Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 1; TAWARAN TAK TERDUGA.

Bab 1: Tawaran Tak Terduga

Langit sore tampak kelabu ketika Alira menuruni tangga sempit dari kamar kosnya yang berada di lantai tiga. Di tangannya tergenggam amplop cokelat yang isinya adalah surat peringatan terakhir dari pemilik rumah kos. Jika ia tidak membayar tunggakan dalam dua hari ke depan, ia akan diusir.

Dengan napas yang berat, Aira menatap langit. "Tuhan... apa aku harus menyerah hari ini?"

Namun pikirannya kembali pada adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMA. Ia tidak boleh menyerah. Tidak hari ini. Tidak sekarang.

Dia mempercepat langkahnya menuju kafe kecil tempatnya bekerja paruh waktu. Kafe itu tidak megah, bahkan cat dindingnya sudah mengelupas di beberapa sisi. Namun, kafe itu satu-satunya tempat yang mau menerimanya bekerja meski hanya lulusan SMA dan tidak punya pengalaman.

Aira mengenakan celemek dan langsung masuk ke dapur untuk membantu. Senyum kecil tersungging di bibirnya saat menyapa rekan kerjanya yang lain.

"Aira, hari ini ada tamu penting. Duduk di pojok dekat jendela. Jangan sampai salah layanin ya," bisik Tiara, temannya.

Alira mengangguk. Ia pun membawa menu dan menghampiri meja pojok itu.

Begitu ia melihat siapa yang duduk di sana, langkahnya sempat terhenti. Seorang pria berdasi rapi, mengenakan setelan jas hitam elegan, tengah membaca sesuatu di tablet. Wajahnya tampan, tapi dingin. Matanya tajam seperti tak mengenal kompromi.

Aira menarik napas dan mencoba tersenyum. "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?"

Pria itu mengangkat wajahnya. Untuk sepersekian detik, pandangan mereka bertemu. Mata gelap pria itu menelusuri wajahnya seolah sedang menilai kualitas seseorang.

"Alira Maudy?"

Alira terkejut. "Iya. Maaf, kita pernah bertemu?"

Pria itu menyelipkan tablet ke dalam tas kerja kulitnya, lalu berdiri.

"Kita belum pernah bertemu. Tapi saya tahu cukup banyak tentangmu," jawabnya dengan suara rendah dan tenang.

Aira langsung waspada. "Maaf, siapa Anda?"

“Leonard Alvaro. CEO Alvaro Corp,” jawabnya singkat.

Alira mengedip. Nama itu bukan sembarangan. Ia pernah membaca di artikel berita bahwa Leonard adalah pengusaha muda yang mendirikan perusahaan teknologi dan properti bernilai triliunan. Ia dijuluki ‘Singa Muda’ dunia bisnis.

"Apa yang Anda inginkan dari saya?"

“Sebuah perjanjian.”

Aira semakin bingung. "Perjanjian?"

Leonard mengeluarkan sebuah map tipis dan meletakkannya di atas meja.

"Saya butuh istri. Tapi hanya sementara. Kontrak satu tahun. Tidak lebih."

Aira menahan napas, merasa dunia menjadi asing tiba-tiba.

"Maaf... Anda bercanda?"

"Apakah menurutmu saya tipe orang yang suka bercanda?" Tatapan Leonard menusuk tajam.

Aira membuka map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, tercetak jelas: Kontrak Pernikahan Sementara. Di lembar pertama, tertera nama dirinya dan pria itu.

Alira menutup map dengan cepat. "Kenapa saya?"

Leonard menarik kursi dan duduk kembali. "Saya butuh istri untuk menunjukkan kepada kakek saya bahwa saya stabil, dewasa, dan siap memimpin seluruh kerajaan bisnis keluarga. Jika tidak, sebagian besar saham akan diwariskan ke sepupu saya yang menyebalkan."

"Dan Anda pikir... saya cocok untuk peran itu?"

“Kamu tidak punya siapa-siapa. Tidak ada koneksi. Tidak akan menimbulkan skandal. Wajahmu cukup manis untuk tampil di depan publik, tapi cukup sederhana untuk tidak menarik perhatian media."

Aira menelan ludah. Ia tahu itu bukan pujian. Itu seperti menilai barang berdasarkan spesifikasi teknis.

"Dan imbalannya?" tanyanya pelan.

“100 juta rupiah di awal. Tambahan 500 juta setelah pernikahan satu tahun selesai. Semua kebutuhan hidup akan saya tanggung.”

Alira terdiam. Angka itu seperti mimpi. Bisa melunasi hutang ayahnya. Bisa menyekolahkan adiknya hingga kuliah. Bisa menyelamatkan rumah peninggalan ibunya.

