Chapter 10
"Bunda ikut ya Nak, Bunda mau lihat usaha Kamini. Boleh?"
"Boleh Bunda, biar nggak ada yang curiga dengan Ami," ujar Kamini sembari melirik wajah suaminya.
Usaha yang didirikan Kamini baru berdiri selama tiga tahun terakhir. Ia memang tidak menempuh perguruan tinggi tetapi ada Jyoti Abundio yang mengajarkan banyak hal padanya, sehingga ia bisa menjadi pribadi yang mandiri. Ia tidak mau keluarga ayahnya curiga ia banyak uang karena ia tahu keluarga ayahnya banyak yang mata duitan. Untung saja ayahnya menyembunyikan jika ia mendapat warisan tanah ini.
Walaupun akibatnya ia harus berurusan dengan keluarga Ekadanta, ia tahu pasti ini pasti siasat bibinya agar mendapat uang banyak walaupun tidak dipungkiri ayahnya memang sedang membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengobati sakitnya. Kamini tak mungkin mengambil simpanan dari usahanya ia bisa bangkrut, banyak tenaga pekerja yang bergantung pada usaha yang ia bangun.
***
Tania bengong menatap sepuluh orang pekerja yang sedang menggali tanah dan melakukan proses pembuatan kolam dan bergulung-gulung tumpukan terpal. Ada juga beberapa tempat seperti teras memanjang berisi drum-drum yang bertengger di atas tunggu menyala dengan pembakaran kayu. Ada bangunan yang menyerupai kamar-kamar untuk tempat tinggal pekerja dan bangunan yang sepertinya untuk dapur dan ada beberapa bangunan untuk gudang.
"Ami ini semua ini punya kamu?" Ia tak menyangka menantu polosnya ternyata sesukses ini.
Sebelum Kamini menjawab pertanyaan Tania. Yudi temannya mendekatinya. "Maaf mengganggu sebentar. Ami, Akang tadi udah ketemu dengan pak RT yang pegang kunci ruko. Udah beresin dalam ruko juga masih rapi dan bersih kok, kemungkinan besok kita bisa langsung pindah sana untuk orderan bungkus dan kantor. Siang ini akan menyicil untuk angkut barang sekalian, biar nggak tertunda lagi," ujar Yudi.
"Oh bagus Kang, makasih ya," jawab Kamini seraya tersenyum lembut kepada Yudi.
"Ini adalah tanah dari pemberian Ambu, seperti Ami bilang tadi di rumah. Ami dan kelima teman Ami yang lain yang mengelola."
"Ah ..., dia juragannya Bu. Neng Ami sukanya merendah aja," celetuk Iksan pegawai Kamini seraya mendorong kereta angkut daging ayam.
"Eh ..., nggak boleh sombong atuh," herdik Kamini melotot dengan muka merona malu pada Iksan yang dibalas Iksan dengan menjulurkan lidahnya.
"Weeeekkk ..., Bos tetap Bos atuh," ujar Iksan tak mau kalah.
Kamini hanya menghembuskan nafas. Ia sebenarnya tak ingin keluarga suaminya tahu banyak tentang sisi kehidupannya yang lain, toh ia mungkin hanya bertahan tidak lama di sana. Intuisinya selama ini tak pernah salah, firasatnya mengatakan demikian. Akan banyak air mata tetapi sebisa mungkin ia akan bertahan.
Seandainya ia tak mengikuti keinginan bibinya untuknya kembali Minggu lalu mungkin saja, ah sudahlah nasi sudah menjadi bubur. Semua tergantung ia ingin membuat bubur ini enak di makan atau harus terbuang sia-sia.
Kamini mengajak Tania berkeliling seperti permintaan ibu mertuanya yang ingin melihat sekeliling.
"Itu kolam baru untuk apa? Lalu drum-drum itu untuk apa?" tanya Tania saat ia melihat banyak bangkai ayam yang dicelupkan dalam drum yang berisi air mendidih. Ia sedikit bergidik ngeri.
"Itu kolam untuk pembibitan lele, selama ini kami hanya punya kolam untuk pembesaran saja. Sedangkan pembibitan kami harus beli di Sukabumi. Demi menghemat waktu jadi kami membuat kolam lagi untuk pembibitan. Sedangkan drum-drum itu untuk mengolah bangkai ayam yang didapat dari peternakan ayam sekitar sini lumayan untuk menekan biaya pakan lele dan juga untuk merebus keong dan bekicot sawah."
"Owh jadi bukan makan bangkai mentah ya?"
"Nggak bunda, bangkainya harus direbus dulu untuk lebih mudah melepas bulunya dan membunuh bakterinya," terang Kamini.
Kemudian Kamini menunjuk hamparan tanaman singkong, bawang merah, kentang, kacang merah dan rimpang, "Itu adalah tanaman organik milik kami. Kami menjual mentah dan matang dalam bentuk makanan Sunda."
"Lalu dua bangunan besar beratap asbes itu adalah gudang penyimpanan,sedangkan gedung sebelah kanannya adalah gedung untuk dapur. Kami menggunakan beras lokal petani di daerah sini bunda," imbuh Kamini lagi.
Tania hanya bisa mengucap syukur dalam hati, semoga kali ini putranya tak salah memilih pendamping hidup. Walaupun sebenarnya berat baginya jika melihat putranya memiliki dua istri, tetapi apa boleh buat. Sebagai orangtua ia hanya menginginkan yang terbaik demi kebahagiaan anaknya.
"Teh Ami, ada telepon dari Abah!" seru Ilham dari pintu kantor.
"Yuk Bunda, kita ngadem di kantor," ajak Kamini dengan menggandeng tangan Tania yang mengangguk oleh ibu mertuanya tersebut.
Tania duduk di kursi plastik yang sudah disediakan oleh pemuda bernama Ilham tadi. Tania memperhatikan isi kantor Kamini berada, ada sepuluh pemuda dan pemudi yang asik dengan laptop di meja mereka. Banyak sekali map dan dokumen bertumpuk dalam rak yang menempel pada dinding. Dan papan besar berisi jadwal pengiriman dan orderan. Di sebelah papan ada tertulis kasir dan tempat order, ada satu meja berisi mesin kasir dan layar untuk pemesanan.
"Halo Bah."
"Halo Nak. Abah cuma mau kabarin hari ini Abah the, udah di Jakarta. Rencananya besok pagi konsultasi dokter lagi."
"Iya Abah, hati-hati ya. Ami kangen atuh sama Abah. Abah tolong seandainya nanti nggak bisa dioperasi jangan dipaksa ya Abah. Ami takut Abah kenapa-napa."
Ketakutan dan kekhawatiran Kamini bukan tanpa sebab, pasalnya usia ayah sudah menginjak enam puluh tahunan. Dokter sebenarnya sudah tidak mengijinkan ayah untuk operasi sebab kanker prostat yang di derita ayah sudah menyebar ke organ vital yang lain juga.
"Ami teh nggak usah khawatir. Abah pasti kuat semua demi Ami."
Ucapan dari ayahnya membuat Kamini tak kuasa menitikkan air matanya. Pria tua itu amat sangat menyayanginya, walaupun jika diperhatikan ia sebenarnya tidak mirip sama sekali dengan ayah dan bundanya apalagi keluarga bibinya.
Ami juga sayang Abah, sayang banget makanya Ami teh nurut jadi istri siri. Kalau disuruh mah amit-amit sebenarnya. Jerit kata hatinya.
"Ya udah, sekarang teh Abah istirahat aja ya, Sayang. Nanti kalau Ami udah ada waktu, Ami pasti tengok Abah."
Setelah menutup telepon dari ayahnya ada notifikasi kredit masuk ke rekening.
Lima ratus juta !?
Teteh Jyoti:
Ami, udah masuk uangnya?
Amisyantik:
Oh, dari Teteh? Udah Teh kok bangat banget duitnya?
Teteh Jyoti:
Itu belum seberapa, semoga yang lain ikut deal jadi kamu tunggu aja bonus berikutnya. Sepertinya, tanah yang kamu tawarkan bakalan laku semua. Thomas yang carikan pembeli.
Amisyantik:
Alhamdullilah kalau begitu Teh. Makasih banyak ya Teh. Nanti kalau ada info tanah lagi, Ami hubungin Teteh.
Teteh Jyoti:
Iya cantik sama-sama, kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi Teteh.
Amisyantik:
Asyaap ...
Kamini tersenyum bahagia, setidaknya sekarang ia sudah memegang uang yang lumayan bisa untuk mengembalikan uang yang diberikan oleh Dirandra untuk berobat ayahnya. Siapa tahu dengan begitu Dirandra akan segera melepaskannya dan tidak tertarik dengan anak darinya lagi.
