Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

03. Kembalinya Dafi

Pagi hari setelah sarapan, Dara mengajak anak-anak pergi ke sawah. Kemarin sebelum tidur Dara bercerita tentang keindahan alam di desanya. Dan dia berjanji besok pagi akan mengajak Nindy dan Shaka jalan-jalan ke sawah.

Sekitar pukul tujuh mereka berangkat. Bu Maisaroh pun tidak mau ketinggalan. Meski setiap hari sudah

melihat pemandangan di desanya, tapi ini kesempatan berbeda. Dia pergi dengan putrinya dan dua bocah cilik.

Saat berjalan menuju sawah, mereka melewati pemukiman warga. Baik Dara maupun Bu Maisaroh

menyapa para tetangga yang ada di luar rumah. Sebagian mereka ada yang mulai berbisik-bisik. Pasti mereka membicarakan Dara. Karena selama ini jika Dara pulang kampung, dia tidak akan mau keluar rumah. Dan sekarang dia pulang dengan membawa dua anak.

Dara tidak peduli dengan apa yang dipikirkan tetangganya. Sebentar lagi dia akan pergi dari desa ini dan tak akan kembali lagi. Sudahlah, terserah mereka mau bicara apa. Dia hanya fokus pada celotehan anak berumur empat tahun itu. Selain super aktif, Shaka juga banyak bicara. Ada saja yang dia tanyakan. Sangat berbeda dengan kakaknya. Nindy sangat pendiam.

“Bunda, di mana Mbah?“ tanya Shaka saat baru tiba di area persawahan. Dia mencari keberadaan Pak Abdullah.

Sepanjang mata memandang, hanya terlihat hamparan tumbuhan padi yang masih hijau.

"Katanya tadi pergi ke sawah juga, kok tidak terlihat?“ lanjutnya sambil menoleh ke segala arah.

“Ayo, kita kesana!“ ucap Bu Maisaroh sambil menunjuk sebuah jalan setapak yang berada di tengah sawah. “Tapi hati-hati ya. Tidak boleh lari-lari!“

Mata kedua bocah itu berbinar. Mereka belum pernah menemui pemandangan seperti ini. Suasananya pun hening. Udaranya pun sejuk tidak seperti di kota tempat tinggal mereka selama ini.

“Itu gunungnya terlihat besar,“ ucap Shaka sambil menunjuk sebuah gunung yang terlihat begitu

dekat.

"Ayo kak kita ke gunung itu," ucap Shaka sambil menarik tangan kakaknya. Mereka berlari pelan. Mereka terlihat sangat senang. Dara dan Bu Maisaroh pun ikut tersenyum melihat tingkah bocah-bocah itu.

“Semoga kamu segera menikah dan dikaruniai anak seperti mereka ya, Nduk,“ Bu Maisaroh mencoba mengungkit kembali pembicaraan semalam yang tidak ada jawaban dari sang putri.

Karena semalam setelah mengantar Shaka ke kamar mandi mereka ikut melihat TV dan mengobrol tak karuan dengan adik Nindy.

Dara menoleh pada ibunya. Dia tersenyum kecut. Dia belum bisa menjanjikan apa-apa. Dia juga tidak

bisa mengatakan sesuatu, takut orang tuanya terlalu berharap.

“Nindy, Shaka, belok sini!“ teriak Bu Maisaroh.

Kedua bocah itu sudah berlari jauh lurus ke depan. Sedangkan tujuan mereka belok menuju galengan

di antara dua sawah. Dua orang dewasa berhenti, menunggu Nindy dan Shaka mendekat.

“Bunda bawa hp tidak?“ tanya Nindy.

“Buat apa, Kak?“ tanya Dara. Wanita itu biasa memanggil dengan adik kakak untuk Nindy dan Shaka.

“Buat foto-foto, Bun. Nanti mau ditunjukkan kakek dan nenek,“ ucap Nindy.

"Juga Papa,“ sambung Shaka dengan semangat.

Dara pun mengeluarkan ponselnya dari saku.

“Baiklah. Sekarang berdiri di sana biar bunda foto!“ ucap Dara mengarahkan bocah itu ke tempat yang menjadi spot untuk berfoto.

Dengan lincah mereka berpose layaknya seorang model. Sudah banyak sekali foto yang mereka ambil. Tidak hanya dua bocah yang berfoto, tapi Dara dan Bu Maisaroh juga ikut berfoto ria.

“Sudah, nanti foto lagi di tempat berbeda,“ kata Dara setelah merasa foto yang diambil cukup banyak.

