Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Koridor Asing Sekolah Baru

"Apa," bisik Aron, suaranya serak dan berbahaya, "yang kamu lakukan di sini?"

Pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan. Itu adalah vonis. Tiga kata yang dilontarkan seperti belati, memaku Cheesa di tempatnya. Udara di loteng yang pengap terasa menipis, tersedot habis oleh kegelapan pekat di mata Aron. Kerapuhan yang baru saja ia saksikan jiwa yang telanjang dalam alunan musik telah sirna, digantikan oleh benteng es yang seratus kali lebih tebal dan lebih dingin dari sebelumnya.

"Aku… aku dengar suara piano," jawab Cheesa, suaranya sendiri terdengar seperti cicit tikus yang ketakutan.

"Aku nggak tahu ini ruangan siapa. Aku cuma…"

"Cuma apa?" potong Aron, bangkit dari bangku piano dengan gerakan lambat yang mengancam. Setiap inci gerakannya terkontrol, seperti predator yang tidak ingin mengejutkan mangsanya sebelum waktunya. "Cuma menguping? Mengendap-endap seperti pencuri?"

"Bukan! Aku nggak sengaja!" Cheesa mundur selangkah, punggungnya menabrak rak buku yang dingin dan keras. Jantungnya berdebar liar di rusuknya. "Aku cuma jalan-jalan lihat sekeliling rumah."

"Lihat sekeliling?" Aron tertawa, tetapi suara tawa itu tidak mengandung sedikit pun kebahagiaan. Itu adalah suara serpihan kaca yang digerus. Ia berjalan mendekat, memperpendek jarak di antara mereka hingga Cheesa bisa mencium aroma samar keringat dan cologne yang bercampur dengan aroma debu dan kayu tua.

"Ini bukan tempat wisata, Cheesa. Dan ini," ia menunjuk ke sekeliling ruangan dengan dagunya, "bukan bagian dari tur untukmu."

Matanya menatap Cheesa lekat-lekat, seolah mencoba menggali masuk ke dalam pikirannya, mencari tahu apa yang telah Cheesa lihat, apa yang telah Cheesa dengar.

"Apa yang kamu lihat di sini?"

"Nggak ada," sahut Cheesa cepat, terlalu cepat. "Aku cuma lihat… piano tua."

"Bohong," desis Aron. Ia kini berdiri begitu dekat hingga Cheesa harus mendongak untuk menatap matanya.

"Kamu lihat lebih dari itu."

Cheesa menelan ludah, tenggorokannya kering. Ia tidak tahu harus berkata apa. Mengakui bahwa ia melihat kerapuhannya hanya akan memancing amarah yang lebih besar.

"Dengerin aku baik-baik," kata Aron, nadanya turun menjadi bisikan yang mematikan.

"Kamu nggak pernah ke sini. Kamu nggak pernah lihat apa-apa. Kamu nggak pernah dengar apa-apa. Kalau sampai ada orang lain yang tahu soal ruangan ini, apalagi soal aku… aku bersumpah, aku akan buat sisa hidupmu di rumah ini jadi neraka yang bahkan nggak pernah kamu bayangkan."

Ancaman itu begitu nyata, begitu personal, hingga membuat bulu kuduk Cheesa meremang. Ini bukan lagi soal bingkai foto atau remote televisi. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Ia telah tanpa sengaja menginjak tanah suci milik iblis itu, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya.

"Aku… aku nggak akan bilang siapa-siapa," janji Cheesa, suaranya gemetar.

"Bagus." Aron menatapnya beberapa detik lebih lama, memastikan pesannya telah terpatri. Lalu, ia mundur selangkah, menciptakan kembali jarak di antara mereka. Topeng dinginnya kembali terpasang sempurna.

"Sekarang pergi."

Cheesa tidak perlu disuruh dua kali. Ia berbalik dan praktis berlari keluar dari loteng itu, menuruni tangga servis dengan langkah terburu-buru. Ia tidak berhenti sampai ia kembali ke koridor lantai dua yang terang benderang, napasnya terengah-engah seolah ia baru saja lolos dari kejaran binatang buas.

Sarapan pagi itu adalah medan perang yang sunyi. Cheesa duduk kaku di kursinya, berusaha keras untuk tidak menatap Aron yang duduk di seberangnya. Aron sendiri bersikap seolah insiden di loteng tidak pernah terjadi. Ia makan dalam diam, wajahnya tanpa ekspresi, kehadirannya seperti lubang hitam yang menyerap semua cahaya dan kehangatan di ruangan itu.

Ibunya, yang tidak menyadari apa pun, mencoba memulai sandiwara keluarga bahagia.

"Pagi ini cerah banget, ya! Kamu pasti semangat buat hari pertama sekolah, kan, Sayang?" tanyanya pada Cheesa sambil menuangkan jus jeruk.

