Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 9

Fani memasuki kamar dan dia bersandaran di balik pintu, matanya memerah menahan tangisan sembari menunduk melihat pergelangan tangannya yang masih terasa sentuhan kasar dari Farhan.

Semasa dulu saat masih menjadi sepasang kekasih. Fani selalu merasa terlindungi oleh Farhan, karena pria itu sungguh berhati baik dan memang pria sejati, bahkan pria itu selalu khawatir jika mengirim pesan tidak mendapatkan balasan dan tiba-tiba saja sudah menunggu di tempat kerjanya.

Mengingat kenangan manis masa lalu, membuat Fani tanpa sadar meneteskan air mata yang sudah tidak bisa tertahan lagi, apalagi mereka sekarang malah di pertemukan dalam satu rumah.

Fani menarik nafas mencoba menenagkan dirinya sembari menerka air matanya, berpikir bagaimanakah cara untuk melupakan Farhan.

Caranya itu hanya satu, yaitu dirinya bersama mas Abas pindah rumah supaya tidak serumah dengan keluarga suaminya. Tetapi, harus kemana mereka pindah dan sedangkan persediaan uang untuk mengambil perumahan sederhana saja tidak punya.

Andaikata mereka menumpang sementara waktu di rumah kedua orang tuanya sendiri, selagi menunggu Fani bekerja sampai cukup mengumpulkan uang. Fani sudah membayangkan bakalan ada hal buruk yang menimpa suaminya, terutama mendapatkan hinaan dari sekeluarga yangs tidak menyukai mas Abas.

Mereka hanya masih belum bisa menerima bahwa Abas sudah menjadi suaminya secara sah, dan belum lagi cemooh sekitar tetangga yang mulai bergunjing mengetahui sindrom suaminya. Bukannya merasa nyaman menumpang di sana, melainkan suaminya bisa merasa tertekan.

Fani semakin serba salah, menjadi tidak bisa meninggalkan mas Abas sendirian sebab tidak ingin suaminya mendapatkan perlakuan keras dari siapapun yang tidak menyukainya.

Beruntungnya masih mempunyai uang simpanan di buku tabungannya, tidaklah banyak terakhir tinggal tersisa lima belas juta. Itu tidaklah cukup untuk kebutuhan satu tahun, memang sangat bisa ambil perumahan sederhana dan membayar uang muka terlebih dahulu, tetapi setelah itu untuk kebutuhan sehari-hari mereka berdua bakalan kekurangan.

Fani rebahan di samping suaminya, menoleh kesamping menatap lekat wajah suaminya yang sedang tertidur pulas. Abas tertidur mengeluarkan dengkuran halus, bibirnya terbuka sedikit kelihatan nyenyak sekali.

Sehabis minta kelon tadi, mas Abas cepat tertidur dan meminta kepadanya untuk tidak berhenti mengelus lembut kepalanya supaya semakin nyenyak. Bersyukur mas Abas tidak terbangun dan sama sekali tidak terusik saat Ibunya mengedor pintu.

Fani setengah bangun, tubuhnya bergerak kesamping dengan mengangkat kepala dan lengannya sebagai tumpuan.

“Mas Abas, ayo bangun...” sembari tangannya mengelus setiap lekuk wajah tegas suaminya, menunduk mendekatkan bibirnya di telinga suaminya.

“Jangan tidur terus, buka matanya”

Bibirnya tersenyum manis bersama menggerakkan jemari telunjuk mengukir wajah tampannya, mengelus dari atas kening dan turun kebawah secara perlahan mengikuti bentuk wajah suaminya. Jemari telunjuknya berhenti di hidung mancung mas Abas, tidak tahu mengapa bagian ujung hidung mancung itu mendapatkan kecupan demi kecupan yang Fani berikan tak menghalau debaran detak jantungnya.

Kecupan menggoda itu berharap suaminya segera bangun dan kembali jemari tangannya mengelus pada bagian pertengahan alis, memperhatikan secara saksama alis suaminya berwarna hitam pekat nan lebat, bahkan hampir menyatu.

Abas bergerak pelan merasa tidurnya terganggu,

bergerak berbalik badan memunggungi Istrinya dan dengan cepat Fani tentu saja menahan pundak lebar suaminya bersama tertawa pelan.

Dengan iseng memberikan kecupan-kecupan di sekitar wajah suaminya sambil terkikik geli mendengar Abas merengek dengan mata masih terpejam. Abas menolak berusaha mengelak dari kecupan Istrinya, menggerakkan kepalanya kesana kemari.

“Mas, kalau sindrom kamu sudah hilang. Apa kamu masih mau adik cium seperti ini?” terkadang ada dilanda rasa khawatir karena bahagia seperti sekarang ini, khawatir kalau suaminya sembuh apa hubungan mereka tidak lagi sama seperti saat suaminya sindrom.

Abas membuka mata secara perlahan dan menatap dengan bibir cemberut.

“Fani jangan nakal, ganggu Abas tidur.” gerutunya tidak suka tetapi memeluk tubuh Fan. Fani hanya tersenyum sembari berikan elusan di punggung suaminya.

“Jangan tidur lagi, habis makan itu tidak baik langsung tidur”

“Kenapa memangnya?” tanya Abas tanpa mendongakkan kepala karena kepalanya lebih menyukai menempel di dada kenyal Istrinya.

“Nanti badannya bisa berubah bulat, mas mau badannya yang sudah gagah ini malah berubah bulat?” candaannya membuat Abas segera menggelengkan kepala tidak mau.

Mereka berdua sejenak terdiam, terutama Abas menyukai setiap elusan Fani yang begitu menenagkannya dan sampai Abas berbicara kepada Istrinya.

“Abas bosan, mau mainan baru..." katanya sambil mendongak menatap Fani. Fani menatap hangat dan tangannya berpindah mengelus wajah suaminya, wajah mereka berjarak dekat bahkan dapat merasakan hembusan hangat dari mereka berdua.

Fani tersenyum tidak pernah berhenti mengelus jambang suaminya itu, mas Abas juga masih diam sama sekali tidak protes ataupun bertanya. Abas lebih suka menikmati usapan lembut tangan Istrinya yang sangat keibuan.

“Mas mau mainan apa, nanti biar adik belikan”

Abas berpikir sejenak mencari mainan yang sedang ingin dia miliki. “Abas mau main bola tendang, boleh?”

“Wah, memangnya mas bisa main bola tendang?” menatap lekat wajah Abas dengan tangan berpindah mengelus dadanya yang tegap ditumbuhi bulu dada, mata Fani menurun mencoba melihat selangkangan suaminya ternyata sama sekali tidak mengembung, menunjukkan bahwa Abas tidak terangsang.

Jika lelaki normal, tentu saja bakalan terangsang setiap elusannya yang mencoba bergerak sensual. Kenapa bisa sampai gairah berahi jantanya tidak berfungsi sama sekali, kemungkinan saja mengikuti sindorm anak kecil menjadikan mas Abas hanya fokus dengan perilaku seperti anak-anak dan juga memiliki pola pikiran yang polos belum masuk tahap kedalam hal berbau dewasa, kemungkinan saja itu bisa terjadi.

Mungkin nanti bakalan membawa suaminya untuk memeriksa perkembangannya, sekaligus menanyakan kepada Dokter bagaimana caranya supaya suaminya itu bisa cepat kembali normal tanpa harus minum obat-obatan dalam jangka panjang.

“Fani, kenapa diam?” seketika tangan Abas menyentuh pipi Fani, sontak saja membuat lamunanya berhenti lalu tersenyum tegang.

“Inggih mas, mas mau apa?”

Abas mendengkus kesal. “Abas mau main bola tendang, mau main sekarang,” kata penekanan Abas seakan tidak ingin di bantah, jika sudah menginginkan sesuatu itu sudah harus terpenuhi sebelum marah.

“Bagaimana mainan yang lain?, jangan bola tendang” Fani memberikan saran kepada suaminya itu, sebenarnya sama sekali tidak melarang kalau mas Abas ingin bermain bola.

Hanya saja, jika suaminya itu main ke luar atas persetujuan Ibunya, tentu saja bakalan Fani membebaskan suaminya bermain di luar dari pada berdiam diri di dalam kamar.

Semenjak sakit sindrom, mas Abas di larang keluar dengan Ibu Salma. Ibu mertuanya itu mengatakan bahwa kalau Abas keluar, bisa menganggu ketenangan tetangga sekitar dan

kalau sudah keluar menolak pulang.

Fani mendengarnya sangat miris sekali dengan keadaan suaminya seperti tahanan yang terisolasi, bisa jadi suaminya itu secara diam-diam menahan batin dari mulai beberpa bulan yang lalu. Abas selama ini selalu menuruti semua perintah, bahkan saat bermain sendirian di dalam kamar, karena merasakan kesepian itulah yang membuat suaminya berontak.

“Jadi, Abas main apa?”

“Bagaimana kalau mainan lego atau monopoli?” permainan monopoli sangat mengasyikkan, membayangkan mereka berdua bermain bersama, melempar dadu secara bergiliran untuk memindahkan bidak lalu memegang uang-uangan monopoli. Itu mengasyikan sekali.

