Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

HAPPY READING

***

Jantung Rubi maraton hebat ketika ia memandang seorang pria datang dari arah samping. Tatapan pria itu mengarah tajam kepadanya. Benar dugaanya bahwa pria itulah bernama Dario. Dia memiliki wajah yang sempurna. Rahangnya tegas, alisnya tebal, dan matanya tajam. Di tambah dengan postur tubuhnya yang tinggi. Dialah pria yang ia lihat di kamar tadi. Di mana wanita bernama Erin berambut coklat terang itu? Kenapa pria itu tidak membawanya sekalian di sini memperkenalkan kepada ayahnnya? Apa wanita itu ada di kamarnya?

Rubi mengalihkan pandangannya ke arah Peter. Pak Peter tersenyum kepadanya. Rubi menarik napas beberapa detik ia berusaha setenang mungkin dan memberanikan diri menatap pria itu. Pria itu menatapnya balik tanpa senyum. Dirinya sendiri tidak yakin dengan dirinya, jujur ada perasaan was-was bercampur cemas, ketika tatapan pria itu masih memperhatikannya. Jantungnya tidak berhenti berdegup kencang ketika pria itu kini berada di hadapannya.

“Siang pa,” sapa Dario sambil melirik wanita yang berada di hadapannya.

“Siang juga Dar,” ucap Peter menatap Dario yang baru datang.

Peter melirik Dario, ia tahu bahwa Dario belum mengenal Rubi sebelumnya, “Papa lupa ngenalin kamu, ini Rubi dokter pribadi kita yang baru.”

Dario mengangkat alisnya sebelah, lalu ia tersenyum kaku kepada gadis itu. Ternyata wanita itu adalah Rubi dokter pribadi milik keluarganya. Dario mengulurkan tangannya kepada wanita itu,

“Saya Dario Milan,” ucap Dario.

Rubi mencoba tenang, ia mau tidak mau membalas jabatan tangan Dario, ia merasakan hangat pria itu mengenggam tangannya, “Saya Rubi.”

“Senang berkenalan dengan anda dokter Rubi.”

“Sama-sama pak Dario.”

“Saya yakin umur kita tidak jauh berbeda,” ucap Dario, ia melepaskan jabatan tangannya sambil memperhatikan wanita itu, dia mengenakan midi dress berwarna putih, dengan rambut yang diikat ke belakang. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kulitnya putih bersih, dan wajahnya sangat manis. Walau dia tidak secantik Erin, namun ia bisa mengatakan kalau ia betah berlama-lama menatap wanita itu.

“Mungkin,” gumam Rubi.

“Semoga kamu bisa bekerja dengan baik di keluarga saya.”

“Semoga saja.”

“Apa kita bisa berteman?” Ucap Dario.

Rubi menarik napas, ia memperhatikan Dario, “Tidak, maksud saya kita tidak bisa berteman. Hubungan saya di sini hanya sebatas pekerjaan saja.”

Dario merasa speechlees mendengar jawaban Rubi, “Earlier, I saw you. I'm sure you saw me. Right?”

Rubi hanya terdiam, ia tahu pria itu mengatakan apa yang ia lihat sebelumnya,

“Tidak apa-apa kalau kamu tidak berteman dengan saya. Saya juga tidak akan berbasa-basi lagi dengan kamu. Saya akan menganggap kamu dokter yang bekerja di keluarga saya.”

“Baik pak, itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Saya akan bekerja sebaik mungkin.”

“Kamu hanya seorang dokter yang dipekerjakan di sini, tapi kamu arrogant ya. Saya tidak yakin kamu bertahan bekerja di rumah ini dengan sikap kamu seperti ini.”

“Saya tidak bersikap arrogant, hanya memberi barrier agar tidak terlalu dekat dengan anda.”

“I know. Noted. Padahal beberapa menit yang lalu kamu sudah merusak kesenangan saya,” dengus Dario.

Rubi menarik napas pendek, ia melihat pak Peter menatapnya, ia sebenarnya ingin meneruskan ucapannya namun ia tidak nyaman. Jujur ia tidak sudi berteman dengan pria yang ia lihat secara live beradegan tidak senon0h di dalam kamar. Jika di lihat dari tatapan pria itu, dia terlihat seperti pria playboy kelas kakap yang senang memangsa wanita. Ia sudah sering melihat pria seperti Dario, kebanyakan dari mereka cuma loser.

“Mari dokter Rubi, Dario, kita makan sama-sama,” Peter memecahkan ketegangan antara Dario dan Rubi.

“Baik pak,” Rubi tersenyum, andai tidak ada pak Peter di ruangan ini, tentu mereka akan berdebat panjang.

Rubi ia memilih duduk di samping Peter namun berhadapan dengan Dario. Rubi melihat ke arah meja, ia memperhatikan makanan yang tersaji. Semua makanan yang ada di sini adalah berkualitas dibawah pengawasan ahli gizi.

Rubi mengambil lauk pauk ia menghitung kalori yang ada di atas meja karena kandungan makanan kalori ini berbeda-beda. Ada nasi merah 100 gram memiliki kalori 110 kalori, dada ayam tanpa kulit sekitar 184 kalori, salmon panggang 171 kalori, tempe bacem 118 kalori, tumis kacang panjang 110 kalori, semua makanan di sini terlihat enak, namun tetap dengan hitungana kalori yang seimbang. Ia tahu bahwa konglomerat itu kebanyakan memang menyukai makanan sehat dengan gizi terbaik. Bagi mereka bahwa tubuh adalah investasi.

Rubi memakan makananya dengan tenang, sambil memandang pak Peter, “Apa bapak tadi malam ada sesak napas?” Tanya Rubi membuka topik pembicaraan.

“Semenjak dikasih obat sama dokter kemarin saya tidak sesak napas lagi dok.”

“Syukurlah kalau begitu pak. Intinya bapak jangan terlalu lelah.”

Beberapa waktu lalu katanya pak Peter mengalami serangan jantung secara tiba-tiba. Pak Peter sempat dilarikan ke rumah sakit karena nyeri dada dan perubahan napasnya menjadi lebih pendek. Ia juga bekerja sama dengan dokter spesialis jantung untuk menangani pak Peter.

Mungkin sebagian orang sangat tidak familiar dengan dokter pribadi atau concierge medicine. Dokter pribadi itu sendiri dipekerjakan menjalankan praktik bagi perseorangan keluarga tertentu. Biasa dokter-dokter seperti dirinya ini dipekerjakan untuk kalangan terbatas, miliuner, konglomerat, pejabat pemerintah, presiden, asal bisa membayar dengan harga yang tinggi dan ditangani dengan super eksklusif.

Rubi tahu kalau di Indonesia sendiri dokter pribadi belum banyak dilirik banyak oleh banyak orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang memperkerjakannya. Dokter pribadi di sini tentu saja ia harus mengenal kondisi medis seluruh keluarga di rumah ini termasuk Dario. Di sini ia meminimalisir resiko bahaya, ia tidak sembarangan memberi obat harus di bawah pengawasannya. Setiap saat ia harus siap standby on call oleh keluarga ini.

Sepanjang makan siang ini Dario menatap Rubi dan ayahnya ngobrol tentang seputar kesehatan. Ia tahu bahwa jantung itu organ vital makhluk hidup, menjaga kesehatan sama juga menjaga kehidupan. Ia memperhatikan wanita bernama Rubi dengan intens, cara dia berbicara terlihat sangat lugas dengan ayahnya. Dia bergerak secara natural, makan tidak berlebihan. Satu hal lagi, dia terlihat sangat cerdas dibanding Erin kekasihnya. Oleh sebab itu dia jauh lebih cantik daripada Erin.

“Pak Peter sekarang istirahat, kalau ada apa-apa langsung on call saya,” ucap Rubi.

“Baik dok,” ucap ayahnya.

Dario memperhatikan Rubi, wanita itu menatapnya dan ia menatap balik. Mereka saling menatap satu sama lain. Sekarang di sini hanya ada Rubi dan dirinya. Dario memasukan tangannya di saku blezernya.

“Kita perlu bicara berdua.”

“Atas pembicaraan yang mana? Hingga kita perlu berbicara berdua?” Tanya Rubi.

“Kesehatan saya mungkin,” ucap Dario.

Rubi tertawa dan ia mengangguk, lalu wajahnya berubah menjadi serius, “Saya pikir kamu dalam keadaan sehat dan bugar. Saya tidak akan banyak berbasa-basi dengan anda. Pekerjaan ini akan lebih mudah kalau kamu tidak berbicara dengan saya,” ucap Rubi.

Dario tertawa, lalu kembali menatap Rubi dengan intens, “Saya baru kali ini melihat dokter angkuh seperti anda. Apa karena tadi kamu memergoki saya di dalam kamar dengan kekasih saya, lalu kamu bertindak seolah-olah saya ini musuh kamu?”

Rubi menatap iris mata Dario, “Jadi kamu tahu itu saya?”

“Jelas saya tahu, kalau kamu satu-satunya orang yang menyelinap ke atas tanpa permisi.”

Rubi menghela napas, “Sorry, tadi saya kesasar di rumah semegah ini. Jadi saya harap kamu memaklumi saya. Saya juga tidak tahu kalau kamu ada di sana.”

“Lain kali sebelum melakukan itu dengan kekasih kamu. Kamu harusnya prepare setidaknya mengunci pintu. Karena kemungkinan siapapun itu akan melihat kamu di sana, bukan hanya saya,”timpal Rubi meneruskan langkahnya menghindari Dario.

Namun Dario mengikuti langkah Rubi, “Setelah kamu melihat itu. Lalu kenapa kamu terlihat marah sama saya.”

“Saya tidak marah dengan anda pak Dario,” ucap Rubi mulai jengah.

“Tapi saya merasa kalau kamu marah dengan saya. Dengan cara kamu berbicara, bersikap angkuh itu menunjukan kalau kamu tidak suka dengan saya. Padahal saya dan kamu baru kenal.”

Rubi menghentikan langkahnya, ia menatap Dario yang menatapnya intens seolah-olah sedang menelanj4nginya. Dario mundur tiga langkah ia melihat raut wajah Rubi yang tidak menyukainya.

“Berhentilah mengikuti saya,” timpal Rubi.

“Saya tetap mengikuti kamu, walau kamu ke kamar mandi sekalipun,” ucap Dario sakartis setelah menangkap raut wajah Rubi usai mendengar kata ‘kamar mandi’.

Rubi menghela napas, “Jadi mau kamu apa?”

“Kita bisa ngobrol baik-baik, silahkan duduk dulu. Kita perlu bicara.”

“Bicara apa?”

“Bicara tentang apa yang tadi kamu lihat di atas.”

“Saya sudah katakan kepada kamu, anggap saja saya tidak melihatnya. Tidak perlu di bahas lagi kan?”

Dario menarik napas, “Kita perlu membahasnya, karena demi meluruskan hubungan saya dan kamu ke depannya. Right?”

“Ingat, saya dan kamu tidak memiliki hubungan apa-apa. Tidak ada yang perlu di luruskan.”

Dario mendekati Rubi, ia menunduk sekilas melihat kedua ujung kakinya bersentuhan dengan kaki Rubi, kemudian wanita itu mendongakan wajahnya.

“Kamu ternyata pendek juga ya,” Dario melihat Rubi hanya sebatas sebahunya.

“Itu menurut saya,” Dario tertawa.

Wajah Dario lalu berubah menjadi serius menatap Rubi, ia dapat mencium aroma vanilla dari tubuh Rubi, “Okay, begini. Saya tidak suka ada seseorang yang tidak suka saya. Apalagi dia bekerja di rumah ini, tentu saya akan bertemu dengan kamu setiap hari. Itu yang ingin saya luruskan.”

“Satu hal lagi, berhentilah memandang saya seperti predator segsual.”

“Kalau saya predator segsual, tentu saya akan menarik kamu ke dalam kamar dengan paksa, lalu menelanj4ngi kamu.”

Rubi yang mendengar itu rahangnya terbuka, ia tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Dario. Oh Tuhan, ternyata dia berhadapan dengan sosok pria yang berbicara blak-blakan seperti Dario. Rubi berulang kali menghembuskan napas dalam. Debaran jantungnya sulit untuk berdeggup normal. Suara Dario seolah bergema di sepanjang ruangan berlantai marmer berwarna putih di ruangan ini.

“Jadi kamu mau apa,” desis Rubi, ia mencium aroma citrus dari tubuh Dario.

“Saya mau kamu rileks, duduk dan bicara berdua.”

“Di mana.”

“Di sana,” tunjuk Dario di salah satu sofa di dekat kolam.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel