Chapter 13
Yolanda yang merasa sakit hati karena ucapan Dirandra dan ia pun memutuskan untuk tidak pulang sekalian.
"Kamu akan pulang sekarang?" tanya Nino dengan menatap wajah Yolanda lekat-lekat.
Raut wajah Yolanda yang awalnya terlihat sedih kemudian berubah menjadi datar dan tersenyum menatap sang kekasih.
"Nggak, aku mau tidur dalam pelukanmu saja," ucap Yolanda manja.
Yolanda mengulurkan kedua tangannya dan mengalungkan di leher Nino. Nino menundukkan kepala dan mencumbu bibir Yolanda membaringkan wanita itu di ranjang dan kembali bercinta.
Dirandra meletakkan ponselnya di atas nakas bersamaan dengan Kamini keluar dari kamar mandi dan membuka lemari meraih pakaian dalamnya.
Dirandra mendekati Kamini dan melepaskan handuk yang membungkus tubuhnya itu.
"Eh Mas, jangan lagi masih capek," protes Kamini.
"Oh jadi kamu juga mau mengacuhkan aku?" tanya Dirandra sinis.
Kamini membalik tubuhnya yang telanjang berhadapan dengan Dirandra, ia menengadahkan wajahnya menatap wajah sang suami tampak kesedihan dan rasa kesepian. Kamini tadi memang tanpa sengaja mendengar percakapan sang suami dan istri pertamanya.
Benarkah begitu? Dirandra sedih karena Yolanda tidak kembali?
Namun tidak harus bercinta juga bukan? Jika hanya ingin mendapatkan perhatian lebih, saling berpelukan dan bertukar pikiran itu lebih baik. Bukankah rumah tangga harus memiliki komunikasi yang baik agar bisa berjalan dengan baik tidak hanya seks dan materi. Tak urung rasa iba menggelayuti batin Kamini, kasihan Dirandra yang selama ini sepertinya tidak mendapatkan perhatian dari sang istri.
Namun bukannya ia juga istrinya? Sudah menjadi tugasnya menghibur hati sang suami bukan?
Kamini meletakkan kedua tangannya di dada sang suami dan mengusapnya lembut. Dadanya terasa berat sungguh entah apa yang ia rasa terhadap Dirandra saat ini, kalau pun itu cinta sepertinya belum tumbuh dalam dirinya. Anggap saja ia menghibur hati Dirandra, sampai nanti tiba waktunya untuk pergi.
Kamini berjanji pada dirinya sendiri hanya akan memberikan anak untuk Dirandra tanpa meninggalkan apapun tersisa di sana.
"Bukan begitu Mas, toh kamu masih di sini denganku bukan? Hanya saja sedari tadi kita sudah melakukan itu," terang Kamini dengan wajah yang merona mengingat percintaan mereka tadi.
Dirandra merasakan kehangatan dan ketenangan mendengar penuturan Kamini. Seketika rasa kecewa yang dirasakan karena Yolanda menguap. Dirandra kembali merengkuh dan menggendong Kamini yang telanjang dibaringkannya di ranjang dan ia menyusulnya di balik selimut sembari memeluk tubuh sang istri dengan erat. Hanya tidur tidak melakukan apapun yang lainnya.
Dalam tidurnya Kamini tersenyum akhirnya suaminya sedikit menurut ia sungguh capek meladeni suaminya hari ini yang sepertinya tak pernah puas akan tubuhnya.
Satu bulan kemudian Kamini mendapatkan berita jika ayah dan bibinya sudah kembali ke kampung, ayahnya sudah kembali pulih tetapi masih memerlukan kontrol dokter sebulan sekali dan bisa di lakukan di Bandung yang lebih dekat jaraknya.
Kamini merasa lega, akhirnya tidak sia-sia ia mengorbankan dirinya selama ini. Selama satu bulan ini juga Dirandra semakin protektif, ia tak memberikan ijin Kamini untuk bekerja. Apalagi Yolanda tak tampak batang hidungnya hanya saat sarapan saja mereka bertemu.
Kamini tampak lahap makan sarapan pagi ini, ia sampai tambah dua kali saat melihat telur bumbu rendang. Tania sang ibu mertua menatap heran kearahnya, raut wajah sang menantu juga tampak lain dari biasanya walaupun ini masih terlalu dini tapi ia memiliki firasat jika sang menantu sedang hamil kemudian ia tersenyum simpul.
"Ami."
"Ya Bunda?" jawab Kamini dan meletakkan sendoknya.
"Maaf nih ya semuanya. Bunda mau tanya Ami udah datang bulan belum?"
Semua orang yang sedang berada di meja makan menghentikan kegiatan mereka dan menatap ke arah Kamini tak terkecuali Dirandra dan Yolanda.
