Pustaka
Bahasa Indonesia

Kau Damian

9.0K · Ongoing
Ana Jus
9
Bab
82
View
9.0
Rating

Ringkasan

Bangkitnya Raja Kegelapan dari masa lalu, yang mengancam kehidupan manusia. Pihak gereja Vatikan berusaha untuk menghentikan bahkan melenyapkan sosok Raja Kegelapan yang bernama Damian. Bertahun-tahun berlalu, Damian semakin berkuasa dan pihak Vatikan semakin tertekan sampai munculnya seorang wanita bernama Hana yang sedang melakukan pelarian dari beberapa orang yang ingin membunuhnya dan tanpa sengaja ikut terlibat dalam sekte sesat milik Damian. Akankah Damian bisa di kalahkan ?

FantasiBillionaireDewasaLawyerSupranaturalIblisDrama

Roma tahun 1998

Di Roma, Italia.

Tanggal 6 Juni 1998.

Pukul 23.22, GMT.

Malam itu, langit kota Roma tertutup awan tebal.

Hujan gerimis turun membasahi jalanan berbatu, membuat setiap langkah terasa licin. Seorang perempuan muda, Elena, berlari tergesa sambil memeluk erat anak perempuannya, Lia, yang baru berusia empat tahun. Nafasnya terengah-engah, matanya terus melirik ke belakang.

Di kejauhan, bayangan hitam bergerak cepat. Mereka adalah pria-pria berpakaian jubah panjang dengan simbol salib emas di dada yang menandakan sebagai utusan dari Gereja Vatikan. Langkah sepatu bot mereka memantul di dinding bangunan tua, menambah ngeri suasana.

"Mamma… aku takut…" Lia berbisik, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.

"Jangan lihat ke belakang, sayang. Pegang mama erat-erat," jawab Elena sambil mempercepat langkah.

Lorong demi lorong ia lewati, namun jalan seperti menutup. Satu tikungan lagi, dan ia sadar mereka sudah terpojok. Di hadapannya hanya ada tembok batu tua yang tinggi. Jantungnya mulai menghantam tulang rusuk.

Tiba-tiba, dari kegelapan di sisi kanan, muncul seorang pria. Sosoknya berdiri tegap, cahaya lampu jalan menerpa wajahnya, wajah yang membuat Elena tertegun.

"Arga…?" suaranya tercekat.

Pria itu tidak menjawab. Dalam satu gerakan cepat, ia meraih tangan Elena dan berkata pelan, "Ikut aku. Sekarang."

Mereka menyelinap ke gang sempit yang nyaris tersembunyi di antara dua bangunan tua. Suara langkah para pengejar semakin dekat, namun Arga bergerak dengan pasti, seperti sudah hafal setiap tikungan.

Turun melalui anak tangga batu yang licin, mereka memasuki lorong bawah tanah berbau lembap. Dindingnya dipenuhi lumut, hanya diterangi obor kecil yang tergantung setiap beberapa meter. Lia memeluk ibunya erat, tubuhnya gemetar.

Setelah beberapa menit berjalan, lorong itu terbuka pada sebuah ruangan luas. Cahaya obor dan lilin memenuhi tempat itu. Belasan orang sudah berada di sana terlihat wajah-wajah lelah, sebagian dengan luka di tubuh, namun mata mereka menatap Elena dan Lia dengan campuran rasa ingin tahu dan harapan.

"Kita aman di sini… untuk sementara," kata Arga, menatap Elena.

Namun sebelum Elena sempat bertanya, seorang pria tua di sudut ruangan berkata dengan suara berat, "Anak itu… adalah yang kita tunggu."

Sunyi mendadak menyelimuti ruangan. Elena memeluk Lia lebih erat, tak mengerti mengapa kata-kata itu membuat bulu kuduknya berdiri.

Arga meletakkan tangannya di bahu Elena serta sudut matanya memandangi wajah Elena. Elena menoleh kearah Arga, dengan suara pelan " Jangan takut, mereka semua adalah pengikut yang tersisa. "

Mendengar penjelasan dari Arga, Elena mulai mengurangi kewaspadaannya. Pria tua itu mulai menyentuh dengan lembut tangan kecil Lia, yang terlihat sebuah tanda 666 di telapak tangan kanannya.

Sebuah tanda yang sama yang di miliki oleh Elena. Dengan nada yang cukup kencang, dia berbicara " Tuan Putri. "

Suara tersebut mengema ke seluruh ruangan yang membuat semua orang yang ada di sana secara serentak menoleh kearah Elena dan Lia.

" Tuan Putri. " Dengan nada suara yang kencang.

Pria tua itu, mulai bersujud dihadapan Elena dan Lia, orang-orang yang melihat hal tersebut ikut bersujud begitu juga dengan Arga.

Elena dan Lia hanya terdiam, sampai sudut pandang Elena tertuju pada sebuah batu prasasti tua yang berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Yang terdapat ukiran wajah anak laki-laki tampan dengan rambut ular, tangan kanan memegang pedang dan tangan kiri memegang mahkota.

Sementara itu...

Di luar tembok tempat persembunyian, para utusan Vatikan mulai berkumpul. Salah satu pendeta senior bernama Gabriel berkata, " Apa kalian berhasil menangkap perempuan itu ?. " Sambil menatap rekan-rekannya yang lain.

" Tidak bapak, kita kehilangan jejaknya. " Sautan dari salah satu pendeta muda yang bernama Daniel yang ikut dalam misi.

Gabriel menarik napas panjang, matanya menyipit menatap tembok batu yang menjulang di hadapan mereka. Hujan gerimis membuat jubah hitamnya berat, tapi tatapannya tetap dingin.

" Pasti ada seseorang yang telah membantu perempuan itu," gumamnya pelan, namun cukup terdengar oleh semua yang ada di situ. " Lalu apa yang harus kita lakukan bapak ?. "

Ucapan itu membuat para pendeta muda saling bertukar pandang, lalu Gabriel membawa beban sejarah kelam.

Dari balik kerah jubahnya, Gabriel mengeluarkan sebuah gulungan perkamen tua. Ia membukanya perlahan, memperlihatkan peta bawah tanah Roma—labirin kuno yang sebagian besar sudah dilupakan orang. Ia menunjuk satu titik dengan ujung jarinya.

"Jika tebakan saya benar, mereka berada di sini… Ruang Kudus Medusa," ucapnya. "Tempat yang sudah terkubur lebih dari seribu tahun."

Daniel menelan ludah. "Bukankah tempat itu hanya legenda?."

Gabriel menatapnya tajam. "Segala sesuatu menjadi legenda hanya untuk menutupi kebenaran yang terlalu berbahaya."

Di sisi lain, di dalam ruang persembunyian, suasana mulai memanas. Pria tua yang tadi bersujud kini berdiri, matanya menatap Elena dengan penuh keyakinan.

" Prasasti ini, merupakan wujud peninggalan sejarah dari ribuan tahun lalu dan ukiran gambar yang ada di sana merupakan wujud dari junjungan kami yang hidup dari abad pertengahan lalu, kelahirannya membawa kuasa kegelapan di muka bumi ini akan tetapi dia dibunuh oleh anak cahaya yang lahir ketika Bintang Betlehem terbentuk, namun sebelum dia mati, dia telah menciptakan garis keturunannya hidup untuk melanjutkan jejaknya, yaitu kalian berdua. Kalian lah, garis keturunannya yang tersisa. "

Kedua bola mata Elena terbuka lebar setelah mendengarkan peryataan dari pria tua itu. Lia mendongak ke atas, memandang wajah ibunya " Mama... Itu maksudnya apa ?. "

Dengan suara pelan, Elena berkata " Kakek... " Dengan sepontan Lia memalingkan pandangannya dan memandang kearah prasasti itu.

