Bab 20 Awal Perjuangan Yusuf
Bab 20 Awal Perjuangan Yusuf
Panggilan pertama bagi para penumpang penerbangan menuju Bandar Udara Internasional Matar al-Qahirah al-Duwaliyy, Kairo, terdengar nyaring menggema. Salwa sudah tidak bisa membendung air matanya lagi. Biar bagaimanapun kuatnya ia berusaha untuk tidak cengeng di depan suami dan mertuanya, tapi butiran bening itu luruh juga.
Mertua Salwa yang melihat raut sedih menantunya memilih untuk ke kamar mandi. Ia meninggalkan pasangan pengantin baru itu untuk bisa saling mengucap janji. Waktu yang amat singkat memang bagi mereka untuk benar-benar mendalami isi hati masing-masing.
Sepeninggal ibu Nining, Yusuf menyeka dengan lembut pipi istrinya yang basah. Mereka duduk berdampingan bertiga di kursi panjang depan pintu keberangkatan bandara.
“Kamu harus kuat. Aku akan pulang tepat waktu. Bahkan, Aku akan berusaha untuk selesai beberapa bulan lebih awal. Doakan agar semuanya lancar. Semoga, Aku bertemu dengan para dosen yang baik hati. Sudah pasti mereka cerdas tapi Aku butuh dosen dengan hati lembut yang bisa memahami situasi Aku dan tidak terlalu galak.”
“Kamu janji tidak akan melirik wanita lain?”
“Kamu sudah menjadi wanita tersempurna yang Aku miliki.”
“Tapi, para wanita di sana itu jauh lebih cantik dari Aku.”
“Mengapa Kamu jadi begitu khawatir? Atau Kamu mau Aku batalkan saja perjalanan ini?”
“Bukan begitu!” Air mata Salwa kembali luruh mendengar perkataan suaminya Yusuf.
Entah mengapa, Salwa benci dengan dirinya sendiri. Ia benar-benar sangat sedih harus melepas kepergian Yusuf. Mereka baru dikukuhkan sebagai suami dan istri kurang dari dua puluh empat jam dan harus segera berpisah. Mungkin, kalau mereka belum menikah, perasaan Salwa tidak akan sesakit ini. Ia percaya pada takdirnya. Ia yakin, suaminya akan baik-baik saja. Tapi ada secuil ketakutan kalau mereka tidak akan berjumpa kembali.
Yusuf sendiri juga bingung caranya meyakinkan Salwa kalau ia akan setia. Memang sejak semalam mereka tidak banyak bicara karena sudah kelelahan. Pagi ini justru Salwa menunjukkan manjanya di saat-saat yang genting.
“Aku akan selalu memberikan kabar dengan mengirim pesan. Kalau Aku sudah ada di tempat yang aman, kita akan langsung melakukan panggilan dengan video,” balas Yusuf sambil kembali mengusap pipi istrinya yang menampakkan jelas bekas dua aliran airmata di sana.
Salwa mengangguk dan mengambil tisu untuk membersihkan wajahnya sendiri. Ia sangat malu tapi ia memilih untuk mengeluarkan kegundahan dalam hatinya yang terpendam.
Yusuf memberanikan diri merengkuh bahu istrinya dan mendekapnya sehingga bahu mereka bersisian. Yusuf memalingkan wajahnya dan mendaratkan ciuman di kening istrinya dengan lembut. Beberapa detik saja lalu ia lepaskan sambil berkata. “Terima kasih sudah mau menjadi alasan utama agar Aku bisa kembali lagi ke tanah air. Tolong jaga Ibu!”
Salwa hanya mengangguk dan tidak ada suara apa pun yang keluar dari mulutnya. Ia tidak ingin salah ucap lagi.
Panggilan peringatan kedua agar semua penumpang jurusan Mesir segera masuk ke ruang tunggu kembali terdengar. Langkah-langkah kecil dari ibu Nining juga mendekati tempat mereka duduk. Yusuf dengan berat hati melepas rengkuhannya. Ia berdiri dan merapikan bajunya. Ia memeluk erat ibunya dan meminta doa restu.
“Doakan Yusuf setiap saat ya, Bu. Biar Yusuf cepat pulang.”
“Kamu jaga kesehatan dan fokus belajar. Ingat istrimu. Tidak boleh aneh-aneh di sana. Kami percaya padamu.”
“Terima kasih Bu. Titip Salwa.” Ibu Nining mengangguk. Matanya ikut berkaca-kaca tapi ia sudah sangat sering melihat Yusuf pergi sehingga ia tidak sampai menangis. Ia juga harus menunjukkan kekuatannya sebagai seorang ibu yang selalu mendukung anaknya. Ia harus bisa menguatkan Salwa. Artinya, ia tidak boleh menangis di depan menantunya.
“Aku pergi.” Yusuf menyentuh pipi istrinya lembut dengan telapak tangannya sebentar lalu berbalik dan tidak lagi menatap ke belakang. Ia bergegas menuju pintu keberangkatan dan menghilang di antara kerumunan manusia dan dinding kaca di sekelilingnya.
Salwa memejamkan matanya meresapi sentuhan terakhir dari suaminya. Ia juga mengendalikan dirinya agar tidak lagi menangis. Ia harus kuat seperti pesan dari Yusuf. Salwa membuka matanya dan melihat mertuanya sedang menatapnya dengan senyum keibuan. Salwa memeluk bahu mertuanya dan mereka berjalan pelan menuju tempat parkir mobil. Pria yang mereka sayangi dalam kadar yang berbeda, baru saja meninggalkan mereka untuk tujuan mulia.
Salwa menyetir mobil yang ia pinjam dari ibunya dengan perlahan. Bukan saja karena ada mertuanya yang ia dampingi tapi juga karena sebagian pikirannya masih melekat pada Yusuf. ‘Baru beberapa menit berpisah mengapa rindu itu sudah seperti menahun. Ya, Allah! Jangan sampai Engkau siksa hamba dengan bayangan suami hamba sepanjang waktu. Tolong simpan rindu ini di dasar hatiku yang paling dalam. Bantu aku untuk bisa menjalani hidupku seperti sedia kala.’ Saat mereka berhenti di lampu rambu lalu lintas, Salwa mengusap cincin yang melingkar di jari manisnya.
Ia akan memiliki kebiasaan baru. Ia akan belajar melatih pikirannya untuk menjadi tenang, hanya dengan menyentuh cincin pernikahan mereka. Seolah-olah ia sedang berada bersama suaminya. Akhirnya ia sampai pada tahap ini juga. Memiliki seseorang untuk dinantikan detik demi detik. Sangat menyiksa dan membahagiakan di saat yang bersamaan. Tidak dapat ia lukiskan dengan kata-kata. Tapi, ia bisa rasakan hatinya penuh dengan rasa hangat, tidak dingin seperti sewaktu ia masih sendiri dan tidak mengikatkan diri pada pria mana pun. Ia merasakan kepastian. Ia punya seseorang yang sudah memilikinya seutuhnya. Walau pun mereka belum pernah berhubungan layaknya suami istri. Namun, hati dan pikirkan sudah pasti tertuju hanya pada suaminya sejak cincin itu disematkan di jarinya.
Kalau Salwa sedang menerawang dengan semua kenangan tentang suaminya, maka ibu Nining juga sedang memikirkan putranya. Ia terkenang kembali dengan semua persiapan pernikahan Yusuf yang begitu singkat. Ibu Nining tidak akan lupa gerakan sigap putranya begitu dr. Salwa memutuskan untuk menerima lamarannya. Campur tangan Kyai Ghafur juga tidak bisa ia abaikan.
Satu hari kemudian, setelah mereka pulang dari rumah Salwa satu bulan yang lalu, ia dan Yusuf menemui Kyai Ghafur. Niat mereka untuk memohon agar Kyai Ghafur dapat menjadi saksi pernikahan Yusuf. Sebelum meminta hal tersebut, Ibu Nining dan Yusuf sadar benar bahwa atasan dari Yusuf itu ada dalam keadaan kecewa. Karena itu, ibu Nining menyampaikan alasan mereka meminta Kyai sebagai saksi sebagai bentuk rasa hormat dan terima kasih tak terhingga karena sudah percaya dan membantu Yusuf dengan merekrutnya sebagai staf di pesantrennya. Peluang beasiswa, dan sebagainya. Mereka dengan rendah hati mengakui kalau telah menganggap Kyai sebagai wali dari Yusuf.
Meski kecewa karena Yusuf menolak menikahi anaknya, namun Kyai berbesar hati memberi restu dan berjanji akan menjadi saksi pernikahan. Bukan hanya bersedia menjadi saksi. Ia juga menanyakan sejauhmana persiapan Yusuf untuk melamar calon istrinya. Ibu Nining tanpa ragu menyampaikan semua persiapan mereka dan hati pria paruh baya yang bijak itu tergerak untuk menjalankan perannya sebagai wali Yusuf.
Kyai juga tahu Yusuf tidak punya banyak tabungan untuk menikah, sehingga menjelang pernikahan, ia memberi job tausiah yang cukup padat pada stafnya itu. Semua orang melihat kalau Yusuf bagai kebanjiran job. Tapi Ibu Nining tahu pasti kalau semuanya terjadi karena campur tangan dari Kyai Ghafur. Ibu Nining cuma berharap agar atasan Yusuf melakukan semuanya dengan tulus tanpa pamrih di kemudian hari.
(Bersambung)
