Catatan Masa Lalu.
Daniel menajamkan pendengarannya. Suara itu pelan, seperti bisikan yang menembus udara dingin di ruangan doa tersebut. Ia melangkah perlahan, setiap injakan seolah memicu gema yang terlalu keras untuk kesunyian itu.
Didepan altar, suara yang terdengar semakin jelas dan suara itu terdengar tidak asing di telinganya. Di dalam ruangan tersembunyi, Uskup Matius tiba-tiba berkata " Bapak, bukannya ada cara lain untuk melenyapkan Raja Kegelapan ?. " perkataan itu, seketika mengingatkan Kardinal Matteo tentang sebuah buku catatan lama. " Kau benar, buku itu.... " Kardinal Matteo bangkit berdiri, langkah perlahan menuju pintu yang tertutup. Membuka pintu, melangkah keluar. Uskup Matius dan Biarawati Matra melihatnya dan mengikutinya dari belakang.
Langkah kaki Kardinal Matteo terhenti, matanya melebar ketika melihat Daniel yang berdiri di depannya, begitu juga dengan uskup Matius dan Biarawati Matra. Daniel berdiri tegap, meski detak jantungnya berdentam keras di telinganya. Sorot matanya menatap langsung ke arah Kardinal Matteo, mencoba membaca setiap gerak wajah sang pemimpin Gereja itu.
" Daniel…" suara uskup Matius “ Seharusnya kau tidak berada di sini.”
Daniel mengabaikan peringatan itu dan maju selangkah. “Aku sudah mendengar semuanya bapak, tolong ijinkan ku mengetahui cara untuk mengalahkan raja kegelapan. Mendengar itu Kardinal Matteo tersenyum tipis, ia melangkah menuruni altar bersama uskup Matius dan Biarawati Matra, langkah nya Kardinal Matteo mulai tertuju ke salah satu laci kecil yang ada di sudut ruangan.
Sementara Daniel, uskup Matius dan Biarawati Matra hanya melihatnya dari kejauhan, ia membuka laci dan mengeluarkan satu buku kecil. Melihat buku itu, mereka bertiga melangkah mendekati Kardinal Matteo, " Bapak, ini buku apa ? . " dengan nada pelan tapi penuh rasa ingin tau dari Daniel.
" Ini merupakan buku catatan yang ditulis oleh seorang wanita yang berprofesi sebagai pembawa acara, sekaligus merupakan wanita pertama yang melahirkan anak keturunan dari raja kegelapan dan dia juga lah yang melenyapkannya saat berusaha untuk membunuh anak cahaya.....( sambil membuka halaman buku ) Di buku ini tertulis cara membunuh raja kegelapan.... " Ada 3 cara untuk membunuh raja kegelapan, yaitu cara pertama kekuatan dari anak cahaya yang dimana kelahirannya bisa melemahkan kekuatan raja kegelapan dan apabila mereka dipertemukan, raja kegelapan tidak akan bisa melawan kekuatan dari anak cahaya, cara ke dua 7 belati khusus yang ditancapkan tepat di jantung raja kegelapan dan cara ke tiga seorang wanita terpilih yang memiliki hati tulus yang bisa menekan kekuatan raja kegelapan akan tetapi dia juga bisa menjadi malah petaka baru jika raja kegelapan berhasil menguasai nya. " Cara nomer 1 dan 3, sepertinya sangat sulit..." Kata dari Biarawati Matra yang kemudian dilanjutkan oleh uskup Matius " Kalau begitu kita menggunakan cara ke dua. "
Dengan nada suara yang tegas, Daniel berkata " kalau begitu, dimana kita bisa menemukan 7 belati itu ?. " Kardinal Matteo membuka lembaran berikutnya, " Di sini tertulis, kalau 6 belati berada di tangan para pengikut raja Kegelapan tapi 1 belati berada di lokasi raja kegelapan terbunuh. " Mendengar itu, dengan semangat yang membara Daniel berkata " Kalau begitu dimana lokasi terakhir kematian raja kegelapan ?. "
Membalik lagi satu lembar halaman, terlihat sebuah peta kecil dengan tulisan reruntuhan bangunan yang berada di negara Irak. Tanpa rasa ragu dan semangat yang membara, Daniel berkata " Bapak, izinkan ku pergi untuk mengambil belati tersebut. " Kardinal Matteo, Biarawati Matra dan uskup Matius yang mendengar itu mereka bertiga menatap Daniel lama, seolah sedang menimbangkan sesuatu yang jauh lebih berat dari pada sekedar mengizinkan perjalanan. Tatapan itu penuh keraguan tetapi ada secercah harapan " Daniel" ucap Kardinal Matteo pelan, namun tegas " perjalanan ini bukan sekedar pencarian benda, Iran.... sedang terjadi konflik bersenjata dan pasti raja kegelapan dan pengikutnya juga sedang mengincar belati tersebut untuk di musnahkan agar tidak ada satupun yang bisa menghabisi dirinya. "
" Itu benar Daniel, lagi pula kondisi mu juga tidak memungkinkan untuk pergi ke sana. " perkataan Biarawati Matra yang menghawatirkan Daniel. Namun dengan telat dan semangat yang membara didalam hatinya " Ku telah siap menghadapi kendala yang akan terjadi, lagi pula kalau kita tidak bergerak cepat, bisa-bisa belati itu telah di ambil oleh para pengikut raja kegelapan. " ucapan dari Daniel, membuat keraguan dari Kardinal Matteo memudar.
