Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Air Mata Zia

Kau Hancurkan Hidupku 2

Air Mata Zia

Zia terbangun saat mendapati wanita paruh baya mengelus kakinya.

"Neng, Neng Zia nggak apa-apa. Kenapa tidur disini?" tanya asisten rumah tangga yang biasa dipanggil Bi Eni, ia bertanya dengan raut cemas.

"Gak apa-apa, Bi," jawab Zia seraya memijat kepalanya yang terasa pening, teringat kejadian semalam.

"Ya udah, Neng Zia bersih-bersih dulu terus nanti turun buat sarapan. Bibi disuruh ibu buat bangunin Neng Zia," tutur Bi Eni, lalu segera berlalu, sedang Zia malah memeluk lututnya. Menangis kembali meratapi nasibnya yang terasa menyedihkan.

Zia segera membersihkan diri, dan mengguyur badannya yang terasa lengket. Ia meraba beberapa bagian tubuhnya yang terasa nyeri dan memar ulah dari kekejaman Leon.

'Leon harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!'' pekik Zia sambil mengepalkan tangannya, merasa benci dan marah pada lelaki itu.

"Neng Zia, mau kemana? Makan dulu, Neng!" seru Bi Eni, sambil menyusul langkah cepat Zia. Dia khawatir pada anak dari majikannya itu yang saat ini terlihat tidak dalam keadaan yang baik.

"Aku nggak lapar, Bi," sergah Zia cepat.

"Tapi neng. Nanti kalau ibu marah dan tanya neng Zia, Bibi harus bilang apa?" tanyanya cemas. "Bibi mohon, Neng, diam dirumah, ya. Bibi takut ibu nanti akan khawatir dan marah lagi pada neng Zia," lanjutnya lagi.

"Gak ada yang peduli denganku di rumah ini kecuali Bibi sendiri." Zia membuat Bi Eni tak bisa berkata apa-apa lagi. Bi Eni sendiri tahu bagaimana perlakuan mama dan kakaknya kepada Zia. Sungguh membuat Bi Eni prihatin dan tak habis pikir dengan keluarga model begitu.

????

Zia memasuki halaman rumah yang cukup mewah, tak jauh beda dengan rumahnya sendiri.

"Stop! Berhenti, neng, berhenti!" seru seorang satpam sambil merentangkan tangannya berusaha menghalangi Zia yang memaksa masuk ke dalam kediaman Adhyaksa Budiman.

"Biarkan saya masuk atau saya teriak!" gertak Zia yang terus melangkah tak peduli meski kini satpam berusaha untuk menarik tangannya.

"Tapi, Neng," ujar satpam kewalahan dengan tenaga kuat Zia.

"Ada apa, Mang, kok berisik banget?" tanya seorang wanita dengan baju santai selutut menatap keduanya heran.

"Ini Bu, si neng ini memaksa masuk," ujar satpam yang bernama Mang Udin.

"Zia? Kamu Zia temannya Leon, kan?" tanyanya memastikan. Wanita yang diketahui ibunya Leon tersebut lalu mendekat dan meneliti wajah Zia yang sedikit pucat.

"Leon mana, Tante?" tanya Zia tanpa basa-basi. Wajahnya sudah memerah menahan tangis.

"Ada apa kamu mencari Leon pagi-pagi begini?" Ibu dari Leon yang bernama Fatma bertanya heran. Pasalnya ini bukan kali pertama seorang gadis mencari anaknya dengan menangis.

"Aku harus ketemu Leon, Tante. Di-dia telah …."

Zia berhenti bicara, tenggorokannya seperti tercekat dan kini malah tangisan yang keluar dari mulutnya. Hatinya sakit dan sesak mengingat kejadian yang telah laki-laki itu lakukan kepadanya tadi malam.

"Dia telah apa … katakan!" seru Fatma sambil mengguncang kedua bahu Zia yang bergetar.

"Leon telah mem******a aku, Tante. Huhuhu!" Zia tak kuasa menahan badannya. Ia tumbang dan terduduk di hadapan Fatma yang juga terlihat begitu kaget.

"Kamu bohong!" hardiknya. "Nggak mungkin Leon berbuat sebejat itu!" lanjutnya kemudian.

"Aku gak bohong, Tante … aku bersumpah," ujar Zia disela-sela air mata yang tak kunjung mau berhenti.

"Pergi kamu dari sini dan simpan omong kosongmu itu!" bentak Fatma sambil berlalu.

"Tante …."

Dengan langkah cepat Fatma memasuki rumahnya dan tak menghiraukan panggilan Zia yang menangis histeris dan melewati begitu saja suami dan dua asistennya yang tengah berdiri dan memperhatikan dirinya di dekat pintu utama.

Bagi Fatma, sebejat apapun anaknya dia tak mungkin berani menyakiti apalagi melakukan hal yang melewati batas pada seorang perempuan.

"Mama," panggil Budiman suaminya. Fatma tak menjawab, dirinya malah pergi menuju ke kamar anaknya di lantai dua. Namun di sana ia tak menemukan keberadaan Leon.

'Kemana perginya anak itu?' batin Fatma heran.

"Apa Leon tidak pulang?" tanya Fatma kepada Winda kakak Leon yang baru keluar dari kamar mandi. Winda langsung menatap heran Sang Mama.

"Kayaknya enggak deh, Ma. Memang ada apa sih, Ma, tumben Mama nanyain Leon?"

"Kamu nggak perlu tahu!" seru Fatma sambil berlalu.

"Ish, aneh banget mama," balas Winda pelan.

?????

Adhyaksa Budiman yang iba melihat Zia akhirnya bersuara pada asistennya, Bayu.

"Cari tahu apa yang terjadi dan urus gadis itu!" perintahnya sebelum memasuki mobil.

"Kalau boleh, biar saya yang mencari tahu," sela Adjie, asisten kepercayaan sekaligus manajer di kantor Adhyaksa Budiman.

"Kamu, Adjie?" Adjie mengangguk mantap membuat Bayu dan Adhyaksa Budiman yang biasa dipanggil Pak Budiman sedikit heran. Pasalnya lelaki yang sudah bertahun menjadi kepercayaan Budiman ini tak banyak turun tangan dengan urusan keluarga Budiman. Dan biasanya Bayulah yang menyelesaikan bila ada masalah di keluarga itu.

"Pastikan semuanya baik-baik saja dan lindungi gadis itu!" pesan Budiman sebelum Adjie menutup pintu mobil yang akan membawanya pergi.

"Baik, Pak," jawab Adjie dengan penuh hormat.

"Zia, ayo pergi. Kamu tak boleh seperti ini," pinta Adjie sambil meraih kedua bahu Zia yang masih menangis.

"Lepas!" hardik Zia.

"Nona Zia …"

"Mau apa kamu?" Gertak Zia.

"Nanti saya jelaskan," ucap Adjie tegas.

Zia tidak bicara lagi, dia melepaskan diri dan berlari dengan sekuat tenaga hingga ke jalan raya. Dengan langkah seribu tak peduli dengan lalu lalang kendaraan dan suara klakson bersahutan, Zia tetap berlari. Mencoba lari dari masalah yang menderanya.

Cekiiitttt!!!

Rem berdecit, seorang pengendara menghentikan paksa kendaraannya saat tak sengaja tubuh seseorang tiba-tiba terhantam di bagian depan mobilnya.

"Diana …!" seru Adjie, tubuhnya mematung karena kaget luar biasa. Bayangan Diana adiknya kembali memenuhi ingatan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel