Chapter 9
"Jadi Nak apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Burhan.
"Kamini kemarin sudah minta ijin sama Bunda mau kerja Ayah," jawabnya.
"Kerja apa itu?"
"Kamini dapat ruko, begitu rencananya mau jualan."
Dirandra berdeham, "Kamu pikir aku nggak sanggup membiayai kamu, sehingga kamu mau kerja begitu?" Tatapannya tajam, terlihat sekali jika ia tersinggung dengan pernyataan Kamini.
Kamini menelan salivanya sebelum menjawab Dirandra. "Teh Yolanda juga bekerja masa Ami nggak boleh?"
Nggak ada salahnya aku kerja. Untung saja Mertua tanya jadi benar-benar waktu yang pas minta ijin. Kamini tersenyum tipis.
Kamini sengaja menjawab demikian karena ia tahu anggota keluarga Ekadanta tidak tahu menahu soal kesepakatan yang telah ia buat bersama sepasang suami istri ini.
Sial! Ternyata dia nggak sepolos kelihatannya. Bagaimana caranya aku bisa siksa dia di sini? Yolanda geram karena Kamini mendapatkan dukungan dari mertua.
Dirandra tersenyum licik sembari membuka dokumen di map biru yang sudah berisi tanda tangan Kamini. Dengan liciknya ia menambahkan beberapa hal di dalamnya yang tidak diketahui oleh Kamini maupun Yolanda. Bagaimanapun apa yang sudah ia miliki tak akan dengan mudah pergi darinya kecuali ia yang menginginkannya.
Kamini sudah mengganti pakaiannya dengan celana denim pendek dan kaos polos yang ketat membungkus tubuh kurusnya tak lupa jaket berbahan jeans juga sudah ia siapkan.
Kamini mencari lembaran kertas note berisi bahan makanan yang akan ia belanjakan hari ini. Ia tak perlu meminta uang kepada suaminya karena ia sendiri sudah memiliki tabungan yang cukup dari membantu Almira dan usaha katering online-nya bersama dengan teman-temannya.
Dira masuk dengan membawa beberapa keranjang bahan makanan. Kamini melongo melihat isi keranjang sesuai dengan isi di notenya.
"Kok, banyak banget?" tanya Kamini.
Dira yang terheran menatap Kamini.
"Lho bukannya Mbak tadi ninggalin catatan buat dibelanjakan?"
"Eh, kamu yang ambil kertas di sini?"
Dira mengangguk lugu. Kamini menepuk dahinya sendiri.
Aduh payah!
"Itu mah bukan buat belanjaan di sini, itu buat dagangan."
Dira melotot tak percaya kepada Kamini.
"Buat dagangan?"
"Iya aku teh jualan masakan Sunda gitu. Itu buat di ruko aku bukan di rumah atuh."
"Ya udah kalau gitu kita bawa ke ruko aja," usul Dira.
"Eh ... tunggu kamu belanja di mana tadi?"
"Bukan Dira yang belanja. Tadi Atun yang belanja."
"Sekarang Dira sana Atun disuruh sama Nyonya Tania jadi asisten Mbak Ami."
"Wih ... asisten kayak Ami orang kaya aja."
"Ami nggak ada duit buat bayar asisten. Harus hemat ini."
Sebenarnya ia lumayan banyak memiliki uang dari fee membantu Jyoti Abundio mencari tanah untuk villa mereka. Sayang, bibi dan ayahnya sudah tak sabar ingin menikahkan Kamini dan mendapatkan uang dari kompensasi menikahkannya.
Andai benar-benar bersabar sedikit lagi, bulan dengan Valentina Berto akan memberikannya uang sebesar tiga ratus juta juga untuknya. Sungguh itu cukup untuk membiayai ayahnya. Walaupun dengan begitu dia akan bersabar untuk mewujudkan impiannya memiliki restoran sendiri.
"Tenang saja, Nyonya Tania yang bayar kami."
Atun muncul dari dalam kamar dengan membawa peralatan kebersihan.
"Atun tolong beresin dapur ya dan ini tolong masukkan dalam kulkas." Kamini membongkar isi keranjang dan mengambil beberapa bahan masakan untuk stock dirinya di sini.
"Siap Mbak."
"Ami sama Dira mau ke ruko dulu ya. Teman-teman udah pada nungguin."
Atun mengangguk saja saat Kamini berpamitan dengannya.
Kamini melihat seorang pria paruh baya berjalan menuju paviliun. Kamini menyambut pria itu dengan gembira.
"Lho, Pak Kardi kok di sini?" Kamini senang ternyata salah satu orang tua teman sekolahnya dulu bekerja di sini.