Abas menggeleng tidak mau, mainannya sudah banyak. Abas hanya mau bermain bola sekarang, hanya bola yang belum dia miliki.

“Abas mau main dengan Sahron.” katanya mengambek, bangun rebahan dan duduk tepian ranjang karena lengannya di tahan oleh Fani.

“Mau main kemana?, kalau mau keluar kenakan pakaian.”

Fani juga turun ranjang, segera melangkah menuju lemari pakaian mengambil pakaian untuk suaminya dan sekaligus membantu memakai kaos putih dan celana trening hitam.

Abas sudah berpakaian lengkap dan langsung saja menyelonong keluar tanpa berpamitan kepadanya, suaminya itu berlari keluar menuju kamar Sahron.

Fani mengikuti langkah suaminya itu naik keatas tangga memantau dari kejauhan Abas sudah berbicara dengan Sahron. Sahron sedang bersantai duduk luar balkon sambil bermain laptop, terpaksa harus berhenti dan secara tidak sengaja arah pandang Sahron mendapati dari kejauhan kakak Iparnya berdiri.

Sahron segera menghampiri dan berdiri dihadapan Fani. “Mbak, kangmas mengajak aku main dan aku mau membawa kangmas main basket di lapangan perumahan, apa boleh mbak?”

“Jangan jauh-jauh mainnya, mbak khawatir” tentu saja khawatir dan takut kalau suaminya itu malah membuat onar di luar sana. Apalagi membahayakan nyawanya sendiri, suaminya mas Abas membutuhkan pengawasan yang ketat jangan sampai terkecoh sebab sedetik saja bakalan langsung menghilang.

“Mbak jangan khawatir, aku bakalan selalu mantau mas Abas.” Sahron berucap menyakinkan bahwa ucapannya bisa dia tepati.

Fani mengangguk percaya akan ucapan Sahron, setidaknya hanya Sahron yang dapat di percaya dalam keluarga Jowandaru.

“Mbak siapkan botol air minum dulu untuk mas Abas, siapa tahu nanti kangmas kamu haus.”

Fani memasuki dapur segera menyiapkan botol minuman untuk suaminya, merasa senang bahwa suaminya akan bermain di luar bersama Sahron. Melangkah menuju depan teras sesudah

menyiapkan botol minuman, bertemu Abas dan

Sahron ternyata sudah berdiri di luar gerbang.

“Mas!, kesini dulu ambil minumannya...!” sembari mengangkat botol tersebut yang berada di genggaman tangannya, perlihatkan kepada suaminya. Abas segara saja menoleh kebelakang lalu berlari menghampiri.

Abas sudah berdiri berhadapan bersama Istrinya seraya menerima botol air tersebut, tatapannya begitu bahagia membuat Fani tersenyum dan tangannya terangkat mengelus rahang tegas suaminya.

“Mas, jangan nakal di sana dan dengarkan apa perkataan Sahron,” usapan tangannya masih belum berhenti bersama menasihati suaminya, “kalau mas lelah, berhenti istirahat sebentar dan jangan lupa minum air putih, dengar mas?.”

Abas mengangguk cepat. “Iya!.” tiba-tiba saja

kepalanya maju kedepan sejajar dengan wajah Fani, matanya membelalak tanpa menduga sama sekali bahwa suaminya itu memberikan kecupan kilat di bibirnya dan lalu Abas menyengir lebar.

Abas menuruni tangga teras depan sembari melambaikan tangan kepada Istrinya yang masih mematung.

“Dah!, Abas mau main dulu dengan Sahron!.”

teriaknya bersemangat, setelah itu Abas berlari mengejar Sahron menunggu di depan rumah.

Sahron tersenyum kecil melihat dari kejauhan bahwa tadi kangmasnya mencium Istrinya secara terbuka, bahkan kakak iparnya itu masih dalam keadaan terkejut dan diam-diam ada semburat kemeran di wajahnya.

***

Selama dua jam penuh. Abas bersama Sahron bermain berdua di lapangan basket. Sahron sudah kelelahan tetapi kangmasnya itu masih bersemangat tanpa mengenal lelah, dari pertama mengajak pemanasan, lari lapangan dan terakhir mengajarkan kangmasnya bermain basket.

Sahron rebahan di lantai lapangan, istirahat sejenak merenggangkan otot-otot tubuhnya. Abas juga ikutan rebahan di sebelah adik bungsunya itu, tubuhnya berpeluh keringat sudah seperti orang mandi.

“Sahron, Abas haus...” Abas mengeluh memberitahukan kepada Sahron segera mengambilkan botol minuman yang sudah di sediakan mbak Fani.

