BAB: 4. DINDING YANG MULAI RETAK.
Bab 4: Dinding yang Mulai Retak
Pagi itu, suasana rumah besar keluarga Alvaro terasa berbeda. Bukan hanya karena matahari yang menyelinap hangat di balik tirai jendela, tapi juga karena perubahan kecil dalam dinamika antara Alira dan Leonard. Mereka tak lagi hanya sekadar rekan kontrak. Ada sesuatu yang lebih… walau tak diucapkan.
Leonard duduk di ruang makan, membaca koran sambil menyeruput kopi hitam. Alira masuk dengan langkah ragu, masih mengenakan gaun tidur satin pemberian stylist.
“Pagi,” sapanya lembut.
Leonard mengangguk. “Pagi.”
Tak ada basa-basi. Tapi juga tak ada ketegangan. Alira mengambil roti panggang dan duduk di seberangnya.
“Kamu tidur di kamarku sampai subuh,” kata Alira tiba-tiba.
Leonard menurunkan koran perlahan. “Aku tidak berniat ganggu.”
“Kamu tidak mengganggu,” balasnya cepat, sedikit terlalu jujur.
Leonard tersenyum tipis. Senyum langka yang membuat jantung Alira berdetak dua kali lebih cepat.
Tapi sebelum suasana menjadi terlalu lembut, ponsel Leonard berdering. Ia menjawab panggilan itu, dan wajahnya langsung berubah serius.
“Ada kebocoran dokumen tender?!” suaranya meninggi. “Pastikan tim audit internal mengisolasi file dan lacak aktivitas terakhir. Aku ke kantor sekarang.”
Ia berdiri, menyambar jasnya, dan menatap Alira. “Maaf. Aku harus pergi lebih awal.”
Alira mengangguk. “Hati-hati.”
Saat pintu tertutup di belakang Leonard, perasaan khawatir menjalari dadanya. Ia mulai menyadari bahwa apa pun yang terjadi pada Leonard, sekarang juga menyentuh hidupnya.
---
Di kantor pusat Alvaro Corp., suasana sedang panas.
Leonard berdiri di depan layar besar ruang meeting, memandangi grafik akses dokumen digital perusahaan yang anehnya sempat terbuka pada jam-jam malam hari.
“Seseorang masuk ke dalam sistem semalam. Mengakses file tender besar kita dengan perusahaan konstruksi Korea Selatan,” ujar Ansel, kepala IT. “Tapi pelakunya menggunakan akun login admin lama yang seharusnya sudah dibekukan sejak—”
Leonard mengangkat tangan. “Akun milik Maya?”
Ansel mengangguk pelan. “Saya kira sudah dihapus. Tapi entah kenapa, aksesnya terbuka kembali.”
Suasana menegang. Leonard mengepalkan tangan. Luka lama itu menyeruak kembali—dan kali ini, bukan hanya emosional, tapi juga mengancam kerajaannya.
“Hubungi tim legal. Dan cari tahu siapa yang memberikan akses itu. Ini bukan kebetulan.”
---
Sementara itu, di rumah, Alira tidak tinggal diam. Sejak pertemuannya dengan Raffa di gala, ia mulai curiga. Ada sesuatu yang disembunyikan Leonard, bukan hanya soal mantan tunangan atau luka masa lalu, tapi juga sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan.
Ia membuka laptop dan mencoba mencari tahu latar belakang Maya.
Dari berbagai artikel lama, ia menemukan bahwa Maya pernah bekerja sebagai analis bisnis di Alvaro Corp., cerdas, berprestasi, dan dikabarkan menjalin hubungan rahasia dengan CEO muda perusahaan. Tapi artikel itu berhenti di satu titik—saat Maya tiba-tiba menghilang dari publikasi media. Seakan-akan sosoknya dihapus dari sejarah perusahaan.
“Kenapa harus disembunyikan?” gumam Alira.
Belum sempat ia berpikir lebih jauh, seseorang mengetuk pintu rumah.
“Selamat siang, Bu. Ada kiriman paket dari butik Ayana untuk Nyonya Leonard Alvaro,” ujar kurir.
Alira menandatangani dan membawa masuk kotak besar berwarna biru muda itu. Di dalamnya, ternyata terdapat gaun pesta mewah dan sepucuk kartu undangan.
“Dewan Sosial Wanita Elit Jakarta — Gala Donasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus.”
Dan di bawahnya, tertera tulisan:
“Kehadiran Anda bersama Tuan Leonard Alvaro akan menjadi kehormatan bagi kami.”
Alira menelan ludah. Ini acara resmi. Di dunia sosialita.
---
Sore itu, Leonard pulang dengan wajah muram. Alira menunggunya di ruang kerja sambil memegang kartu undangan itu.
“Leonard... ini datang hari ini. Gala sosial dari dewan wanita.”
Leonard membaca kartu itu sekilas lalu mendesah pelan. “Acara ibu-ibu kaya yang suka pamer berlian dan fake smile. Kamu nggak harus ikut kalau nggak mau.”
“Aku ingin ikut.”
Leonard menatapnya, seakan mengevaluasi niatnya. “Kenapa?”
“Karena aku ingin kamu tahu, aku bukan hanya istrimu di atas kertas. Aku bisa berdiri di sisimu... bukan cuma sebagai simbol, tapi juga sebagai partner.”
Untuk sesaat, Leonard hanya terdiam. Tapi akhirnya ia berkata, “Baik. Kita akan datang bersama.”
Dan malam itu, di balik wajah dinginnya, ada secercah penghargaan dalam mata Leonard yang tak bisa disembunyikan.
---
Gala sosial diadakan di ballroom eksklusif milik salah satu istri menteri. Alira mengenakan gaun biru laut dengan renda halus di bahu, rambutnya digelung sederhana namun elegan. Leonard, seperti biasa, tampil sempurna dalam tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu.
Saat mereka masuk, semua mata langsung tertuju. Bisik-bisik pun bermunculan.
“Itu istrinya Leonard?”
“Cantik juga, ya, walaupun katanya dari keluarga biasa.”
“Mungkin hanya sementara.”
Alira mendengar semuanya. Tapi ia menegakkan kepala. Dia sudah belajar bahwa di dunia Leonard, kekuatan bukan berasal dari suara, tapi dari kehadiran.
Di antara kerumunan, muncullah sosok yang membuat Alira berhenti bernapas sejenak.
Cassandra.
Wanita itu menghampiri dengan gaun emas yang mencolok dan senyum yang terlalu ramah.
“Kalian terlihat seperti pasangan sejati malam ini,” ucapnya.
“Terima kasih,” jawab Leonard singkat.
“Tapi sayang, aku baru dengar kabar tak enak tentang perusahaanmu, Leon. Katanya... ada kebocoran data?”
Leonard memicingkan mata. “Dari mana kamu tahu itu?”
“Oh, gosip cepat menyebar, terutama di antara orang-orang yang memperhatikan.”
Alira tahu, Cassandra bukan hanya menyindir. Dia tahu lebih dari yang seharusnya.
---
Setelah acara selesai, dalam perjalanan pulang, Alira bertanya.
“Menurutmu Cassandra punya hubungan dengan Maya?”
Leonard mengernyit. “Kenapa kamu tanya itu?”
“Karena dia tahu soal kebocoran data. Terlalu cepat tahu.”
Leonard mengangguk perlahan. “Cassandra memang sering dekat dengan siapa pun yang bisa memberikan keuntungan.”
“Termasuk Maya?”
“Mereka pernah berada dalam satu tim. Tapi aku tak pernah menduga Cassandra akan terlibat dalam hal ini.”
Alira menatap ke luar jendela, malam Jakarta masih benderang oleh lampu. “Kalau mereka bekerja sama... mereka bisa menjatuhkanmu dari dalam.”
“Aku tak akan jatuh,” jawab Leonard dengan suara dingin. “Dan kalau mereka main kotor, aku akan membalas dua kali lipat.”
Alira memalingkan wajah padanya. “Tapi jangan sendirian, Leon. Kamu bukan sendiri sekarang.”
Mata mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, Leonard meraih tangan Alira dan menggenggamnya. Bukan dengan tekanan, bukan sebagai simbol. Tapi sebagai bentuk kepercayaan yang mulai tumbuh.
---
Beberapa hari setelah gala, suasana kantor semakin tegang. Tim internal berhasil menemukan aktivitas mencurigakan dari Cassandra—beberapa transaksi komunikasi rahasia dengan alamat email yang terhubung ke Maya.
Leonard menyusun rencana. Dan untuk pertama kalinya, ia melibatkan Alira.
“Aku akan adakan rapat dewan mendadak. Tapi aku butuh kamu hadir.”
“Aku?” tanya Alira terkejut.
“Ya. Cassandra tak menganggapmu penting. Tapi kamu bisa jadi pengalih perhatian saat aku jebak dia bicara soal kebocoran itu.”
Alira menatap Leonard. “Kamu benar-benar percaya padaku?”
Leonard menatapnya dengan intens. “Aku... mulai belajar.”
Dan dengan kata-kata itu, dinding besar yang selama ini membentengi hati Leonard mulai retak. Tak hancur seluruhnya. Tapi cukup untuk membuat cahaya masuk.
---