"Iya, Ma," jawab Cheesa singkat, matanya terpaku pada pola di piringnya.

"Nanti Aron antar kamu, ya, Cheesa? Papa ada rapat pagi sekali," kata Tn. Hartono dari balik koran bisnisnya, tanpa mengalihkan pandangan.

Cheesa nyaris tersedak. "Nggak usah, Pa. Aku bisa naik taksi daring."

"Lho, kenapa begitu?" timpal ibunya, nadanya terdengar cemas. "Kan, searah. Lebih aman juga kalau bareng Aron. Kamu nggak keberatan, kan, Ron?"

Semua mata kini tertuju pada Aron. Ia meletakkan garpunya dengan pelan di atas piring, menimbulkan bunyi denting pelan yang terdengar seperti lonceng kematian. Ia mengangkat kepalanya, matanya yang kelam bertemu dengan mata ibunya sejenak sebelum melirik Cheesa dengan kilat permusuhan yang tak terselubung.

"Aku ada urusan sebelum kelas," katanya, suaranya datar dan final. "Nggak bisa."

Kebohongan itu begitu kentara, begitu tebal, hingga Cheesa hampir bisa menyentuhnya. Wajah ibunya langsung berubah pias.

"Oh… oh, begitu. Ya, ya sudah kalau kamu sibuk…"

"Biar Pak Udin yang antar," putus Tn. Hartono, akhirnya melipat korannya. Ia menatap putranya dengan sorot mata yang sedikit tajam, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Seolah ia tahu ada yang tidak beres, tetapi memilih untuk tidak ikut campur.

Cheesa merasa mual. Suasana di meja itu begitu menyesakkan. "Aku selesai," katanya sambil mendorong kursinya ke belakang. "Aku siap-siap dulu."

Ia bergegas ke kamarnya, mengenakan seragam baru yang terasa kaku dan asing di tubuhnya. Saat ia turun lagi dengan tas di punggungnya, Pak Udin, sopir keluarga yang ramah dengan kumis tebal, sudah menunggunya di depan pintu.

"Siap, Non Cheesa?" tanyanya sambil tersenyum.

"Siap, Pak."

Perjalanan menuju sekolah terasa sureal. Pak Udin mencoba mengajak ngobrol, mungkin atas instruksi Tn. Hartono untuk membuatnya merasa nyaman.

"Gimana, Non? Sudah mulai terbiasa di rumah baru?"

"Lumayan, Pak," jawab Cheesa sekenanya, matanya menatap gedung-gedung yang berlalu di luar jendela.

"Den Aron juga sekolah di sana, lho. Walaupun Den Aron itu orangnya pendiam, tapi dia sebenarnya baik, Non. Cuma nggak terlalu suka nunjukkin aja," celoteh Pak Udin lagi, berusaha mencairkan suasana.

Baik? Cheesa nyaris tertawa sinis. Kata 'baik' dan 'Aron' terasa seperti dua kutub magnet yang saling bertolak. Iblis yang mengancamnya di loteng tadi pagi sama sekali tidak memiliki unsur kebaikan.

"Dulu waktu almarhumah Ibu masih ada," lanjut Pak Udin, suaranya sedikit merendah, "Den Aron itu nggak seperti sekarang. Dia lebih… lebih ceria. Suka sekali main piano sama Ibunya."

Jantung Cheesa berdebar sedikit lebih kencang. Jadi, musik itu… musik yang penuh duka itu adalah kenangannya bersama sang ibu. Cheesa tiba-tiba merasa bersalah, seolah ia benar-benar telah menodai sebuah makam keramat. Tapi perasaan itu segera terhapus oleh ingatan akan tatapan mata Aron yang mengancam.

Sekolah baru itu persis seperti yang ia bayangkan: besar, megah, dan impersonal. Gerbangnya yang tinggi tampak seperti mulut monster yang siap menelannya bulat-bulat. Setelah Pak Udin menurunkannya, Cheesa menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk, memeluk tasnya erat-erat seperti perisai.

Koridor-koridornya ramai oleh siswa-siswi yang tertawa dan bercengkerama dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka semua tampak saling kenal, bergerak dengan keyakinan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang berada di wilayah kekuasaan mereka. Cheesa merasa seperti hantu, transparan dan tidak terlihat. Setiap tatapan yang sekilas tertuju padanya terasa seperti penilaian. Si anak baru. Si penyusup.

Setelah melalui proses administrasi yang canggung di ruang kepala sekolah, ia akhirnya memegang jadwal pelajaran di tangannya yang berkeringat dingin. Kelas pertamanya adalah Sastra, di ujung koridor lantai dua. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, berusaha untuk tidak menarik perhatian.

Saat itulah ia melihatnya.

Di tengah persimpangan koridor yang ramai, berdiri sekelompok siswa paling populer di sekolah itu, Cheesa bisa menebaknya dari cara mereka membawa diri. Dan di pusat kelompok itu, bersandar santai di dinding, adalah Aron.

Di sini, di bawah cahaya lampu neon sekolah yang terang, ia tampak seperti orang yang sama sekali berbeda. Tidak ada lagi aura kelam dan dingin yang membekap. Ia tertawa, sebuah tawa lepas yang terdengar tulus, merespons lelucon dari seorang teman laki-laki berbadan tegap di sebelahnya.

Seorang gadis cantik dengan rambut bergelombang bergelantungan manja di lengannya, menatapnya dengan tatapan memuja. Di sini, Aron adalah seorang pangeran, seorang raja yang berkuasa di kerajaannya.

Untuk sesaat yang singkat dan bodoh, secercah harapan muncul di hati Cheesa. Mungkin… mungkin di luar rumah, di tempat umum seperti ini, perang mereka akan berhenti sejenak. Mungkin ia akan berpura-pura bersikap normal. Sebuah anggukan kecil, sebuah sapaan singkat, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tidak merasa sendirian di neraka ini.

Seolah mendengar doanya, Aron mengangkat kepalanya. Pandangan mereka bertemu dari seberang kerumunan.

Waktu seolah berhenti. Tawa di wajah Aron memudar. Matanya yang hitam terpaku pada Cheesa. Cheesa menahan napas, menunggu. Inilah saatnya.

Aron mendorong tubuhnya dari dinding. Gadis di sebelahnya mengikutinya, tetapi Aron seolah tidak menyadarinya. Ia mulai berjalan, lurus ke arah Cheesa. Jantung Cheesa berdebar kencang. Apakah ia akan menyapanya?

Ia berjalan semakin dekat. Lima langkah. Tiga langkah. Satu langkah.

Aron berjalan melewatinya.

Ia bahkan tidak melirik. Matanya menatap lurus ke depan, melewati Cheesa seolah Cheesa hanyalah seonggok loker atau tiang yang tidak berarti. Bahunya nyaris tidak menyentuh bahu Cheesa. Ia terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun, kembali bergabung dengan teman-temannya di ujung koridor, meninggalkan Cheesa yang membeku di tempat.

Udara serasa terhisap dari paru-parunya. Itu lebih menyakitkan daripada bentakan. Lebih kejam daripada ancaman. Pengabaian total. Sebuah deklarasi publik yang disaksikan oleh puluhan pasang mata, menegaskan bahwa Cheesa tidak ada. Ia tidak berarti.

Pipi Cheesa terasa panas karena malu dan marah. Ia bisa merasakan beberapa siswa yang melihat interaksi non-interaksi itu kini berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Ia mengepalkan tangannya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Baiklah.

Ia mengerti sekarang. Tidak akan ada gencatan senjata. Perang ini tidak terbatas di dalam dinding rumah mewah itu. Perang ini akan mengikutinya ke mana pun ia pergi. Dan jika Aron ingin berperang, maka ia akan memberinya perang. Ia tidak akan hancur. Ia akan bertahan. Sendirian.

Dengan tekad baru yang dingin dan keras, Cheesa mengangkat dagunya dan berbalik untuk mencari kelasnya. Ia tidak akan membiarkan Aron melihatnya goyah. Tidak hari ini. Tidak akan pernah.

Ia baru saja melangkah beberapa meter ketika sebuah suara menghentikannya.

"Hei, tunggu."

Cheesa berbalik. Seorang gadis dengan rambut sebahu dan mata yang tajam sedang menatapnya. Ia tidak mengenalinya. Gadis itu berjalan mendekat, tatapannya penuh selidik.

"Lo Cheesa, kan?" tanyanya, suaranya pelan namun jelas.

Cheesa mengangguk waspada. "Iya. Kenapa?"

Gadis itu melirik sekilas ke arah Aron dan teman-temannya di ujung koridor, lalu kembali menatap Cheesa. Ia mendekat sedikit, seolah tidak ingin didengar orang lain.

"Gue Rara," katanya cepat. "Gue sekelas sama lo di Sastra. Gue cuma mau… ngasih peringatan."

"Peringatan?" dahi Cheesa berkerut.

Rara mengangguk, matanya serius. "Gue liat tadi. Cara Aron ngeliat lo, terus jalan ngelewatin lo gitu aja." Ia berhenti sejenak, menelan ludah. "Dengerin gue. Apa pun yang terjadi, jangan pernah deket-deket sama dia."

"Maksud lo?" tanya Cheesa, bingung sekaligus curiga.

Rara menggelengkan kepalanya, sorot matanya dipenuhi sesuatu yang tampak seperti… ketakutan. "Lo nggak ngerti. Dia bukan sekadar cowok populer yang sombong. Dia…"
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel