PART 8
"Mas?"
Fani memanggil lembut, melangkah masuk dalam kamar sembari kedua tangannya membawa nampan. Tersenyum kecil saat memperhatikan arah tempat tidur mendapati suaminya ternyata sudah bangun, sekarang sedang duduk bersandar di kepala ranjang sambil mengucek pelan kelopak matanya bersama menguap kecil kelihatan masih lemas.
Fani duduk tepian ranjang berhadapan bersama suaminya, suaminya itu langsung beringsut memeluk tubuhnya dengan lemas, kedua tangan Fani tidak diam saja saat suaminya itu memeluk masih ingin bermanja-manjaan dengannya.
Mengelus punggungnya dan kepala bagian belakang, ternyata rambut mas Abas sudah panjang, mungkin nanti bakalan Fani pangkas sendiri rambut suaminya supaya kelihatan rapi tidak seperti orang yang tidak terurus.
"Masih mengantuk, mas?" masih mengelusi punggung dan beralih lengan suaminya. Abas menganggukkan kepala dengan memejamkan mata ingin sekali tertidur lagi karena terbuai akan elusan dari Istrinya.
"Bangun dulu terus mandi, setelah itu sarapan. Adik mau ganti alas kasurnya, mas" suruhannya, kalau suaminya pergi mandi, Fani bisa menganti alas kasur dengan yang baru, alas kasur yang ini memang sudah harus di ganti sebab ada bekas ileran dari suaminya.
"Abas tidak mau mandi, airnya dingin..." tolak manja Abas tidak mau mandi air dingin, mendengar itu Fani tersenyum mengelus rahang tegas suaminya yang ditumbuhi jambang kasar.
"Mas mau mandi air hangat?"
Abas mengangguk bertanda mau, tidak ada jawaban apapun dari suaranya.
"Ya sudah, kalau begitu adik siapkan dulu air hangat untuk mas mandi," setelah mengatakan kalimat tersebut, Fani melepaskan secara perlahan pelukan Abas. Bangkit duduk lalu memasuki kamar mandi dan ternyata suaminya itu mengikutinya masuk, tidak melakukan apapun melainkan hanya berdiri dibelakang tubuhnya kelihatan dengan tampang penasaran apa yang sedang Istrinya lakukan.
Fani menyiapkan bak mandi air hangat untuk Abas mandi dan dia juga mengatur temperatur supaya tidak terlalu panas. Suaminya itu lebih suka berendam di bak mandi, lantaran dia suka main air dan tahan berlama-lama di dalam kamar mandi, jika disuruh cepat keluar barulah mas Abas keluar dari dalam kamar mandi.
"Ingat loh, mandinya jangan lama-lama dan kalau mau keluar keringkan dulu badannya pakai handuk, handuknya juga jangan di basahin."
Sebelum suaminya itu mandi sendiri. Fani selalu menasihati suaminya berulang kali tanpa lelah, dia ingin suaminya terbiasa mengingat nasihatnya dan juga tak mau mas Abas keluar dalam keadaan telanjang bersama sekujur tubuhnya masih basah, handuknya sering kali tidak suaminya gunakan malah basah tergelatak di lantai kamar mandi.
Biarpun suaminya itu susah memahami dan sering kali terulang seperti itu kembali, dirinya tidak pernah memarahi suaminya sendiri termaksud kenakalan lain yang lebih luar biasa tidak mau menurut.
Sampai selama ini hanya memberikan nasihat dan peringatan kepada mas Abas, tentu saja berbicara dengan lemah lembut, mengatakan apa yang boleh suaminya kerjakan dan tidak boleh dia kerjakan. Tidak perlu ada kekerasan, karena siapapun itu pasti tidak menyukai orang membentak berbicara kepada kita, begitupun yang di alami suaminya sendiri bakalan bisa memberontak.
"Iya." hanya satu kata sahutan dari Abas sembari membuka semua pakaiannya di bantu oleh Fani, setelah itu mengambil pakaian kotor suaminya dan nanti selesai habis acara, berencana akan mencuci pakaian kotor mereka berdua.
Fani mulai berkemas membersihkan penjuru kamarnya yang sedikit berantakan, menyapu, mengganti alas tempat tidur dan terakhir menyiapkan pakaian untuk suaminya kenakan.
Pintu kamar mandi terdengar suara terbuka, suaminya mas Abas berdiri di ambang pintu dengan tubuh hampir setengah kering dan kali ini berkemban, berkemban seperti wanita dan mungkin saja meniru Istrinya saat mau mandi.
Itu membuat Fani tertawa kecil mentertawakan suaminya berkemban seperti itu, berjalan menghampiri membawanya duduk tepian tempat tidur.
"Adik keringkan dulu rambut, mas" mengeringkan rambut basah Abas menggunakan handuk kecil dan menggosoknya secara lembut sangat berhati-hati.
"Fani?" panggil Abas secara tiba-tiba, membuat Fani menunduk menatap wajah tampan suaminya.
"Inggih, mas?"
"Abas dengar ada suara berisik di luar," katanya memberitahukan sembari kepalanya menoleh kesamping melihat arah luar jendela, tatapannya terlihat penasaran.
Fani hanya tersenyum sambil mengoleskan minyak kayu putih di dada tegap suaminya yang juga tumbuh bulu dada disana lumayan lebat, mengoleskan minyak kayu putih supaya suaminya terasa hangat dan rileks.
"Ada acara khitanan, mas"
"Apa itu khitanan?" tanyanya dengan mengernyit.
"Khitanan itu sunat, burung-nya di potong sedikit" ujarnya menjelaskan secara pelan-pelan kepada mas Abas terlihat wajah polosnya antara mengerti atau tidak.
"Abas sudah sunat belum?"
Mencoba tetap tenang dan berfikir suaminya masih sedang sakit tidak tahu akan apapun, bahkan pikirannya masih kanak-kanak memudahkan Fani untuk mengajari mas Abas dengan didikan terbaik.
"Inggih, mas itu sudah sunat dan sekarang pakai celana dalam dulu, kalau burungnya telanjang begitu nanti bisa di gigit semut merah lalu bengkak loh" katanya menakut-nakuti Abas segera menganggukkan kepala menuruti perkataan Fani memakai celana dalamnya sendiri.
Kemudian, saat Fani hendak membantu memasukkan kerah baju kedalam kepalanya mas Abas malah menghindar menolak tidak mau.
"Abas tidak mau pakai baju, mau seperti ini" Abas tetap menolak, membuat Fani mengalah mengangguk iyakan.
"Kalau begitu sekarang mas sarapan dulu, sudah adik siapkan di meja depan televisi."
Abas hanya menurut saja tidak ada mengatakan apapun melangkah menuju depan televisi, bahkan dirinya masih tidak sadar bahwa di depannya televisinya tidak ada, televisi suaminya rusak karena terbanting saat suaminya mengamuk kemarin dan harus masuk kedalam service.
Fani mencoba meminta tolong kepada Sahron untuk mencarikan service televisi. Sahron dengan senang hati mau membantu sekalian membawa televisi ketempat service yang terpecaya.
"Adik mandi dulu, mas. Jangan kemana-mana." mengambil handuk setelah itu masuk kedalam kamar mandi, membiarkan suaminya makan sendirian dan nanti setelah mandi bakalan menemani suaminya itu makan.
Abas duduk bersandaran sambil mendongakkan kepala menatap langit-langit kamar, mulai merasa cepat bosan, tidak ada yang menarik terdiam di dalam kamar.
Abas beranjak berdiri, berjalan-jalan memutari seluk beluk kamar seakan mencari sesuatu yang ingin dia mainkan, bahkan mencium segala bedak milik Fani yang terpajang di meja rias, merasa aneh sama sekali tidak mengerti untuk apa benda-benda tersebut.
Abas mencoba berjalan mengarah pintu kamar,
tangannya memegang kenop pintu yang beruntung tidak terkunci. Abas kesenangan tentu saja langsung membuka pintu memilih keluar sambil celingukan, tetapi tiba-tiba saja saat Abas ingin bersiap melangkah keluar--seseorang terjatuh didepannya.
Abas hanya menduga wanita tersebut terlalu mengantuk kemudian terjatuh, karena ingin tidur dilantai. Abas memilih membiarkan tidak mau membangunkan dan masih melihatinya terbaring dihadapannya.
***
Fani keluar dari dalam kamar mandi, tubuhnya hanya berkemban menggunakan handuk, rambut panjangnya basah dia keramas.
"Mas?" mendadak suasana menjadi senyap tidak ada sama sekali terdengar suaminya sedang makan.
Segera saja Fani melangkah menghampiri suaminya yang sebelumnya berada di depan televisi, secara mengejutkan malah menemukan suaminya sedang berdiri di ambang pintu. Itu membuat Fani bersyukur bahwa suaminya tidak keluar dalam keadaan telanjang hanya memakai celana dalam saja.
Fani menepuk jidatnya sendiri merutuki kesalahannya yang lupa untuk mengunci pintu, saat terakhir dia masuk kedalam mengantarkan makanan untuk suaminya, harusnya langsung mengunci pintu supaya suaminya tidak keluar.
Bergegas melangkah menghampiri lalu langkahannya berhenti berdiri di belakang tubuh besar mas Abas yang menghadang pintu, sama sekali tidak ada celah untuknya menyelip keluar, hanya menjulurkan kepala melihat apa yang suaminya itu perhatikan.
Tatapannya menurun kearah lantai dan sontak saja membuatnya terkejut, berusaha keluar biarpun harus berhimpitan bersama suaminya yang sama sekali tidak memberikan sedikit celah untuknya keluar. Fani berjongkok di hadapan wanita yang tiba-tiba saja sudah tergeletak di lantai, tangannya menyentuh urat nadi pada pergelangan tangan wanita tersebut dan untungnya masih berdenyut.
"Fa--ani!" suara itu terdengar terbata-bata
berusaha memanggil nama wanitanya dengan benar, berulang kali mengatakan apa yang terlihat sekarang tidaklah mungkin.
Fani hanya berkemban menampakkan bahu dan pahanya terekspos begitu saja, sama seperti Abas tidak kalah memperlihatkan tubuh terlatihnya itu, hanya memakai celana dalam untuk menutupi miliknya. Mereka berdua serasi sekali, menduga mereka berdua sudah--melakukannya.
Fani cepat menoleh dan mendongak mendapati Farhan yang sedang menatapnya dengan tatapan susah untuk dia artikan, tak ada waktu untuk mereka saling bertatapan karena harus mementingkan wanita yang terjatuh pingsan sekarang ini.
"Mas!, tolongin mas. Kamu jangan diam saja!." perkataan Fani membuyarkan pandangan
Farhan tersadar membuyarkan pemikirannya,segera menggendong Rossa tanpa berbicara apapun membawa wanita tersebut menuju bertemu kedua orang tuanya.
Abas melihat Farhan sedang menggendong wanita tersenyum membuatnya hendak mengikuti, dengan cekatan menahan lengan suaminya dan itu membuat suaminya menoleh menatap Istrinya.
"Ayo masuk ke dalam kamar, mas. Ada yang mau adik tanyakan dengan mas"
Setelah mereka berdua berada di dalam kamar, Fani menyuruh suaminya untuk duduk di sofa berhadapan bersamanya yang berdiri menatap serius.
"Mas, adik mau mas jawab dengan jujur dan adik tidak ada bermaksud menuduh mas, tetapi mas tahu kenapa wanita tadi pingsan di depan kamar kita?."
Abas menggeleng pelan. "Abas tidak tahu, dia tidur sendiri." katanya dengan tampang santai.
Fani menghela nafas, tidak tahu apakah harus percaya perkataan suaminya. Itu membuatnya pusing sendiri, jika memang kenyataannya suaminya tanpa sengaja memukul, bakalan menimbulkan masalah untuk suaminya. Berhadap saja perkataan suaminya itu tidak ada kebohongan.
***
Farhan datang sambil mengendong Rossa, membuat keluarga tersebut yang sedang asyik mengobrol mendadak terkejut, mereka langsung berdiri dan berjalan menghampiri.
Farhan membaringkan Rossa di atas sofa sembari mencoba membangunkannya dengan cara menepuk pelan pipinya.
"Anak saya kenapa ini...?!" pasangan suami-istri itu panik, serantak bertanya kepada Farhan.
Farhan menoleh menatap Ibu Rossa mencoba menenagkan mereka. "Ibu dan bapak, mohon tenang sebentar. Rossa hanya pingsan, tidak ada permasalahan serius"
"Apa perkataan kamu bisa Ibu percaya?, kamu tidak bermaksud mencelakai anak Ibu bukan?" Ibu Kia menatap menyelidik, menaruh curiga kepada Farhan.
Farhan tersenyum tipis mendengar perkataan tuduhan tersebut, bahkan dirinya tak pernah sudi untuk menyentuh anak perempuannya yang selalu mereka banggakan ini.
"Ibu seharusnya percaya kepada saya, bahwa saya tidak melakukan apapun kepada anak Ibu,"
tangannya melepaskan diri menyentuh pipi Rossa, "kalau sudah sadar, Ibu bisa tanyakan langsung kenapa anak Ibu pingsan."
Rossa membuat tanda-tanda bahwa dia akan sadar selang dari beberapa menit dirinya pingsan, tangannya bergerak perlahan, membuat kedua orang tuanya bersyukur dan tiada henti mengelus kepala anaknya.
Rosa tersadar dan mendadak saja langsung bangkit duduk seraya menutup wajahnya karena pasti memerah malu.
"Syukurlah kamu sadar, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ibunya langsung duduk bersebelahan memeluk putri bungsungnya itu.
Rossa mengernyit, dia sendiri tidak sadar bahwa tadi pingsan. "Ros-ssa...seperti melihat jin raksasa, bu" katanya dengan tampang ketakutan.
Salma dan Farhan terheran-heran mendengarnya, terutama Farhan mengangkap terlalu berlebihan Rossa dapat melihat makhluk tak kasat mata didalam rumah ini. Begitupun Salma, sudah hampir dua puluh satu tahun menempati rumah ini, seumur-umur tidak pernah melihat makhluk halus sejenis apapun itu.
"Nak, sepertinya kamu hanya berhalusinasi saja. Ibu dan yang lainnya sampai sekarang tidak pernah menjumpai makhluk tersebut,"
"Ibu, aku tidak berbohong bahwa itu sangat nyata sekali. Jin itu hanya menggunakan celana dalam hitam dan sedang berdiri tegap menjaga kamar dekat kolam renang," Rossa masih tidak percaya dan bersikeras bahwa dirinya sungguhan melihat makhluk tersebut.
Rossa hanya salah paham karena pikirannya sedang melantur, maka dari itu melihat Abas menganggapnya seperti Jin.
Salma mendengar itu langsung terkejut, tetapi tidak dengan Farhan hanya biasa saja mengusap wajahnya secara kasar setelah mendengar ucapan Rossa barusan.
Salma langsung pamit permisi sebentar meninggalkan mereka semua, ingin menghampiri menantunya yang ceroboh tidak bisa amanah sama sekali saat dimintai tolong untuk menjaga Abas dalam kamar dan padahal sudah di berikan nasihat jangan sampai putranya itu keluar lalu mengganggu acara perkenalan Farhan dan Rossa.
Apa yang tidak diinginkan malah terjadi.
"Fani...!, buka pintunya..." hardik Salma bersama menggendor kuat pintu kamar anaknya, pintu kamar langsung terbuka dan berhadapan bersama Fani mengernyit melihat Ibunya yang seperti ingin marah.
Fani segera membenarkan dua kancing terbuka di pakaian daster yang dia kenakan, mungkin Ibu Salma sudah mengetahui dengan jelas kegiatan apa yang habis dilakukan menantu bersama anak tertuanya. Salma melihat putranya sedang tertidur pulas masih bertelanjang hanya memakai dalaman saja.
"Ibu sudah katakan kepada kamu, untuk menjaganya. Apa kamu berlagak lupa perkataan Ibu?"
"Aku minta maaf, Bu. Aku lupa mengunci pintu kamar, Ini murni kesalahan aku sendiri." jelas Fani berkata tulus meminta maaf dan mengakui kesalahannya.
"Rossa itu pingsan karena melihat Abas yang tidak mengenakkan pakaian dan juga mengatakan, Jin!" hardik Salma mengatakannya kepada menantunya itu.
"Inggih, Bu. Maafkan aku, kalau begitu biarkan aku meminta maaf kepada Rossa."
"Ya sudah, itu memang harus lebih baik kamu meminta maaf kepada Rossa." Salma berkata ketus dan berjalan duluan meninggalkan menantunya.
Fani bersabar mengikuti langkahan Ibu mertuanya dari arah belakang, sesampainya mereka bertemu mereka semua yang berada di ruang tengah dan dengan begitu mereka langsung menatap penampilannya.
"Perkenalkan, Ini menantu saya. Istrinya Abas, putra pertama saya. Menantu saya ingin meminta maaf, karena kesalahannya yang ceroboh malah membuat Rossa pingsan."
Salma memperkenalkan kepada Ibu Ika dan Bapak Bambang yang sedari tiada berhenti menatap dengan tatapan membenci, menyalahkan dirinya karena putrinya pingsan.
Fani sendiri sedari tadi tersenyum ramah biarpun mengetahui tatapan tersebut, tidak masalah dirinya yang meminta maaf, karena itu memang kesalahannya lupa mengunci pintu kamar dan misalkan menyuruh suaminya yang meminta maaf bakalan tidak tahu apapun karena kondisinya yang sedang sakit.
"Mbak Rossa, maafkan kecerobohan saya sudah membuat mbak pingsan. Mbak tidak apa-apa?" tersenyum manis sembari menatap Rossa memeriksa keadaannya.
"Tidak apa-apa, Mbak. Aku sudah baikan hanya saja tadi terlalu kaget" Rossa menyengir malu, dugaannya salah bahwa lelaki itu adalah kangmas tertua anak Ibu Salma.
Fani bernapas lega mendengarnya. "Syukurlah, sekali lagi saya minta maaf kepada mbak."
Farhan yang sedari tadi diam saja di antara mereka yang memaaf-maafan merasa sudah cukup wanitanya harus merendah di hadapan keluarga yang tidak bersahabat seperti itu, lantas menggengam tangan wanitanya menariknya menjauh mengabaikan tatapan keheranan mereka semua saat dirinya membawa Fani.
Fani berusaha melepaskan genggaman tangan Farhan yang mencekal lengannya lumayan sakit sekali sampai membuatnya meringis.
"Mas berhenti!, sakit!"
Barulah saat Fani memekik kesakitan, Farhan baru tersadar dan genggaman tangannya mengendor.
"Maaf, maafkan mas. Mas tidak bermaksud membuat kamu kesakitan, mas hanya tidak suka kamu terlalu merendahkan diri kamu seperti tadi," ada perasaan marah bercampur tidak terima wanitanya di anggap rendahan dengan keluarga Rossa.
"Aku hanya mengakui kesalahan aku, mas. Aku memang bersalah, aku lupa mengunci pintu karena tadi langsung membangunkan mas Abas. Tidak mungkin juga Ibu memarahi mas Abas, secara jelas dia bakalan bingung tidak tahu apapun," ujar Fani membenarkan.
Farhan mendengkus kasar. "Harusnya mas sejak dulu mengajarkan pengakuan, supaya kalau dia melakukan kesalahan sudah pandai mengakui bahwa bersalah dan meminta maaf"
"Sudahlah, Mas. Aku tidak mau mas Abas mendapatkan didikan yang keras untuknya, biarkan aku sendiri yang akan mengajarnya secara perlahan, dan juga meminta maaf tidak ada ruginya sama sekali. Aku mau masuk kamar dulu."
Fani berkata cepat setelah itu melangkah pergi meninggalkan Farhan. Farhan menatap lirih kepergian wanitanya begitu saja.
Semakin hari semakin terasa mereka berjauhan, bahkan semakin susah Farhan menjangkau wanitanya. Ingin mengajaknya berbicara berduaan saja susah sekali, sebab mendapatkan penganggu yaitu Abas selalu melendot setiap saat kepada Fani dan wanitanya itu dengan kepatuhannya sebagai Istri selalu menuruti permintaan Abas yang kelewatan aneh.
Itulah yang membuat Farhan merasa sakit hati melihat hubungan mereka seakan perlahan-lahan merenggang dan lalu menghindar, tetapi tidak dengan Farhan semudah itu melupakan wanitanya bagaikan membalik telapak tangan.