" Baiklah, besok pagi-pagi buta kau pergi ke bandara. " mendengar itu, semangat Daniel semakin memuncak " Terimakasih Bapak. ".
......
Fajar belum sepenuhnya merekah ketika derap langkah Daniel menggema di lorong batu Vatikan. Udara pagi terasa menusuk, bercampur dengan aroma lilin yang masih menyala dari misa malam sebelumnya. Di tangannya, sebuah tas kecil berisi pakaian seadanya dan rosario pemberian ibunya. Kardinal Matteo menunggunya di halaman dalam, bersama Uskup Matius dan Biarawati Matra.
“Daniel,” Kardinal Matteo menyerahkan sebuah amplop tebal. “Di dalamnya ada paspor, tiket, dan dokumen resmi untuk mempermudah perjalananmu. Tapi ingat… begitu kau tiba di Irak, kau sudah berada di wilayah tanpa perlindungan resmi dari Gereja. Semua akan bergantung pada keberanianmu.”
Uskup Matius menepuk bahunya, sorot mata penuh kekhawatiran. “Dan jangan pernah percaya siapa pun yang kau temui di sana, bahkan jika mereka mengaku sekutu.”
Biarawati Matra mengulurkan sebuah kalung perak kecil berbentuk salib, dengan batu merah di tengahnya. “Ini milik pendiri biara Matra. Batu ini akan berpendar jika kekuatan kegelapan mendekat. Gunakan sebagai peringatan.”
Daniel menggenggam kalung itu erat, lalu mengangguk. “Aku akan membawanya pulang, belati itu.”
Pesawat menuju Baghdad lepas landas tepat saat matahari mulai mengintip di ufuk timur. Selama perjalanan, Daniel tak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus memutar kemungkinan terburuk—penyergapan, pengkhianatan, atau bahkan bertemu langsung dengan pengikut Raja Kegelapan.
Setibanya di bandara Baghdad, hiruk pikuk orang-orang bercampur suara sirene jauh di kejauhan. Di tengah keramaian itu, seorang pria berjubah panjang dan berpenutup kepala hitam mendekat. “Kau Daniel?” suaranya berat, seperti dipaksa keluar dari tenggorokan.
Daniel menegang, tangannya meraih kalung di lehernya. Batu merah di tengahnya bergetar pelan… namun belum menyala. “Siapa kau?” tanyanya waspada.
Pria itu tersenyum samar. “Namaku Rafiq. Kardinal Matteo mengirim ku untuk membawamu ke lokasi reruntuhan. Tapi jika kita tidak berangkat sekarang, kita akan terlambat.”
Daniel menatap mata pria itu lama, mencoba membaca kejujuran di balik tatapannya. Ia tahu—satu langkah salah, dan misinya akan berakhir bahkan sebelum dimulai.
Namun sebelum Daniel menjawab, terdengar teriakan dari arah pintu keluar bandara… diikuti suara tembakan. Orang-orang berlarian panik. Batu merah di kalungnya kini berpendar tajam.
“Cepat!” Rafiq berteriak sambil menarik lengan Daniel. “Mereka sudah menemukan kita!”
