tapi dia tidak akan bisa melihat anak-anaknya hidup kekurangan tanpa peran seorang Ayah.
"Pekerjaan Ayah sangat penting daripada Raka ya?" tanyanya polos. Pertanyaan yang membuat Candra bungkam.
"Coba pikirkan kembali, Kang. Pikirkan dengan matang." Sandra masih saja berusaha mendesaknya agar dia tidak terlalu tergesa untuk memutuskan sesuatu, apalagi masalah ikatan suci. Bukan untuk dijadikan permainan semata saja.
Candra tidak sedikit pun melirik ke arah istrinya, fokusnya tetap pada sang buah hati.
"Raka, Alika dan Malika lebih penting dari apa pun. Bahkan kalian bertiga sangat istimewa dalam hidup Papa." Senyumannya mengembang begitu manis, Candra memang mempunyai pesona yang membuat kebanyakan orang salah tingkah.
"Kalau Mama?" tanyanya.
Pria itu melirik ke arah sang istri, ekor matanya menangkap sosok wanita berwajah kusam yang terus menutupi mulutnya dengan tangan kanan.
"Papa janji akan selalu datang menemui kalian nanti." Dia mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan putranya, lalu Raka segera menyambutnya dengan senang hati.
Dia hendak kembali melangkahkan kaki, tapi dengan cepat Raka mencekal pergelangan tangannya seolah menahannya agar tetap berada di sana.
"Jangan pergi, Pa."