"Eh ..., Neng Ami." Kardi terperanjat ia tak menyangka yang menjadi istri muda tuannya ternyata sahabat sekolah Irwan anaknya.
"Hush ..., Pak Kardi. Mbak Ami gitu. Bos kita ini," tegur Dira dengan mencubit lengan Kardi.
"Eh iya. Mbak Ami." Kardi sungguh senang bahwa ia sendiri yang akan mengawal istri cilik sang tuan.
"Aduh Pak, panggil Ami aja kalau sendiri mah. Ibu gimana Pak sehat, Irwan sehat Pak?"
"Alhamdullilah semua sehat Neng. Ibu di sini juga jadi juru masak, kami tinggal di belakang. Sedangkan Irwan kuliah di UNPAD kampusnya dekat kok dari sini lumayan dapat beasiswa."
"Wah asik udah kangen lama nggak ketemu biang onar," ujar Kamini sumringah.
Kardi dan Dira ikutan tersenyum melihat senyum bahagia majikannya.
***
Suara tawa renyah Kamini, Kardi dan Dira terdengar dari pintu samping rumah yang menghubungkan taman bunga milik Tania dengan paviliun yang di tempati oleh Kamini.
Dirandra dan Burhan yang sejatinya akan berangkat kerja menoleh ke asal suara. Begitu juga dengan Yolanda dan Tania.
"Mau ke mana anak itu pagi-pagi begini?" ujar Yolanda, kemudian matanya terbelalak dengan pakaian yang dikenakan oleh Kamini.
Ke mana perginya rupa dekil gadis pemetik teh, kenapa tampilannya modis begini sih?
Raut wajah Yolanda sama sekali tidak suka. Ia melirik Dirandra yang tampak tak berkedip menatap Kamini. Sejurus kemudian ia melihat tatapan wajah suaminya tampak gelap memendam amarah. Yolanda tersenyum licik.
Bagus sebentar lagi kamu akan kena damprat!
"Kau mau ke mana dengan pakaian seperti itu?" Tanya Dirandra dengan tatapan tajam dan rahang yang mengeras.
"Mau kerja," jawab Kamini polos. Ia berusaha tampak biasa saja di depan mereka. Padahal dalam dadanya jantungnya sudah berdetak sangat kencang. Tetapi ia tidak mau menunjukkan ketakutannya di depan Yolanda, entah mengapa ia merasa wanita itu memiliki niat tidak baik dengannya. Terlepas dengan menginginkan anak dari rahimnya. Licik sekali bukan.
Kamini merasa tidak suka dengan tatapan sang suami. Keposesifannya akan membuatnya susah bergerak. Ia berjanji akan mengembalikan semua uang yang diberikan untuk pengobatan sang ayah.
"Dengan berpakaian seperti ABG begitu?"
"Lho, Ami teh emang masih muda kok. Toh juga Ami mau ke empang masa iya pake rok mini," ucap Kamini seraya menatap Yolanda yang berpakaian sangat ketat dan mini, tetapi tampaknya sang suami tidak keberatan.
Tania merasa tertarik. "Mau ke empang? emangnya Kamini juragan ikan?" tanya Tania sembari terkikik.
Kamini sekarang sudah berdiri bersama dengan mereka. Dira dan pak Kardi sedang sibuk memasukan belanjaan yang sudah siap tadi.
Kamini menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,"Ada sih lumayan punya 20 kolam ikan untuk budidaya patin dan lele." Kamini tak bermaksud sombong tetapi dari warisan dan amanah bundanya ia mempunyai tanah seluas dua hektar yang ia gunakan untuk budidaya ikan dan tanaman sayuran dan rempah organik. Serta dapur untuk usaha online-nya.
"Lalu apa yang kamu lakukan di Cianjur? Malah jadi pembantu di keluarga Alsaki?" tanya Burhan tak habis pikir dengan menantu mudanya ini.
"Ayah dan Bunda Alsaki sungguh baik sama Ami makanya kalau Ami balik suka atuh bantu di sana. Bunda sama Dedek suka kasih Ami baju bagus seperti ini, dari luar negeri lho ini," ujar Kamini sembari memutar tubuhnya dan merentangkan tangannya menunjukkan bajunya yang menurut dirinya adalah pakaian terbagusnya.
Yolanda mendengkus. "Dasar manusia udik. Baju begitu, aku beli ratusan juga bisa."
Kamini menghentikan gerakannya. "Buat apa Ami beli baju ratusan dengan model yang sama boros namanya," jawabnya telak.
"Sudah-sudah kamu boleh pergi tapi sebelum pukul lima sore kamu sudah harus di rumah. Masakan makan malam untukku." Dirandra memotong percakapan kedua istrinya jika diteruskan Yolanda tak akan berhenti sebelum ia merasa lawannya terpojok.
