
Ringkasan
Cheesa pikir kehilangan ayah adalah duka terbesarnya. Namun, tinggal di bawah atap yang sama dengan Aron, saudara tirinya yang penuh kebencian, adalah neraka baru. Tatapan dinginnya adalah peringatan, setiap tindakannya adalah deklarasi perang. Tapi di balik permusuhan itu, ada rahasia yang menarik Cheesa ke dalam pusaran gairah terlarang. Di rumah yang seharusnya menjadi sangkar emas, mereka melanggar satu-satunya peraturan yang tak boleh dilanggar. Akankah cinta terlarang ini menjadi penyelamat, atau justru kehancuran mereka?
Aroma Karangan Bunga yang Mencekam
"Gimana, Sayang? Suka kamarnya?" Suara Ibu terdengar terlalu riang, seolah not-not lagunya dipaksa naik satu oktaf lebih tinggi dari yang seharusnya.
Gema aneh itu memantul di dinding tinggi berlapis kain sutra berwarna krem, lalu mati di atas hamparan karpet tebal yang menelan suara langkah kaki.
Cheesa tidak menjawab. Ia hanya membiarkan jemarinya menyusuri permukaan meja rias dari kayu mahoni yang dipernis hingga berkilat seperti cermin gelap. Pantulan wajahnya di sana tampak asing, pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata yang tak bisa disembunyikan oleh kemewahan di sekelilingnya.
Baju hitam yang baru beberapa jam lalu ia kenakan untuk terakhir kalinya mencium tanah kuburan ayahnya kini teronggok di kursi beludru. Gantinya, ia mengenakan kaus oblong kelabu pudar, satu-satunya benda dari kamar lamanya yang terasa nyata.
"Cheesa? Mama tanya, lho."
Ibu-nya mendekat, tangannya yang terawat sempurna dengan cat kuku berwarna nude mendarat hati-hati di bahunya. Sentuhan itu terasa membakar.
"Bagus," jawab Cheesa pendek, suaranya serak. Ia menarik bahunya sedikit, cukup untuk membuat tangan itu terlepas. "Besar."
"Tentu saja besar, Sayang. Ini rumah baru kita sekarang."
Ibu tersenyum lagi, senyum yang sama yang ia pasang saat mengumumkan pernikahannya dua bulan setelah nisan Ayah tegak berdiri. Senyum yang membuat perut Cheesa melilit.
"Nanti kamu akan terbiasa. Pak Hartono maksud Mama, Papa Hartono baik sekali, 'kan? Dia yang mendesain khusus kamar ini buat kamu."
"Aku nggak minta," desis Cheesa, lebih pada dirinya sendiri.
"Apa, Sayang?"
"Nggak apa-apa, Ma." Cheesa berbalik, memaksa matanya menatap interior kamar itu.
Ranjang ukuran king size dengan seprai yang tampak lebih lembut dari awan, lemari pakaian setinggi langit-langit, balkon pribadi yang menghadap taman belakang yang luasnya mungkin setara dengan dua kali luas rumah mereka yang dulu. Semua ini terasa seperti sogokan. Uang tebusan untuk nyawa ayahnya, untuk kenangan mereka yang kini terkubur bersama peti matinya.
"Sebentar lagi Papa Hartono dan Aron pulang. Kamu siap-siap, ya? Kita makan malam bersama. Aron itu seumuran sama kamu, lho. Pasti nanti kalian bisa cepat akrab."
Nama itu lagi. Aron. Putra tunggal dari pria yang kini dipanggil 'Papa' oleh ibunya. Cheesa belum pernah bertemu dengannya, hanya melihat sekilas fotonya di meja ruang keluarga. Seorang pemuda dengan rahang tegas dan tatapan mata yang seolah menantang lensa kamera.
"Aku capek, Ma. Mau istirahat."
"Sebentar saja, Sayang. Cuma kenalan, habis itu kamu boleh langsung ke kamar," bujuk ibunya, nadanya memelas.
"Tolong, ya? Demi Mama."
Demi Mama. Frasa itu selalu berhasil menjadi belati. Cheesa menghela napas panjang, aroma anyelir dari karangan bunga duka yang seolah masih menempel di lubang hidungnya kini bercampur dengan wangi pengharum ruangan mewah beraroma vanila. Kombinasi yang memuakkan.
"Oke."
Jawaban singkat itu sudah cukup membuat ibunya berseri-seri. Ia mengecup pipi Cheesa sekilas sebelum bergegas keluar.
"Mama ke bawah dulu, ya! Nanti Mama panggil kalau mereka sudah datang."
Pintu ditutup dengan pelan, meninggalkan Cheesa dalam keheningan yang megah dan menindas. Ia berjalan ke jendela, menatap ke bawah pada kolam renang biru berkilauan yang diterangi lampu-lampu temaram. Rumah ini bukan rumahnya. Ini adalah istana berkabung, sebuah monumen pengkhianatan yang dibangun di atas kesedihannya.
Tak lama kemudian, suara mobil memasuki halaman depan terdengar, disusul suara pintu yang terbuka dan tertutup. Cheesa bisa mendengar gumaman suara berat seorang pria, lalu langkah-langkah kaki di lantai marmer di bawah. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, bukan karena antisipasi, melainkan karena firasat buruk.
"Cheesa! Turun, Sayang!"
Dengan enggan, ia meraih satu-satunya tas ransel yang ia bawa sendiri ke kamar. Isinya bukan pakaian, melainkan sisa-sisa hidupnya yang lama: beberapa buku usang, album foto kecil, dan sebuah bingkai perak berisi foto terakhirnya bersama Ayah. Ia memeluk tas itu erat-erat di dadanya seperti perisai saat menuruni tangga spiral yang megah.
Di bawah, ibunya berdiri di samping seorang pria tinggi besar dengan setelan jas mahal yang sudah dilonggarkan dasinya. Wajahnya ramah, dengan kerutan-kerutan halus di sudut matanya yang menunjukkan ia sering tersenyum. Tn. Hartono.
"Nah, ini dia putri saya, Mas. Cheesa," kata Ibu dengan bangga yang dibuat-buat.
Pria itu tersenyum lebar. "Selamat datang di rumah ini, Cheesa. Panggil saja Papa, ya? Atau Om juga tidak apa-apa kalau kamu belum terbiasa."
"Malam, Om," balas Cheesa, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tidak mengulurkan tangan, hanya mengangguk kecil. Perisai di dadanya terasa semakin kokoh.
"Jangan sungkan, anggap saja ini rumahmu sendiri. Semua yang ada di sini juga milikmu sekarang," lanjut Tn. Hartono, gestur tangannya merengkuh seisi ruangan.
"Terima kasih." Lagi-lagi jawaban satu kata. Ibunya memberinya tatapan memohon, tapi Cheesa mengabaikannya.
"Aron mana, Pa?" tanya Ibu, mencari-cari.
"Tadi langsung ke kamarnya, katanya mau ganti baju. Biar Papa panggil." Tn. Hartono berbalik ke arah tangga.
"Aron! Turun sebentar! Kenalan dulu!"
Hening sejenak. Lalu, terdengar langkah kaki menuruni tangga. Bukan langkah tergesa, melainkan langkah yang terukur dan berat. Saat sosok itu muncul dari kelokan tangga, Cheesa merasa udara di sekitarnya menipis.
Dia lebih tinggi dari yang terlihat di foto. Bahunya lebar, dibalut kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan lengan bawah yang kokoh. Rambutnya hitam legam, sedikit acak-acakan seolah baru saja diacak oleh angin atau jemarinya sendiri. Tapi yang paling menusuk adalah matanya. Hitam, tajam, dan sama sekali kosong dari emosi apa pun saat menatap Cheesa. Tatapan itu seperti menelanjanginya, menilai, lalu membuangnya dalam sepersekian detik.
"Aron, ini Tante Rina dan putrinya, Cheesa. Mereka akan tinggal bersama kita mulai sekarang," kata Tn. Hartono dengan nada ceria yang terdengar sumbang di tengah atmosfer yang tiba-tiba menjadi dingin.
Aron tidak menyapa ibunya. Matanya tetap terpaku pada Cheesa. Ia hanya mengangguk sekali, sangat singkat, sebuah gerakan yang lebih terasa seperti penolakan daripada sambutan.
"Aron," ucapnya, suaranya dalam dan serak. Hanya satu kata. Namanya sendiri. Bukan "halo" atau "senang bertemu denganmu."
"Cheesa," balas Cheesa, membalas tatapan dingin itu dengan kekerasan hati yang sama. Ia bisa merasakan permusuhan yang tak terucap menguar dari pemuda itu, setajam aroma ozon sebelum badai.
"Nah, bagus, 'kan, sudah kenalan," kata Ibu, mencoba mencairkan suasana beku itu dengan tawa gugup.
"Ayo, kita ke meja makan. Bibi sudah siapkan semuanya."
Mereka mulai bergerak menuju ruang makan. Cheesa berjalan sedikit di belakang, masih memeluk tasnya. Lorong yang mereka lewati terasa menyempit. Aron berjalan di depannya, langkahnya sama sekali tidak melambat untuk memberi jalan. Saat Cheesa mencoba melewatinya di ambang pintu ruang makan, bahunya menyenggol lengan Aron.
"Permisi," gumam Cheesa pelan.
Aron berhenti. Ia tidak menoleh, tapi Cheesa bisa merasakan seluruh tubuhnya menegang. Perlahan, ia memutar kepalanya, matanya yang kelam menyorot turun, pertama ke wajah Cheesa, lalu ke tas ransel yang Cheesa dekap.
Lalu semuanya terjadi begitu cepat.
Tangannya bergerak sedikit, hanya sentakan kecil yang nyaris tak terlihat, menyenggol bagian bawah tas Cheesa. Senggolan itu terasa disengaja, sebuah dorongan kecil yang presisi dan penuh tujuan. Genggaman Cheesa yang sudah lelah seketika terlepas.
"BRAK!"
Tas itu jatuh ke lantai marmer yang dingin dengan bunyi yang memekakkan telinga. Ritsletingnya yang tidak tertutup rapat membuat sebagian isinya tumpah keluar. Sebuah buku bersampul kulit, beberapa lembar foto, dan bingkai perak kecil itu. Bingkai itu mendarat dengan posisi telungkup, kacanya pecah berderak, meninggalkan suara retakan yang menyayat hati.
"Ya Tuhan, Cheesa!" seru Ibunya, terkejut.
Tn. Hartono menoleh. "Aron, apa yang kamu lakukan?"
Tapi Aron tidak bergerak. Ia tidak menunduk untuk membantu. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun permintaan maaf. Ia hanya berdiri di sana, menatap lurus ke mata Cheesa yang terbelalak. Di dalam tatapannya yang sedingin es itu, Cheesa melihat sesuatu yang membuatnya merinding. Bukan kekosongan. Bukan pula kemarahan. Melainkan secercah kepuasan yang bengis dan tersembunyi. Seolah ia baru saja memenangkan sebuah pertarungan yang bahkan belum Cheesa sadari telah dimulai.
Tanpa sepatah kata, tanpa ekspresi apa pun di wajahnya yang tampan namun kejam itu, ia berbalik dan melangkah masuk ke ruang makan, meninggalkan Cheesa yang membeku di tempat. Lututnya lemas, napasnya tercekat di tenggorokan. Di bawah sana, di antara serpihan kaca yang berkilauan seperti air mata beku, foto Ayahnya yang tersenyum menatap langit-langit, seolah ikut menyaksikan deklarasi perang tanpa suara itu.