Di sisi lain, ujung jarinya Gabriel menunjuk ke sebuah lorong yang berukuran kecil. " Kita lalui jalan ini. " Para pendeta menganggukan kepala mereka dan tanpa basa-basi mereka semua segera menuju jalan yang berada di dalam peta.

Sementara itu, Elena dan Lia mematung memandangi prasasti tersebut. Arga bangkit berdiri dengan nada suara yang lembut sambil memandang ke wajah Elena,

"Semenjak resolusi baru yang di buat oleh gereja Vatikan, semua keturunan kegelapan diburu untuk dibunuh bahkan para pengikutnya turut ikut serta. Yang akhirnya tersisa hanya kau, anakmu dan kami semua yang ada di sini. "

Dengan menarik nafas dalam-dalam, Elena membalas perkataan dari Arga. " Lalu apa yang harus ku lakukan ?. "

Dengan nada suara yang penuh keyakinan Arga membalas, " Kau bisa membangkitkan dia kembali. "

Elena terdiam, merasakan denyut darahnya berpacu lebih cepat. Kata-kata Arga seolah menggema di dalam kepalanya: membangkitkan dia kembali.

Sinar obor bergetar di dinding batu, seakan ikut merasakan ketegangan yang mengental di udara. Lia memeluk pinggang ibunya erat, sementara matanya yang polos memandang prasasti itu dengan rasa ingin tahu bercampur takut.

"Apa kau yakin ?. " suara Elena bergetar, tapi matanya mulai dipenuhi campuran rasa takut dan tekad.

Arga melangkah mendekat, suaranya rendah namun tegas.

"Dialah satu-satunya yang bisa melawan kekuatan gereja. Putra Medusa… Sang Raja kegelapan yang dibuang. Selama berabad-abad ia terkurung di antara dunia ini dan dunia kematian. Kau, Elena dan anakmu keturunannya yang tersisa sekarang ini. Darahmu dan anakmu adalah satu-satunya kunci."

Pria tua itu kembali maju, membawa gulungan perkamen yang sejak tadi ia genggam erat. Saat ia membukanya, simbol-simbol kuno terpampang, mengeluarkan cahaya samar kehijauan. Bau dupa dan tanah basah mulai memenuhi udara, seolah ruangan itu ikut terjaga dari tidur panjangnya.

"Ritual ini," ucap pria tua itu pelan, "akan memanggilnya dari kegelapan abadi. Tapi setiap panggilan… menuntut ikatan darah."

Elena mengerutkan kening. "Ikatan darah?"

Pria tua itu menatap Lia, lalu kembali menatap Elena. "Tidak harus berarti kematian, tapi anakmu… akan selamanya menjadi bagian dari kekuatan yang dibangkitkan. Mereka akan terhubung—jiwa, nafas, dan takdirnya."

Lia menatap ibunya, tak sepenuhnya mengerti, tapi merasakan sesuatu yang berat. "Mama… aku nggak takut," bisiknya lirih.

Sementara itu, dari lorong sempit di kejauhan, suara langkah berat mulai bergema, disertai gema doa-doa Latin. Dentingan besi senjata mereka memantul di dinding batu, semakin dekat.

Arga menoleh cepat, wajahnya berubah tegang. "Mereka sudah menemukan jalannya ke sini. Kita tidak punya waktu banyak. Jika kau memilih menunggu, kita semua akan mati malam ini."

Elena menatap prasasti itu. Wajah anak laki-laki berambut ular yang terpahat di batu seakan berdenyut hidup, mata batu itu seperti menatap langsung ke dalam jiwanya. Di udara, terdengar samar bisikan asing yang seolah memanggil namanya.

Dada Elena naik-turun, jemarinya bergetar. Ia lalu memandang Lia—wajah mungil itu, penuh kepercayaan padanya.

"Aku… akan melakukannya," ucap Elena akhirnya, suaranya tegas namun penuh beban.

Pria tua itu mengangguk, lalu mengangkat tangannya. Para pengikut yang lain segera membentuk lingkaran di sekitar prasasti. Obor dimatikan satu per satu, meninggalkan cahaya hijau dari ukiran batu sebagai satu-satunya penerang.

Dari kejauhan, teriakan para pendeta Vatikan semakin jelas—pintu besi berat yang menjadi penghalang mulai bergetar keras, seperti dipukul dengan kekuatan besar.

Arga mendekat ke Elena, menaruh belati berukir di telapak tangannya. "Darahmu… sekarang."

Udara di ruangan itu mulai berputar, seakan badai kecil terbentuk di tengah prasasti. Bisikan itu berubah menjadi teriakan…

Lingkaran para pengikut semakin rapat, kaki mereka menginjak tanah yang kini bergetar pelan. Cahaya hijau dari prasasti memancar lebih kuat, membuat ukiran wajah anak laki-laki berambut ular tampak seolah hidup, matanya berkilau seperti batu zamrud.

Pria tua itu mulai melantunkan mantra dalam bahasa yang terdengar kuno, setiap suku kata terasa berat, memukul udara di dalam ruangan. Suara itu bercampur dengan bisikan tak kasat mata yang berputar-putar di telinga Elena.

Dengan napas tertahan, Elena menusukkan ujung belati ke telapak tangannya. Darah hangat langsung mengalir, menetes ke lantai batu yang dipenuhi simbol-simbol aneh. Darah itu merembes cepat, seolah ditarik ke arah prasasti. Lia menatap tanpa berkedip, wajahnya pucat, namun ia tetap diam.

"Anakmu," kata pria tua itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Lia.

Elena ragu sepersekian detik, lalu mengangguk. Lia maju, menggenggam belati yang sama. Setetes darah dari jari mungilnya jatuh, menyatu dengan darah ibunya di lantai.

Begitu darah keduanya bertemu, tanah di bawah prasasti bergetar hebat. Dari ukiran batu, suara erangan rendah terdengar—pelan pada awalnya, lalu semakin keras, bercampur dengan desahan seperti napas makhluk hidup.

Cahaya hijau memancar tajam, membuat seluruh ruangan seperti diselimuti kabut berwarna zamrud. Para pengikut bersujud, sementara rambut Lia terangkat oleh angin yang entah dari mana datangnya.

Di saat yang sama

BRAKK!

Pintu besi di ujung lorong terbuka paksa. Para pendeta Vatikan masuk, membawa salib besar dan tombak suci yang berkilauan. Mereka meneriakkan doa dengan lantang, mencoba menembus lingkaran ritual.

Arga berdiri di depan Elena dan Lia, pedangnya terhunus. "Teruskan! Aku yang akan menahan mereka!" teriaknya.

Prasasti itu mulai retak di bagian wajah, dan dari dalamnya, mata berwarna emas menyala. Seekor ular batu di rambut ukiran itu bergerak… lalu yang lain menyusul, hingga seluruh kepala bergetar seperti hidup.

Dari retakan itu, muncul tangan pucat dengan kuku panjang, mencengkeram batu dengan kekuatan luar biasa. Suara berat dan menggelegar memenuhi ruangan:

"Siapa… yang berani memanggilku… kembali?"

Elena menggenggam Lia erat, sementara darah mereka terus memercik ke simbol di lantai.

Arga menoleh sekilas dan menjawab dengan lantang, "Kami yang membutuhkanmu, Raja Kegelapan… Putra Medusa !."

Dari balik batu, sosok tinggi mulai keluar—matanya berkilau, rambutnya adalah ular hidup yang mendesis, dan auranya begitu kuat hingga para pendeta Vatikan yang baru masuk langsung mundur setapak.

Namun, salah satu dari mereka mengangkat salibnya tinggi-tinggi dan berteriak, "Kita akan mengusir iblis ini kembali ke neraka!"

Sosok itu menatap mereka… lalu tersenyum tipis.