Mereka segera berjalan menyusuri galengan. Bu Maisaroh yang berada di depan. Di belakangnya ada Shaka dan Nindy, sedangkan Dara di belakang sendiri.

Galengan adalah jalan sangat kecil yang berfungsi

menyekat petak-petak sawah. Jadi mereka berjalan sangat pelan agar tidak terjatuh.

Sekitar lima menit mereka tiba di tempat tujuan. Sebuah sungai dengan air yang jernih dan dangkal karena terlihat batu-batu yang ada di dasar sungai. Arusnya tidak begitu deras. Dua bocah itu melompat kegirangan melihat pemandangan tersebut.

“Tidak boleh sampai basah ya. Bunda tadi tidak bawain kalian baju ganti,“ seru Dara yang melihat mereka langsung berlari ke arah sungai.

“Ya Bunda,“ keluh mereka kecewa. Dara pun paham dengan wajah kecewa mereka.

“Kita foto-foto lagi yuk!“ kata Dara sambil mengangkat hp dan menggoyangkan benda pipih itu, berharap agar mereka tidak kecewa.

Nindy melihat sang adik tetap murung. Dia menghampiri dan mengusap punggung sang adik.

“Kita foto-foto dulu nanti baru main air,“ ucap Nindy menenangkan Shaka.

“Tapi kata Bunda, Bunda gak bawa baju ganti, Kak,“ rengek Shaka.

"Shaka nanti bisa lepas bajunya terus main air. Anggap saja Shaka mandi. Setelah selesai bajunya dipakai lagi."

Raut wajah Shaka kembali ceria. Dia bersemangat lagi mendengar ide dari sang kakak. Dara memperhatikan mereka dari tadi. Dia pun senang. Gadis cantik itu bisa menjadi kakak yang baik. Walau pendiam tapi dia memiliki rasa peduli pada sang adik yang sangat aktif.

“Ayo Bunda, foto kami di sini dulu ya,“ kata Nindy.

Dirinya dan sang adik sudah berada di tengah sungai yang airnya hanya selutut Shaka. Mereka pun kembali berpose untuk pemotretan bak seorang model. Hari sudah beranjak siang. Bu Maisaroh mengajak mereka pulang.

Seperti biasa, Shaka yang sulit dibujuk, dia masih betah berendam di sungai itu. Walau tubuhnya sudah menggigil kedinginan, dia tetap tidak mau pulang. Dari tadi Nindy dan Dara hanya main di tepi sungai sambil mencelupkan kakinya di air.

Setelah benar-benar merasa kedinginan dan lapar, akhirnya Shaka mau diajak pulang. Dia sangat lelah

dan tidak sanggup berjalan. Dara menggendongnya saat perjalanan pulang.

"Dara!!" teriak seseorang.

Wanita itu berhenti dan menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Bu Maisaroh dan Nindy pun ikut berhenti. Seorang laki-laki sedang berlari mendekat.

“Ra, masih ingat aku?“ tanyanya seketika tiba di depan Dara. Pria itu terengah-engah mengatur napasnya.

Dara melotot tak percaya dengan apa yang saat ini dilihat. Dia terdiam membisu.

“Nak Dafi?“ Bu Maisaroh malah yang merespon. “Kapan kembali ke sini?“

Dafi meraih tangan Bu Maisaroh lalu mencium punggung tangannya.

“Kemarin malam, Bu“ jawabnya sambil menyunggingkan senyum.

Shaka yang dari tadi menyandarkan kepalanya di bahu Dara, segera mendongak melihat apa yang tengah terjadi.

“Aku lapar Bunda, ayo cepat pulang,“ rengeknya.

Fokus Dara pun beralih pada anak kecil yang digendongnya.

Dafi terlihat sedikit terkejut mendengar perkataan Shaka tadi. " Bunda. Ya anak itu memanggil Dara dengan sebutan Bunda," batin Dafi.

Dia sedikit kecewa mengetahui ada anak yang memanggil Dara bunda. Dia telah lama berharap bisa bertemu wanita pujaannya kembali, tapi bukan dalam kondisi seperti ini.

"Maaf ya Sayang," jawab Dara sambil mengelus rambut bocah itu. "Bu, aku duluan ya," wanita itu segera bergegas meninggalkan Dafi dan ibunya.

“Ayo Kak!“ lanjutnya sambil mengajak Nindy.

Bu Maisaroh pun merasa ada yang aneh dengan putrinya Beliau segera menoleh ke arah Dafi kemudian pamit, "Kami duluan ya, Nak."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel