BAB; 2. PERNIKAHAN TAMPA CINTA.
Bab 2: Pernikahan Tanpa Cinta
Pagi itu, udara Jakarta terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun matahari bersinar terik. Alira berdiri di depan gerbang besar rumah keluarga Alvaro—sebuah mansion bergaya Eropa klasik yang berdiri megah di kawasan elit Jakarta Selatan. Pagar hitam tinggi dengan lambang keluarga berukir di tengahnya, membuat tempat itu tampak lebih seperti istana dibanding rumah biasa.
Sopir yang menjemputnya turun dari mobil dan membukakan pintu.
"Silakan masuk, Nona Alira. Nyonya rumah sudah menunggu."
Alira mengangguk pelan dan menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Setiap langkahnya terasa berat, seperti membawa beban ribuan keputusan di pundaknya. Begitu melewati pintu utama, ia disambut oleh aroma bunga mawar dan wangi kayu mahal.
Interior rumah itu tidak hanya mewah, tapi juga terasa… dingin. Dinding putih, perabot kayu hitam mengilap, dan lampu gantung kristal di langit-langit memberikan kesan mewah tapi tak bersahabat. Tak ada kehangatan yang biasa ia rasakan di rumah kecilnya bersama adik.
Di ruang tamu, Leonard sudah menunggunya. Ia mengenakan setelan kasual berwarna gelap yang tetap membuatnya tampak seperti model majalah bisnis.
“Kamu datang tepat waktu,” ujarnya singkat, tanpa senyum.
“Terima kasih,” balas Alira pelan.
“Mulai hari ini, kamu tinggal di sini. Ada kamar di lantai dua yang sudah disiapkan. Kita tidak akan tidur sekamar. Jangan harap lebih dari formalitas.”
Alira mengangguk tanpa membantah.
Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul. Rambutnya disanggul rapi dan ekspresinya kaku. “Saya Bu Ningsih, kepala pengurus rumah tangga. Jika Nona membutuhkan sesuatu, beri tahu saya.”
“Saya... akan coba tidak menyusahkan siapa-siapa,” jawab Alira sopan.
Mata Bu Ningsih memicing, seolah menilai kelayakan Alira untuk masuk dalam rumah besar itu. Tapi ia tidak berkomentar apa-apa lagi dan berlalu.
Leonard berdiri. “Hari ini kamu akan ikut denganku ke kantor notaris untuk mendaftarkan pernikahan kita. KTP dan dokumen sudah disiapkan?”
“Sudah,” jawab Alira sambil menyerahkan map dari tas selempangnya.
Sepanjang perjalanan menuju kantor notaris, mereka duduk dalam diam di dalam mobil hitam beraroma kulit baru. Alira beberapa kali melirik Leonard, mencoba membaca pikirannya, tapi wajah pria itu tetap datar, nyaris beku. Ia tidak menampakkan sedikit pun tanda bahwa ini adalah hari penting dalam hidup mereka—hari pernikahan.
Sementara itu, di hati Alira, badai kecil sedang mengamuk. Ia mencoba merasionalisasi semua ini: ini hanya kontrak. Pernikahan ini tidak nyata. Setelah setahun, ia akan bebas. Bebas dan cukup kaya untuk membangun hidupnya kembali.
---
Pernikahan mereka dilangsungkan secara tertutup di kantor notaris. Tidak ada gaun pengantin, tidak ada tamu undangan, tidak ada janji suci. Hanya tanda tangan di atas kertas, cap basah, dan foto formal di depan meja notaris.
“Sah menurut hukum. Selamat, kalian telah menjadi suami-istri secara legal,” ujar notaris itu sambil tersenyum hambar.
Alira tersenyum kecil, tapi tidak sanggup membalas ucapan itu dengan ucapan selamat. Hatinya terlalu kaku, terlalu kosong untuk merayakan sesuatu yang seharusnya sakral.
Begitu keluar dari kantor notaris, Leonard langsung memerintahkan sopir untuk kembali ke kantor.
“Kamu bisa pulang ke rumah. Hari ini aku sibuk. Besok kita makan malam bersama keluarga untuk memperkenalkanmu secara resmi.”
“Makan malam keluarga?” ulang Alira, gugup.
“Ya. Jangan khawatir. Hanya formalitas. Tapi jaga sikapmu. Jangan mempermalukanku.”
Alira menunduk, menggenggam tangannya erat. “Aku akan berusaha sebaik mungkin.”
Leonard tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah ke luar jendela, seolah dunia di luar lebih penting daripada wanita yang baru saja ia nikahi.
---
Sesampainya di rumah, Alira langsung menuju kamarnya yang berada di sayap timur rumah. Kamar itu besar dan mewah, dengan ranjang king size, lemari besar, dan kamar mandi pribadi. Tapi rasanya asing. Ia merasa seperti tamu di tempat yang tidak benar-benar menerimanya.
Di atas meja rias, sudah terletak kotak kecil berisi ponsel baru dan beberapa kartu ATM. Di sampingnya, selembar kertas bertuliskan:
> “Ini ponsel kontrak. Gunakan hanya untuk urusan rumah dan publikasi. Kartu ATM atas namamu, berisi dana operasional bulanan. Jangan tanya dari mana sumbernya.” – Leonard.
Alira memandangi tulisan tangan itu. Tegas, rapi, tapi dingin. Sama seperti orangnya.
Ia duduk di tepi ranjang, memandang jendela besar yang menghadap taman belakang. Dalam hati, ia berbisik, “Apa aku sudah menjual jiwaku?”
---
Keesokan malam, makan malam keluarga dilangsungkan di ruang makan utama rumah besar itu. Alira mengenakan gaun sederhana berwarna biru laut yang disiapkan oleh Bu Ningsih. Rambutnya digerai dan sedikit ditata oleh salah satu asisten rumah tangga.
Ketika ia melangkah masuk ke ruang makan, semua mata tertuju padanya.
Di ujung meja duduk seorang pria tua dengan wajah tegas namun bijak. Dialah Kakek Alvaro—pendiri Alvaro Corp, pemegang kekuasaan tertinggi dalam keluarga.
“Kamu pasti Alira,” sapa sang kakek dengan suara berat tapi ramah.
Alira menunduk sopan. “Senang bertemu dengan Anda, Kakek.”
“Kamu cantik dan sopan. Cocok untuk cucuku yang keras kepala itu,” katanya sambil melirik Leonard.
Sepupu Leonard, seorang wanita muda bernama Cassandra, mendesis pelan. “Tapi kamu terlalu... sederhana.”
Suasana sempat menegang. Leonard yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Sederhana bukan berarti tidak layak.”
Semua orang terdiam. Alira melirik Leonard dengan tatapan bingung. Itu pertama kalinya ia merasa... dibela.
Makan malam itu berlangsung dengan ketegangan tersembunyi. Beberapa anggota keluarga tampak menilai Alira dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tapi Kakek Alvaro tampak puas, bahkan sesekali melempar senyum.
Saat semua orang bubar, Leonard menyuruh Alira untuk tinggal sebentar.
“Bagus. Kakek senang. Itu yang penting.”
Alira mengangguk. “Aku tidak tahu apakah aku pantas ada di tengah kalian.”
Leonard menatapnya sebentar. “Kamu hanya perlu memainkan peranmu. Tidak lebih.”
Lalu ia berjalan pergi, meninggalkan Alira sendirian di ruang makan yang mulai gelap.
---
Malam itu, Alira tidak bisa tidur. Ia berjalan pelan ke balkon kamarnya, menatap langit yang mulai mendung.
Hujan mulai turun, perlahan tapi pasti. Ia menatap tetesan air yang membasahi kaca jendela. Dalam hatinya, ia bergumam,
> “Aku sudah menikah hari ini. Tapi tidak ada cinta. Tidak ada pelukan. Tidak ada ucapan bahagia. Hanya tanda tangan dan janji palsu.”
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu… segala sesuatu yang dimulai dengan kepalsuan, kadang justru bisa melahirkan kebenaran yang tak terduga.
---
