Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CATATAN MISTERIUS

… berbahaya.”

Kata itu menggantung di udara koridor yang ramai, lebih dingin dari hembusan pendingin ruangan di atas kepala mereka. Cheesa mengerjapkan matanya, mencoba mencerna.

“Berbahaya? Maksud lo… dia suka berantem atau gimana?”

Rara menggeleng cepat, matanya melesat ke kanan dan ke kiri, seolah takut ada yang mendengar percakapan mereka.

“Bukan. Ini lebih… rumit. Dia nggak akan mukul lo. Dia akan hancurin lo dari dalem, pelan-pelan, sampai lo bahkan nggak sadar lo udah jadi debu.”

Intensitas dalam suara Rara membuat bulu kuduk Cheesa berdiri. Ini bukan gosip murahan. Ini adalah kesaksian.

“Lo… lo kenal dia?”

“Cukup kenal buat tahu kalau lo harus lari,” desis Rara.

“Dulu ada cewek, anak baru juga kayak lo, namanya Sarah. Dia pikir dia bisa ‘mengubah’ Aron. Dia pikir di balik sikap dinginnya ada pangeran yang nunggu diselamatkan.” Rara tertawa kecil, tawa yang sama sekali tidak lucu. “Tebak akhirnya gimana?”

Cheesa hanya bisa menggeleng, mulutnya terasa kering.

“Aron mainin dia. Dia kasih harapan, dia tarik ulur, dia bikin Sarah ngerasa jadi satu-satunya cewek di dunia. Terus, pas Sarah udah bener-bener jatuh, udah ngasih segalanya… dia buang gitu aja. Di depan semua orang. Dia bilang ke Sarah, ‘Kamu cuma proyek iseng buat ngisi waktu luang.’ Sarah pindah sekolah dua minggu kemudian. Hancur.”

Perut Cheesa terasa mual. Cerita itu terdengar terlalu familier dengan permainannya sendiri—permainan dingin yang baru saja dimulai.

“Kenapa… kenapa lo ngasih tahu gue ini?” tanya Cheesa, suaranya nyaris berbisik.

Rara menatapnya lurus-lurus. “Karena gue liat tatapan mata lo pas dia ngelewatin lo tadi. Ada harapan di sana. Dan gue liat tatapan mata dia pas ngeliat lo. Itu bukan tatapan benci biasa. Itu tatapan predator yang udah nemuin mainan barunya.” Ia menyentuh lengan Cheesa sekilas.

“Gue cuma nggak mau liat ada korban lagi. Pokoknya, hati-hati. Jangan percaya apa pun yang dia katakan atau lakukan. Anggap aja dia nggak ada.”

Bel berbunyi nyaring, memecah gelembung tegang di antara mereka. Rara langsung menarik diri.

“Gue harus ke kelas. Lo juga, kan? Sastra, Ruang 204.” Tanpa menunggu jawaban, Rara berbalik dan melebur ke dalam kerumunan siswa.

Cheesa ditinggalkan sendirian lagi, tetapi kali ini dengan beban yang jauh lebih berat. Peringatan Rara bergema di kepalanya, tumpang tindih dengan melodi menyayat hati yang ia dengar pagi tadi. Iblis yang memainkan musik malaikat. Predator yang mencari mainan baru. Siapa Aron Hartono sebenarnya?

Sisa hari itu terasa seperti film bisu. Cheesa duduk di kelas, mendengar guru menjelaskan perbedaan antara metafora dan simile, tetapi otaknya tidak bisa memproses apa pun. Pikirannya terus kembali ke koridor, ke wajah Rara yang serius, ke cerita tentang Sarah, dan yang paling utama, ke sensasi dingin yang menjalari tulang punggungnya saat Aron berjalan melewatinya seolah ia tidak kasatmata.

Saat makan siang, ia memilih meja paling sudut di kantin, berharap bisa menghilang di tengah lautan seragam. Namun, tentu saja, harapannya sia-sia. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Aron dan gerombolannya mengambil alih meja di tengah. Tawa mereka terdengar di seluruh ruangan. Aron tampak begitu hidup, begitu berkarisma, menceritakan sesuatu yang membuat semua temannya terbahak. Gadis cantik yang tadi pagi bergelayut di lengannya kini menyuapinya sepotong kentang goreng dengan manja.

Cheesa cepat-cepat menunduk, menatap nampan makanannya yang berisi nasi dan ayam goreng yang tiba-tiba terasa seperti kardus. Peringatan Rara terasa seperti bisikan hantu di telinganya. "Dia akan hancurin lo dari dalem".

“Hei, sendirian aja?”

Cheesa mengangkat kepala karena kaget. Rara berdiri di depannya, membawa nampan.

“Boleh gabung?” tanya Rara.

Cheesa mengangguk cepat, terlalu lega untuk bisa berkata-kata. “Boleh, tentu aja.”

Rara duduk di seberangnya. “Gimana hari pertama? Udah pusing?”

“Banget,” aku Cheesa. “Rasanya kayak dilempar ke planet lain.”

“Normal, kok. Nanti juga terbiasa,” kata Rara sambil menusuk sayurannya.

“Yang penting, lo udah tahu mana area terlarang yang nggak boleh diinjek.”

Cheesa tahu persis siapa yang Rara maksud. “Makasih buat yang tadi pagi, Ra. Gue… gue hargain banget.”

“Santai aja,” balas Rara. “Anggap aja program perlindungan saksi,” candanya, yang berhasil membuat Cheesa tersenyum kecil untuk pertama kalinya hari itu. “Jadi, lo beneran tinggal sama dia?”

Cheesa mengangguk. “Nyokap gue nikah sama bokapnya.”

Mata Rara melebar. “Serius? Astaga. Itu… pasti canggung banget.”

“Canggung itu kata yang terlalu sopan,” gumam Cheesa.

Mereka makan dalam diam sejenak, sebelum Rara bertanya lagi, suaranya lebih pelan. “Dia… di rumah gimana?”

Cheesa ragu-ragu. Ancaman Aron di loteng masih terasa begitu nyata. *Aku akan buat sisa hidupmu di rumah ini jadi neraka.* Tapi menatap wajah Rara yang tulus, Cheesa merasa butuh setidaknya satu orang sekutu di dunia barunya ini.

“Dingin,” jawab Cheesa akhirnya. “Kayak patung es yang bisa ngomong. Itu pun kalau dia lagi mau ngomong.”

“Gue nggak kaget,” kata Rara. “Dia emang gitu. Cuma sama temen-temen deketnya aja dia bisa kayak yang lo liat di sana.” Rara melirik ke arah meja Aron dengan dagunya. “Topeng pangeran sekolahnya.”

“Topeng, ya?” ulang Cheesa. Ia teringat wajah Aron saat bermain piano, wajah tanpa topeng yang penuh luka.

“Iya. Nggak ada yang tahu aslinya dia gimana. Dia itu kayak kotak hitam. Semua orang penasaran isinya apa, tapi nggak ada yang berani buka karena takut isinya bom.”

Percakapan itu membuat Cheesa sedikit lebih ringan. Setidaknya, ia tidak gila. Perasaannya tentang Aron ternyata beralasan. Ia tidak sendirian dalam melihat kegelapan di balik pesona pemuda itu.

Perjalanan pulang terasa panjang. Pak Udin, seperti biasa, mencoba mengajaknya mengobrol, tetapi Cheesa hanya menjawab sekenanya. Pikirannya terlalu penuh. Ketika mobil memasuki gerbang raksasa rumah Hartono, perasaan sesak itu kembali. Sangkar emasnya.

Ia turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah yang sunyi. Ibunya menyambutnya di ruang tengah dengan senyum lebar.

“Gimana sekolahnya, Sayang? Seru? Udah dapet temen baru?”

“Lumayan, Ma,” jawab Cheesa, memaksakan seulas senyum. Ia melihat ibunya sedang melipat beberapa pakaian bersih di atas sofa. “Mama lagi apa?”

“Oh, ini. Tadi Bibi salah masukin beberapa baju ke keranjang cucian kamu. Ada sweter Aron nyasar,” kata ibunya sambil mengangkat sebuah sweter rajut berwarna abu-abu gelap. Sweter yang sama dengan yang Aron kenakan di loteng kemarin pagi.

Jantung Cheesa berdetak sedikit lebih kencang.

“Nanti tolong kasihin ke Aron, ya, pas kamu ke atas? Kamarnya di ujung koridor,” pinta ibunya dengan santai.

“Kenapa nggak Mama aja?” sahut Cheesa cepat. Memasuki sarang singa adalah hal terakhir yang ia inginkan.

“Mama lagi mau siapin makan malam. Udah, nggak apa-apa, sebentar doang, kok. Biar kalian juga makin akrab.” Ibunya menyerahkan sweter itu ke tangan Cheesa. Kainnya terasa lembut dan hangat.

Cheesa menghela napas. Tidak ada gunanya berdebat. Dengan langkah berat, ia menaiki tangga menuju lantai dua. Koridor terasa panjang dan sunyi. Ia berjalan melewati kamarnya, lalu terus menuju ujung, ke pintu kamar Aron yang tertutup rapat.

Ia mengangkat tangan untuk mengetuk, tetapi ragu-ragu. Apa yang harus ia katakan? ‘Hei, iblis, ini sweter lo ketinggalan.’

Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian, dan mengetuk pelan.

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi, sedikit lebih keras. “Ron? Aron?”

Hening. Mungkin dia belum pulang, atau sedang di loteng lagi. Syukurlah. Cheesa tidak ingin berhadapan dengannya. Ia memutar kenop pintu, berniat hanya akan meletakkan sweter itu di atas tempat tidurnya dan segera pergi.

Pintu tidak terkunci. Ia membukanya sedikit, cukup untuk menyelinapkan tubuhnya masuk.

Kamar Aron adalah antitesis dari kamarnya. Jika kamar Cheesa didekorasi ibunya dengan warna-warna cerah dan pernak-pernik feminin, kamar Aron terasa monokromatik dan minimalis. Dinding abu-abu, perabotan kayu gelap, sprei hitam. Semuanya rapi, bersih, dan tanpa sentuhan personal. Tidak ada poster, tidak ada foto. Seperti kamar hotel bintang lima yang steril.

Cheesa berjalan cepat ke arah tempat tidur. Ia meletakkan sweter itu di atasnya. Saat ia hendak berbalik, matanya menangkap sesuatu di lantai, di dekat meja belajar.

Sebuah kertas kecil yang terlipat dan sedikit kumal.

Seharusnya ia mengabaikannya. Seharusnya ia segera keluar dari kamar itu. Itu bukan urusannya. Namun, peringatan Rara dan penemuannya di loteng telah menyalakan api rasa penasaran yang berbahaya di dalam dirinya.

Ia berjongkok dan memungut kertas itu. Itu adalah sobekan dari buku catatan musik, terlihat dari garis-garis paranada di atasnya. Tangannya sedikit gemetar saat ia membukanya.

Seperti dugaannya, ada barisan not musik yang ditulis dengan cepat dan tergesa-gesa. Beberapa not bahkan dicoret dengan kasar, seolah ditulis dalam luapan emosi. Namun, bukan itu yang membuat napas Cheesa tercekat.

Di antara barisan not itu, terselip beberapa baris tulisan tangan. Coretan yang sama marahnya dengan not-not musik di sekitarnya.

Langit abu-abu di matamu,

Menjanjikan badai yang tak pernah usai.

Melodi sunyi ini, jeruji tak terlihatku.

Setiap tuts yang kutekan, adalah namamu yang kusebut dalam dosa.

Cheesa membacanya sekali lagi. Dan sekali lagi. Jantungnya berdebar begitu kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Ini bukan sekadar puisi. Ini adalah pengakuan. Ini adalah jeritan jiwa yang sama dengan yang ia dengar dari alunan piano di loteng. Kerapuhan, kemarahan, dan kesedihan yang sama.

"Setiap tuts yang kutekan, adalah namamu yang kusebut dalam dosa."

Dosa? Nama siapa? Sarah? Gadis yang ia hancurkan? Atau…

Pikiran itu begitu mengerikan hingga Cheesa tidak berani menyelesaikannya. Ia memegang secarik kertas itu seolah memegang jantung Aron yang berdetak di tangannya. Ini adalah rahasianya. Bagian paling dalam dari dirinya yang ia sembunyikan di balik benteng es dan topeng pangeran. Dan sekarang, Cheesa telah menemukannya. Ia merasa seperti seorang pencuri, seorang penyusup yang telah menodai tempat paling sakral.

Ia harus mengembalikannya. Ia harus menyingkirkan bukti ini sebelum ketahuan.

Dengan panik, ia melipat kembali kertas itu dan hendak memasukkannya ke dalam saku, berniat membuangnya nanti.

"BRAK!"

Pintu kamar di belakangnya terbanting terbuka dengan keras, menabrak dinding.

Cheesa membeku, tubuhnya kaku karena teror. Ia berbalik dengan gerakan patah-patah, kertas itu masih tergenggam erat di tangannya yang berkeringat.

Aron berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit terengah seolah ia baru saja berlari menaiki tangga. Matanya yang hitam berkilat karena amarah, tetapi kemudian, tatapannya jatuh. Turun dari wajah Cheesa yang pucat pasi, ke tangannya yang terkepal.

Ke secarik kertas yang ia genggam.

Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Waktu seolah berhenti. Topeng pangeran sekolah telah lenyap. Iblis yang mengancamnya di loteng pun sirna. Yang berdiri di hadapannya kini adalah sesuatu yang jauh lebih menakutkan. Seseorang yang seluruh rahasianya baru saja dijarah.

Matanya kembali menatap Cheesa, dan di dalam kegelapan itu, Cheesa melihat kepanikan yang liar dan telanjang.

“Apa,” suara Aron keluar seperti geraman rendah yang nyaris tak terdengar, serak oleh emosi yang tertahan, “yang ada di tanganmu itu?”
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel