BUKAN ANCAMAN KOSONG
Darius tertawa pelan, namun ada kekejaman dalam suaranya. "Kau masih tidak mengerti, Maya. Ini selalu tentang aku dan kau. Rezvan hanya pengalih perhatian kecil yang bisa kuhancurkan kapan saja."
Maya berdiri, tidak ingin merasa terpojok. "Kau tidak akan menyentuhnya Kan! Aku sudah mematuhimu, kau harus menepati janji, kau tidak akan menghancurkan hidupnya."
Darius sedikit memajukan tubuhnya, sekarang duduk semakin dekat di depan Maya. Jarak antara mereka hampir tak ada. "Benarkah?" Dia berbisik dengan nada dingin. "Apa yang akan kau lakukan untuk menghentikanku? Kau tidak punya kekuatan, Maya. Aku yang memegang kendali."
Kedekatan Darius membuat Maya merasa tercekik, tetapi dia tidak mundur. "Kau mungkin punya kekuasaan, tapi kau tidak punya hak untuk mengendalikan hidupku. Aku akan mencari cara untuk keluar dari semua ini, Tuab Darius."
Tatapan Darius mengeras. "Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Kau pikir aku akan duduk diam dan menonton saat kau menghancurkan rencana yang sudah kubangun selama ini?"
Maya bisa merasakan kemarahan yang mulai merayap dalam nada suaranya. Dia tahu, semakin dia melawan, semakin besar risiko yang dia hadapi. Namun, dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup di bawah bayangan kekuasaan Darius.
"Aku bukan bagian dari rencanamu, Darius. Aku tidak akan pernah menjadi boneka dalam permainanmu."
Darius menatapnya dengan tatapan penuh amarah yang dingin. “Jangan bicara seolah-olah kau punya pilihan, Maya. Karena kau tidak punya.”
“Selalu ada pilihan,” jawab Maya dengan tegas, meskipun rasa takut berdesir di tubuhnya.
Darius mencengkeram pergelangan tangan gadis itu dengan kuat, membuat Maya terkejut. "Kau terlalu naif. Jika kau ingin Rezvan aman, maka kau harus patuh. Ini peringatan terakhir, Maya. Jangan pernah meremehkanku."
Maya menahan napas, merasakan cengkeraman Darius yang menyakitkan di kulitnya. Dia menatap langsung ke matanya, mencoba menyalurkan keberanian yang sulit ia temukan dalam dirinya. "Aku tidak takut padamu, Tuan Darius."
Suara itu keluar lebih pelan dari yang ia harapkan, tetapi Maya tahu kata-kata itu memiliki kekuatan. Untuk pertama kalinya, dia melihat sesuatu yang berbeda di mata Darius—sebuah kilatan kebingungan, meskipun hanya sekejap.
Darius melepaskan cengkeramannya dengan kasar dan berbalik. "Baiklah," katanya dingin. "Kau ingin bermain keras, kita akan lihat seberapa jauh kau bisa bertahan." Dia melangkah pergi, namun sebelum keluar dari kamar, dia berhenti sejenak. "Kita akan mulai segera, Maya. Dan ketika saatnya tiba, kau akan menyesali hasil dari keras kepalamu itu."
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Setiap kali Maya berada di dekat Darius, ketegangan di antara mereka semakin nyata. Darius seolah menunggu Maya melakukan kesalahan, siap menghancurkan segala hal yang ia cintai jika dia melawan.
Maya mulai merasakan tekanan yang lebih besar dalam setiap langkahnya. Setiap kali Darius mengajaknya bicara, nada suaranya semakin dingin, semakin tajam, seolah-olah dia sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar. Dan meskipun Maya tidak tahu apa yang akan datang, dia bisa merasakan bahwa waktu semakin habis.
Suatu malam, Maya sedang duduk di ruang tamu, berusaha tenang setelah hari yang penuh tekanan. Namun, ketenangannya terganggu ketika Darius masuk ke ruangan dengan wajah serius.
“Kita harus berbicara,” katanya tanpa basa-basi.
Maya mengangkat wajahnya, merasa ketegangan di udara semakin pekat. “Tentang apa kali ini?”
Darius duduk di kursi seberangnya, matanya tak pernah lepas dari Maya. “Tentang batasan. Kau sudah melangkah terlalu jauh, Maya. Aku memberimu waktu untuk berpikir, tapi sepertinya kau tidak mengerti posisimu.”
Maya menahan napas, bersiap untuk menghadapi ancaman baru yang akan keluar dari mulut Darius.
“Aku tahu kau mencoba melawan,” lanjut Darius, suaranya lebih tenang, tetapi penuh ancaman tersembunyi. “Tapi kau harus ingat, aku selalu berada selangkah di depan.
Darius tersenyum tipis. “Dalam Dunia ini penuh dengan cara untuk menghancurkan hidup seseorang tanpa perlu melibatkan fisik. Kau tahu itu, bukan? Satu panggilan telepon saja, dan hidupnya bisa berubah. Semua yang dia miliki, keluarganya, pekerjaannya, masa depannya—semua bisa hilang.”
Maya merasakan darahnya berdesir. Ancaman Darius tidak main-main. Dia tahu betul bahwa kekuasaan dan pengaruh Darius bisa menghancurkan siapa saja yang berada di sekitarnya.
“Kau tidak bisa melarikan diri dari ini, Maya,” lanjut Darius, nadanya semakin dingin. “Jika kau terus melawan, maka konsekuensinya akan jatuh pada orang yang kau cintai. Jadi, apakah kau masih ingin mempertahankan harga dirimu, atau kau akan menyelamatkan Rezvan?”
“Ini adalah peringatan dariku, jangan pernah mencoba berpikir untuk lari dariku,hentikan segala macam bentuk perlawananmmu. Itu hanya akan mematik rasa marahku saja!” ancam Darius.
Maya merasa terpojok, seperti seekor binatang yang dikepung oleh pemburu. Tidak ada jalan keluar yang mudah. Setiap pilihan yang ia buat seolah-olah akan membawa kehancuran bagi seseorang yang ia pedulikan.
“Aku…” Maya terdiam, berusaha mengendalikan emosinya.
Darius berdiri, melangkah mendekat dan berdiri di hadapannya. “Aku tidak perlu jawaban, cukup diam dan patuh saja kepadaku!”
Maya hanya bisa menatap lantai, merasakan ketegangan di antara mereka semakin memuncak. Darius menyentuh pipinya, gerakannya lembut namun penuh dominasi. “Jangan membuatku marah, Maya,” bisiknya sebelum meninggalkan ruangan.
Maya tetap terduduk di tempatnya, merasakan tubuhnya bergetar. Ketakutan dan kemarahan berkumpul di dalam dirinya, menciptakan campuran emosi yang hampir tak tertahankan. Ancaman Darius semakin nyata, dan Maya tahu bahwa sesuatu akan terjadi.
Di balik semua ketakutan itu, Maya merasakan sesuatu yang baru: sebuah dorongan. Dia tahu bahwa dia harus melawan, apapun risikonya. Jika tidak, dia akan selamanya menjadi tawanan dalam permainan Darius yang kejam. Tapi, bagaimana caranya melawan kekuasaan yang begitu besar tanpa menghancurkan hidup orang-orang yang dia cintai? Pertanyaan itu terus menghantuinya, bahkan ketika malam semakin larut dan bayangan ancaman Darius menggantung di udara.
Ketegangan di antara Maya dan Darius semakin terasa menyesakkan. Hari-hari berlalu dengan bayangan ancaman yang semakin nyata. Darius tak lagi bermain-main. Segala yang ia ucapkan bukan sekadar ancaman kosong. Perlahan tapi pasti, Darius mulai menggerakkan rencananya untuk menghancurkan hidup Rezvan, agar Maya mulai merasakan hukuman darinya lagi.
Malam itu, Maya terbangun oleh dering telepon yang nyaring. Melihat nama yang muncul di ponselnya, Jantungnya berdebar kencang saat dia menjawab panggilan tersebut. Di seberang, terdengar suara gemetar Ibu Rezvan.
“Maya... tolong... bisa kita bicara? Ini... ini soal Rezvan.”
Hati Maya mencelos. “Ada apa dengannya, Tante, apa yang terjadi?” imbuh paniknya, rasa kantuknya pun langsung terusir pergi.
Ibu Rezvan terisak. “Kami butuh bantuanmu, Maya. Tolong, datang ke kantor Tuan Darius besok pagi. Kami mohon.”