Kamini tertegun menatap polos ke arah ibu mertuanya sembari mengingat-ingat sepertinya ia sama sekali belum datang bulan karena selama ia di sini, Kamini setiap hari selalu melayani sang suami. Kamini melirik Dirandra yang menatapnya dengan tajam. Sepertinya semua orang menunggu jawabannya. Kamini kemudian menunduk malu dan menggelengkan kepalanya.
"Ah sudahlah kalau begitu selesaikan dulu makanmu. Nanti bunda panggil dokter kandungan ke rumah karena ayah dan suamimu ada rapat penting hari ini," ujar Tania dengan wajah sumringah.
Yolanda menatap sinis kepada Kamini. Bagus gadis kecil kamu akan segera merasakan penderitaan yang sebenarnya sebentar lagi. Bagaimana rasanya dipisahkan dengan darah dagingmu. Seperti yang kau lakukan pada keluargaku harus merelakan kepergian adikku karena perbuatanmu.
"Bunda, bagaimana jika Ami saya antar saja ke dokter kandungan?" pinta Yolanda
"Tak perlu, nanti biar dokter Raja Mahanta yang akan memeriksa ke sini," jawab Tania
"Raja ada di sini?" tanya Burhan.
"Iya, kemarin Rasti mengajakku bertemu. Berarti dia dan Raja ada di sini."
Setelah Raja selesai memeriksa Kamini. Ia menyarankan untuk Kamini banyak beristirahat karena Kamini tidak merasakan morning sicknes bisa dikatakan kandungannya cukup kuat. Tetapi ia menyarankan untuk Kamini priksa ke rumah sakit juga. Raja mau memeriksanya di rumah karena Burhan dan Tania adalah teman dekat ia dan istrinya.
"Kamini, berapa umurmu Nak?"
"Dua puluh tahun pak dokter lagi dua bulan lagi udah dua puluh satu."
Raja hanya menganggukkan kepalanya. Ia melihat tanda lahir berwarna kemerahan di bagian lengan atas bagian dalam Kamini dan mencatatnya dalam hati.
"Kamini sebelum menikah tinggal di mana?" Terus terang sedari tadi Raja penasaran karena jika dilihat secara detail wajah Kamini mirip dengan menantunya.
"Di Cianjur pak dokter."
"Sama siapa tinggal di sana?"
"Sama Abah aja, Ambunya udah meninggal waktu Ami kecil."
Raja hanya mengangguk, ia teringat pembicaraan putrinya bahwa sang suami sedang mencari adiknya yang hilang, sedangkan gadis yang berada di depannya saat ini sungguh mirip dengan menantunya tersebut jika tanpa kacamata. Hanya saja dalam versi yang lebih lembut dan warna kulitnya yang kuning langsat.
Ah ..., apakah benar? Setahunya menantu dan keluarganya tinggal di luar negeri dulu sebelum menikah dengan anaknya.
Raja meletakkan tas kerjanya di ruang kerja dan berbalik badan saat sang istri masuk membawakan jahe hangat dan sup ginseng untuknya.
"Priksa siapa tadi Pa?" tanya Rasti seraya menyusun mangkuk sup dan cangkir minum sang suami.
"Periksa istri mudanya Diran," jawab Raja.
"Kok, tumben Papa langsung masuk sini. Nggak cari Mama dulu, pasti ada sesuatu di luar ya?" Rasti sudah hafal betul dengan tingkah sang suami terlebih tadi Raja tampak seperti melamun saat berjalan menuju ruang kerjanya.
"Bukan tentang Papa sih," jawab raja seraya duduk di samping sang istri.
"Lalu tentang siapa?"
"Itu istri mudanya Diran. Papa sih yakin nggak salah lihat. Mukanya mirip sama Dokter Edna."
"Dokter SpOG itu, adiknya Dokter Noah?"
Raja mengangguk seraya menyuapkan sup ke mulutnya.
"Berarti saudaranya Edgar juga dong Pa? Masa sih?" ujar Rasti dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia masih tidak percaya bagaimana mungkin bisa sekebetulan itu.
Seolah bisa membaca isi hati sang istri Raja kemudian berkata, "Semuanya mungkin saja terjadi bukan? Papa yakin di dunia ini nggak ada kebetulan yang ada adalah suratan takdir dan kehendak Sang Kuasa."
"Iya sih, lalu selama ini gadis itu tinggal di mana? Bukannya masih muda banget berarti kan ya?"
"Dua puluh satu tahun dan aku rasa Kamini menikah dengan Diran bukan karena rasa cinta."
"Jadi namanya Kamini? Wanita penuh kasih sayang itu artinya. Sayang terlahir menjadi istri kedua ya."
