BAB; 3. LUKA YANG TERSEMBUNYI.
Bab 3: Luka yang Tersembunyi
Sudah seminggu sejak pernikahan itu sah di atas kertas. Namun bagi Alira, hidup di rumah besar Leonard Alvaro terasa seperti tinggal dalam akuarium kaca—terlihat indah dari luar, tapi sunyi dan penuh tekanan dari segala arah.
Setiap pagi, ia bangun di kamar megah dengan seprai linen halus dan tirai tebal yang menghalangi cahaya matahari. Tapi tidak pernah ada ucapan “selamat pagi” dari Leonard. Pria itu berangkat kerja sebelum matahari terbit, dan pulang ketika malam sudah larut, sering kali dengan ekspresi lelah dan dingin seperti es.
Alira mencoba menyesuaikan diri. Ia belajar kebiasaan rumah tangga, berbicara sopan pada para staf, dan menjaga sikap seperti yang diminta Leonard. Tapi tetap saja, tatapan dari beberapa pelayan atau keluarga Leonard yang sesekali datang, menyiratkan satu hal: dia orang luar.
Hanya Kakek Alvaro yang tampaknya benar-benar menerima kehadirannya.
“Leonard butuh seseorang seperti kamu di sisinya,” ujar sang kakek suatu sore, saat mereka minum teh di taman.
Alira tersenyum lemah. “Saya rasa... dia tidak ingin siapa pun di sisinya.”
Kakek tertawa kecil, lalu menatapnya penuh makna. “Karena dia pernah kehilangan. Dan itu membekukan hatinya.”
Alira terdiam. Kata-kata itu terus bergema dalam pikirannya hingga malam tiba.
---
Malam itu, untuk pertama kalinya Leonard pulang lebih awal. Alira yang sedang membaca buku di ruang tengah langsung berdiri ketika mendengar pintu dibuka.
“Kamu belum tidur?” tanyanya singkat.
Alira menggeleng. “Aku... hanya membaca.”
Leonard mendekat, matanya menatap buku di tangannya. “Kamu suka sastra?”
“Sedikit,” jawab Alira gugup. “Ini... salah satu cara untuk menenangkan pikiran.”
Leonard tak menjawab. Ia berjalan melewati Alira dan menuang anggur ke dalam gelas kristal. Ketika ia duduk di sofa, Alira tetap berdiri.
“Duduklah,” ucap Leonard tiba-tiba.
Alira menurut. Mereka duduk bersebelahan, tapi terasa seperti duduk di dua dunia berbeda.
“Besok kamu akan ikut ke gala perusahaan,” kata Leonard tiba-tiba. “Itu acara besar. Semua mata akan tertuju padamu.”
Alira menatapnya. “Kenapa aku harus ikut?”
“Karena kamu istriku sekarang. Orang-orang perlu melihat citra itu. Termasuk para investor.”
“Citra yang kamu bangun... pakai aku.”
Leonard menatapnya. “Ini bagian dari kontrak. Jangan terlalu baper, Alira.”
Kata-katanya tajam seperti belati. Tapi justru karena itu, Alira memberanikan diri bertanya.
“Kamu selalu menjaga jarak. Bukan hanya ke aku, tapi semua orang. Apa kamu pernah... disakiti?”
Leonard tak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, dan untuk sesaat, Alira melihat sesuatu di balik matanya. Luka. Luka yang dalam.
“Jangan mencoba memahami hal yang bahkan kamu tak bisa bayangkan,” jawabnya dingin.
Setelah itu, ia berdiri dan pergi ke lantai atas. Meninggalkan Alira sendiri di tengah ruang tamu yang mulai terasa beku.
---
Hari acara gala tiba.
Gaun malam hitam berkilau yang disiapkan tim stylist membuat Alira terlihat seperti wanita bangsawan. Rambutnya ditata elegan, dan riasan lembut menonjolkan kecantikan naturalnya.
Ketika Leonard melihatnya keluar dari kamar, matanya menatap tanpa ekspresi. Tapi Alira bisa menangkap sedikit perubahan dalam sorot matanya. Sekilas. Hanya sejenak. Tapi nyata.
“Kamu terlihat... cukup bisa diterima,” katanya singkat.
“Terima kasih,” jawab Alira sambil menahan senyum getir.
Sepanjang perjalanan menuju ballroom hotel bintang lima, mereka hanya berbicara seperlunya. Tapi saat tiba di lokasi, Leonard menggenggam tangan Alira—genggaman yang kuat, penuh tekanan. Alira tahu, itu bukan romantis. Itu simbol kepemilikan.
Di dalam ballroom, lampu kristal berkilau, musik klasik mengalun, dan tamu-tamu dengan gaun serta setelan mahal berseliweran seperti dalam film.
“Leonard!”
Sebuah suara menggema, dan muncullah Cassandra—sepupu Leonard yang selama ini memperlihatkan ketidaksukaannya.
“Alira,” sapa Cassandra dengan senyum manis yang palsu, “Kamu tampak... mengejutkan malam ini.”
“Terima kasih, Cassandra.”
“Kamu pasti merasa seperti Cinderella, ya? Tiba-tiba menikah dengan pangeran dan datang ke pesta istana.”
Alira tersenyum tanpa balas menyindir. “Sayangnya, Cinderella menikah karena cinta.”
Seketika, wajah Cassandra menegang. Tapi sebelum sempat membalas, Leonard menggandeng Alira lebih erat.
“Kita pergi dari sini.”
Mereka berjalan ke arah sekelompok investor, dan Leonard memperkenalkan Alira sebagai istrinya dengan formalitas yang memukau. Tapi di balik senyuman yang dipertontonkan, Alira tahu, semua ini hanya topeng.
Hingga akhirnya, setelah satu jam berpura-pura tersenyum dan bicara sopan, Alira meminta izin ke toilet. Di lorong menuju kamar kecil, ia berpapasan dengan seorang pria muda berambut ikal dan mata cokelat hangat.
“Kamu istri Leonard, ya?” tanyanya dengan ramah.
“Iya. Maaf, kamu...?”
“Aku Raffa. Salah satu manajer proyek Alvaro Corp. Aku... teman lama Leonard. Dulu.”
“Dulu?” tanya Alira, tertarik.
Raffa tersenyum tipis. “Dia berubah sejak kejadian itu. Mungkin suatu hari kamu akan tahu. Atau mungkin tidak.”
Alira tidak sempat bertanya lebih lanjut, karena Leonard muncul dari balik lorong, ekspresi wajahnya mengeras saat melihat mereka bicara.
“Waktunya pulang,” ucapnya.
---
Di dalam mobil, suasana kembali membeku.
“Kamu bicara apa dengan Raffa?” tanya Leonard tanpa memandang.
“Tidak banyak. Dia hanya menyapaku. Dia tampak... baik.”
Leonard mencengkeram stir. “Hati-hati dengan siapa kamu bicara.”
“Kamu selalu curiga pada semua orang,” gumam Alira.
“Karena aku tahu, kepercayaan bisa dibunuh oleh senyum yang salah.”
Kalimat itu menggantung di udara. Alira ingin bertanya, ingin tahu lebih banyak. Tapi ia tahu, Leonard belum siap membukakan hatinya. Jadi ia hanya diam. Diam bersama rasa penasaran yang terus tumbuh.
---
Malam itu, hujan turun deras. Alira tak bisa tidur. Ia berdiri di jendela, memandangi taman yang basah oleh hujan. Saat itu, pintu kamarnya diketuk.
Ia membuka pintu. Leonard berdiri di sana, mengenakan kaus dan celana santai. Bukan setelan jas seperti biasanya.
“Ada apa?” tanya Alira pelan.
Leonard menatapnya dalam. “Aku tidak tahu kenapa aku ke sini.”
“Mungkin... kamu hanya butuh ditemani.”
Leonard terdiam beberapa saat, lalu masuk ke dalam kamar. Mereka duduk di ujung ranjang, saling diam. Hujan menjadi satu-satunya suara di antara mereka.
“Aku pernah bertunangan,” ucap Leonard akhirnya. “Tiga tahun lalu. Namanya Maya.”
Alira menatapnya, tak ingin menyela.
“Kami hampir menikah. Tapi... seminggu sebelum pernikahan, dia pergi. Tanpa alasan. Tanpa pamit. Aku mencarinya. Tapi dia lenyap. Dan saat aku menemukan jawabannya, aku berharap aku tidak pernah tahu.”
Alira menelan ludah. “Apa yang terjadi?”
Leonard memejamkan mata. “Dia menjual informasi rahasia perusahaan pada saingan bisnis kami. Uang. Itu motifnya. Dia... tidak pernah mencintaiku. Hanya mencintai kekayaan yang menempel di namaku.”
Alira merasa dadanya sesak.
“Itu sebabnya kamu membenciku? Karena aku juga wanita miskin?”
Leonard menatapnya, untuk pertama kalinya tanpa dinding di matanya. “Aku tidak membencimu, Alira. Aku takut mempercayai lagi.”
Alira mengangguk perlahan. “Aku tidak ingin kamu percaya padaku hanya karena kita menikah. Tapi... setidaknya izinkan aku jadi seseorang yang tidak membuatmu merasa sendirian.”
Leonard tak berkata apa-apa. Tapi ia tetap duduk di sana, hingga hujan berhenti dan malam berganti pagi.
---
Di balik kontrak, di balik kepura-puraan, dan di balik luka yang belum sembuh… perlahan, sesuatu mulai tumbuh. Tak terlihat. Tapi terasa.