Abas segera meneguk air putih dalam botol tersebut dengan cepat, sangat kehausan sekali.

“Mas, apa mas tidak ingat tempat ini?” tanya Sahron ingin membantu mengembalikan perlahan ingatan kangmasnya.

Abas tak bergeming, tatapannya memandang langit biru begitu tampak cerah. Sahron menghela napas, ternyata kangmasnya itu malah mengabaikan pertanyaan seriusnya.

“Lapangan ini adalah tempat kesukaan mas Abas berkumpul bersama bapak-bapak yang tinggal juga di perumahan sini, sekedar bermain volly karena itu permainan kesukaan mas”

“Apa mas sama sekali tidak mengingatnya tempat ini, barangkali mas mengingat biarpun tidak begitu jelas” sambung perkataan Sahron, perkataannya memang terdengar memaksa untuk kangmasnya supaya kembali mengingat.

Sahron geregetan, lantaran kangmasnya sama sekali tidak memberikan petunjuk untuknya.

“Abas tidak ingat..., apapun” jawabnya dengan nada datar.

“Perempuan itu?”

Abas mengangkat sudut bibirnya. “Tentu saja mengingat Fani.”

Abas mengangkat satu tangan kanan menunjuk mengarah kepada awan yang berbentuk seperti sekerumunan kapas putih bersih.

Sahron menghela pelan, sebenarnya bukan jawaban itu yang dia inginkan. Tidak masalah, sepertinya Abas secara diam-diam mulai menunjukkan perasaan suka kepada Istrinya itu.

“Sahron, Abas kepingin punya dede bayi.”

Sahron menyengir mendengarnya. “Itu urusan gampang, mas. Kalau mas mau punya dede bayi, mas harus asyik-asyik bersama Istri mas”

Abas mengernyit bingung akan perkataan Sahron tentang asyik-asyik. “Apa itu?,” tanyanya dengan bertampang polos.

Sahron mendadak tergugu, tidak harus menjelaskan secara detail kepada kangmasnya.

“Ya, bagaimana ya--intinya belum begituan sih mas”

“Begituan?”

“Aduh...!” Sahron bingung sendiri ingin menjelaskan kepada Abas, takutnya malah salah menangkap dan malah lebih parah mempraktrekkan dengan orang lain. Itu bisa berbahaya sekali.

Sahron berpikir keras mencari kata yang tidak vulgar untuk menjelaskan kepada Abas, akhirnya menemukan kata yang sempurna.

“Mas itu sebagai lelaki harus mengajak duluan, ungkapkan perasaan sayang mas kepada istri mas, itu membuatnya merasa di cintai”

Sahron mengajari kangmasnya itu sampai memperagakan dari gerak-gerakan tangannya, supaya kangmasnya dapat meniru perilaku lemah lembut tetapi tetap terlihat tegas di mata wanitanya.

“Lalu, Fani langsung hamil?”

Khayalan yang terpampang indah di hadapan Sahron mendadak langsung ambyar karena perkataan kangmasnya itu.

“Mana mungkin hanya berbicara seperti itu langsung hamil, memangnya bacaan mantra,” jengkelnya.

“Dengarkan baik-baik, mas nanti harus berbicara lembut kepada istri mas dan berbisik mesra katakan, sayang ayo kita main di ranjang. Mas di atas dan adik di bawah, setelah itu mas akan memasuki proses lebih khusyuk dan mendalam.” sembari berbisik supaya menjadi rahasia mereka berdua, bahwa Sahron yang mengajari kangmasnya, kemungkinan saja setelah berhubungan intim kangmasnya itu kembali normal.

Abas dengan cepat menganggukkan kepala, lantas bangkit berdiri kemudian secara tiba-tiba langsung berlari meninggalkan Sahron sendirian yang mengernyit heran.

Sahron mentertawakan kangmasnya itu yang terburu-buru sekali jika urusan ranjang, memang benar urusan ranjang membuat orang terkadang lupa diri.

“Fani...!!!. Abas mau main ranjang bersama Fani!.”

Abas berteriak dengan suara baritonnya sepanjang perjalanan, mendadak membuat Sahron yang tadinya sedang tertawa berubah terperanjat mendengar kalimat memalukan kangmasnya.

“Allahu akbar!. Mas Abas!, tunggu mas-- bukan harus teriak-teriak juga!. Asemeleh kowe mas!.”

Sahron bergegas mengejar Abas yang keduluan olehnya, bakalan merasa bersalah sudah membuat mbak Fani malu hanya karena ajaran yang dia berikan kepada mas Abas dan memang salah kangmasnya itu artikan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel