02. Membujuk Dara (Lagi)
Malam harinya, selesai sholat Maghrib, mereka berkumpul diruang tamu. Nindy dan Shaka melihat televisi di ruang tengah. Awalnya, Shaka menolak karena televisi itu tidak sebesar yang ada di rumahnya. Setelah diberi pengertian, dia pun mau melihat si kembar botak di layar televisi 14 inch.
Pak Abdullah ingin mengetahui tentang dua anak kecil yang Dara ajak. Tadi sepulang dari sawah, sang istri mengajak makan setelah itu anak-anak disuruh untuk tidur. Jadi kali ini saat yang tepat untuk Pak Abdullah bertanya-tanya.
“Mereka anak siapa, Nduk?“ Pak Abdullah memulai. “Kok boleh kamu ajak kesini?“
“Apa orang tuanya tidak marah?“ lanjut Bu Maisaroh. Beliau pun ingin mengetahui siapa sebenarnya Nindy dan Shaka.
“Katanya ibu sama bapak mau cucu. Itu Dara bawakan. Dua sekaligus,“ ucap Dara sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah.
Dia menjawab dengan santai pertanyaan orang tuanya. Dia tersenyum melihat orang tuanya yang tidak puas dengan jawaban Dara
“Kamu tidak menculik mereka kan?“ Bu Maisaroh mulai berpikir yang tidak-tidak. Raut wajahnya tampak lebih panik.
“Kami memang ingin memiliki cucu, anak yang lahir dari rahimmu, Nduk,“ timpal Pak Abdullah.
Wajah Dara berubah sendu. Dia benar-benar tidak bisa mengabulkan permintaan orang tuanya itu. Bagaimana lagi caranya menjelaskan kalau dia tidak akan menikah tanpa membuat luka hati ayah ibunya.
“Maafkan Dara, Pak. Aku tidak bisa mengabulkan permintaan bapak dan ibu soal itu," Dara meraih
tangan ayah dan ibunya. “Dara tidak akan menikah,“ ucap wanita itu sambil menggenggam erat tangan orang tuanya.
Pak Abdullah dan Bu Maisaroh pun tidak terkejut dengan perkataan itu. Putrinya sudah terbiasa
mengatakan hal itu.
“Mereka sama saja dengan cucu bapak dan ibu. Dara membantu merawat mereka dari kecil. Saat itu
Nindy baru berusia tiga tahun. Dan Shaka berusia satu tahun, makanya mereka memanggil Dara dengan
sebutan bunda."
Pak Abdullah dan Bu Maisaroh hanya terdiam. Mereka ingin mendengar cerita lebih lengkapnya.
“Mereka anak Pak Aidin, bosnya Dara di restoran. Mama kandung mereka meninggal dunia karena kecelakaan saat Shaka masih di kandungan. Hingga membuat Shaka harus lahir secara prematur. Neneknya, ibunya Pak Aidin sering membawa mereka ke restoran dan Dara disuruh bantu menjaga. Tidak hanya itu, saat aku libur kerja pasti mereka akan bersamaku. Mereka sudah terbiasa tinggal bersama Dara, Bu, Pak,“ ucap Dara menjelaskan.
Dara berharap orang tuanya mau menganggap mereka sebagai cucunya hingga tidak akan menyuruh Dara menikah terus.
“Aku sudah menganggap mereka seperti anak kandung jadi ibu dan bapak bisa menganggap mereka seperti cucu sendiri.“
“Tapi, Nduk,“ Pak Abdullah menjeda perkataannya. “Bagaimana jika suatu saat nanti bosmu menikah dan mereka punya mama sambung? Tidak mungkin mereka akan bersamamu terus."
"Benar kata Bapak, Nduk,“ sambung Bu Maisaroh. “Jika mereka dewasa nanti pasti mereka lebih memilih keluarga aslinya. Dan bila kami dipanggil Gusti Allah, kamu akan sendirian,“ Bu Maisaroh mulai berkaca-kaca.
“Jika kamu tidak menikah dan punya anak, siapa yang akan menjagamu saat kami tiada," terlihat Bu Maisaroh menyeka air matanya yang membasahi pipi.
Wanita 28 tahun itu terdiam. Dia tidak menyangka akan seperti ini. Dia membawa Nindy dan Shaka untuk membujuk orang tuanya agar mau pindah ke kota bukan untuk membuat mereka sedih.
“Kami tahu kamu masih belum bisa melupakan masa lalu itu, Nduk,“ lanjut sang ayah. “Tapi kami mohon agar kamu mau membuka hati untuk lelaki. Tolong pahami juga keinginan orang tua yang sudah sepuh ini,“ Pak Abdullah tertunduk, beliau pun mulai meneteskan air mata.
"Pasti ada laki-laki yang mau menerima masa lalu mu. Masih ada lelaki baik di luar sana," lanjut sang ayah penuh harap.
“Kami tidak memaksamu untuk segera menikah, tapi kami ingin kamu membuka hati lagi. Dan jangan lagi berkata kalau kamu tidak akan pernah menikah,“ sang ibu pun menangis.
“Kami menanti kehadiranmu sangat lama. Di usia pernikahan yang ke 22 tahun, Allah baru menitipkan nyawa di rahim ibu. Kami sangat bahagia saat itu. Kami berjanji akan menyayangi dan membahagiakan kamu sebisa mungkin. Lalu saat peristiwa buruk itu terjadi kami juga merasa kecewa pada diri kami sendiri. Kami merasa gagal menjaga permata kami. Kami gagal melindungi mu," isak tangis Bu Maisaroh tidak dapat dibendung.
“Kami mohon jangan buat bapak dan ibu merasa kecewa dan gagal lagi dalam menjaga dan melindungi mu, anugerah yang dipercayakan Allah pada kami,“ lanjut Pak Abdullah.
Dara pun ikut meneteskan air mata. Dia tidak menyangka kalau selama ini telah membuat orang
tuanya terluka. Dia merasa egois karena memikirkan dirinya sendiri. Tapi dia masih belum bisa membuka hati untuk lelaki.
Selain pelecehan yang di alami, ada satu hal lagi yang membuat Dara belum bisa membuka hatinya. Dafi Zayyan, teman seangkatan Dara di sekolah meskipun usia mereka berbeda satu tahun.
Dafi, nama panggilannya. Dafi sering kali menyatakan perasaannya pada Dara, tapi selalu ditolak. Walau begitu, Dafi tidak pernah menyerah mencari perhatian Dara. Diam-diam timbul rasa suka di hati Dara.
Tapi dia tak kunjung menyambut ungkapan cinta Dafi. Dara merasa tidak pantas untuk Dafi karena status mereka yang jauh berbeda. Dara hanya anak
seorang buruh tani. Dafi anak kepala desa.
Pernah dia berkhayal jika nanti setelah lulus sekolah dia akan bekerja keras agar bisa sejajar dengan Dafi. Dara tahu, Dafi mempunyai perasaan yang tulus. Sebenarnya pemuda itu tidak peduli kalau Dara hanya anak seorang buruh tani.
Tapi setelah kejadian naas itu, Dafi tidak pernah menampakkan diri lagi. Entah apa alasannya, Dara tidak pernah tahu.
Terakhir kabar yang dia dengar, Dafi melanjutkan kuliah di luar negeri. Dan empat tahun yang lalu Dara dengar pria itu sudah menikah.
Dara termenung cukup lama. Selain memikirkan nasihat orang tuanya, dia tiba- tiba memikirkan Dafi. Padahal sudah sangat lama pria itu hilang dari pikirannya.
“Bunda, Shaka mau pipis,“ perkataan Shaka membawanya ke alam sadar lagi. Cici segera bangkit dan menuntun pria kecil itu ke kamar mandi.
Setelah Dara pergi, bapak dan ibu saling berpandangan. Ada perasaan lega, akhirnya mereka bisa mengungkapkan uneg-unegnya.
Selama ini mereka hanya diam. Mereka tidak ingin membuat putrinya terlalu banyak pikiran. Mereka tahu hidup di kota sendirian tidaklah mudah. Dengan kejadian ini mereka berharap Dara dapat berubah pikiran.
Bu Maisaroh berdiri, dia hendak menemani Nindy melihat TV.
“Nduk, Mbah tadi buat pudding, Nindy mau?“ tawar Bu Maisaroh saat tiba di ruang tengah. Sejak datang tadi siang, Nindy tidak banyak tingkah berbeda dengan sang adik.
“Mau Mbah,“ jawab Nindy sambil mengangguk. “Maaf kalau merepotkan," lanjut gadis kecil itu.
“Mbah malah senang kalian ada di sini. Rumahnya jadi rame,“ ucap Bu Maisaroh sambil meninggalkan Nindy.
Dapur terletak di sebelah kamar mandi. Bu Maisaroh mendengar celotehan Shaka yang membuat Dara
tertawa. Dia membayangkan andai bocah cilik itu benar-benar cucunya.