Tapi... menikah? Dengan orang asing?

"Dan kalau saya menolak?" bisiknya.

Leonard menyandarkan punggung, menatapnya dengan tatapan tenang namun dingin. "Kamu tetap bisa lanjutkan hidupmu. Dalam waktu seminggu, rumahmu akan disita, adikmu akan putus sekolah, dan kamu kembali ke titik nol."

Aira menggertakkan gigi. "Kamu sudah menyelidiki aku?"

Leonard mengangkat bahu. "Saya harus tahu siapa yang akan saya nikahi. Bahkan kalau itu hanya sandiwara."

Air mata hampir tumpah dari mata Aira. Tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Ia bukan gadis lemah. Ia hanya gadis yang terjebak.

"Apa aturannya?" tanyanya akhirnya.

Leonard tersenyum tipis. “Pernikahan ini hanya formalitas. Tidak ada hubungan intim. Tidak ada gangguan dalam hidup pribadi masing-masing. Kita hanya akan tampil bersama di acara keluarga dan beberapa publikasi bisnis. Setelah setahun, kita bercerai.”

Aira mengangguk perlahan. “Aku butuh waktu untuk berpikir.”

“Ambil waktu sampai besok malam. Setelah itu, tawaran ini hangus.”

Leonard berdiri, meninggalkan kartu nama di atas meja.

Begitu pria itu pergi, Alira merasa tubuhnya melemas. Ia memegang kartu nama itu seperti memegang bom waktu. Perasaannya campur aduk—antara marah, takut, dan... harapan?

---

Malam itu, Aira duduk di jendela kamarnya yang sempit. Ia memandangi langit malam yang penuh bintang, bertanya-tanya apakah keputusan yang akan ia ambil besok akan mengubah takdirnya... atau menghancurkannya.

---

Keesokan harinya, ia datang ke sebuah kantor mewah di pusat kota. Jantungnya berdetak kencang saat masuk ke lobi gedung bertingkat itu.

Ia menatap resepsionis. "Saya ingin bertemu Tuan Leonard Alvaro."

Beberapa menit kemudian, ia dibawa ke lantai 29, langsung ke ruang CEO. Pintu terbuka otomatis. Di dalam, Leonard sedang berdiri di depan jendela besar, menatap pemandangan kota dari ketinggian.

"Aku terima tawaranmu," kata Aira tanpa basa-basi.

Leonard menoleh perlahan, lalu mengangguk kecil.

"Selamat datang di dunia yang tidak akan pernah sama, Nyonya Alvaro

Aira hanya bisa mengangguk pelan, meski detak jantungnya terasa menggedor dinding dadanya dengan kekuatan berlipat. Ia tak tahu pasti apa yang menunggunya di depan sana. Tapi satu hal yang pasti, begitu ia menandatangani kontrak itu, ia bukan lagi Alira Maudy yang hidup biasa-biasa saja.

Leonard menekan tombol interkom di meja kerjanya. "Eva, bawa dokumen kontrak lengkapnya."

Seorang wanita berpenampilan elegan muncul beberapa detik kemudian, membawakan map hitam dengan segel perusahaan. Tatapannya pada Aira dingin, nyaris sinis.

"Jadi ini... calon istri Anda, Tuan Leonard?"

Leonard tidak menjawab. Ia hanya menerima map itu, membukanya, lalu menyerahkan pena kepada Aira.

"Silakan baca kembali jika masih ada keraguan. Tapi waktu kita terbatas."

Aira menelusuri kembali isi kontrak. Semua klausul dijabarkan secara profesional: durasi pernikahan, pembagian hak dan kewajiban, larangan mencampuri urusan pribadi, bahkan penalti jika salah satu pihak melanggar perjanjian.

Tangannya gemetar saat akhirnya menandatangani halaman terakhir.

Seketika, ia merasakan seperti ada ikatan tak kasat mata yang mengikat dirinya pada pria di depannya.

Leonard mengambil kontrak yang telah ditandatangani dan menaruhnya di dalam brankas.

"Persiapan pernikahan akan dilakukan diam-diam. Tidak akan ada pesta besar. Kamu akan tinggal di rumah utama mulai besok. Aku akan kirim sopir."

Aira mengangguk, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Boleh aku pamit sekarang?"

Leonard memandangnya beberapa detik sebelum mengangguk. “Eva akan mengantar keluar.”

Saat Aira melangkah pergi, ia bisa merasakan mata Leonard mengikutinya. Bukan dengan kekaguman atau ketertarikan… tapi seperti menilai aset baru yang baru saja ia beli.

Di dalam lift, Alira memejamkan mata.

Mulai hari ini, hidupnya bukan lagi miliknya sendiri.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel