PART 6
Kenangan itu menyakitkan, semakin lama mengenang semakin pula terasa nyata terjebak nostalgia.
Tatapan mata penuh cinta itu tidak pernah berubah, mau bertampang marah sekalipun tetap memancarkan cinta yang tulus untuk kekasihnya. Lelaki itu adalah Farhan, tersenyum mesra sembari melambaikan tangan saat melihat kekasihnya baru saja keluar dari tempat bekerja.
Bibirnya terangkat tersenyum bahagia saat melihat wanitanya begitu cantik biarpun kelihatan lelah, tetapi menurut Farhan sendiri mau bagaimanapun penampilannya--kekasihnya tetap wanita tercantik di matanya.
Penampilannya sekarang berpakaian santai tetapi tetap sopan, tidak seperti perempuan lain kebanyakan yang begitu mementingkan penampilan. Kekasihnya itu cantik apa adanya, tentu saja Farhan beruntung sekali memilikinya yang tidak suka akan kemewahan atau berlebih-lebihan.
Kekasihnya berjalan menghampiri tidak lupa tersenyum manis, mereka berdua sudah saling berhadapan lalu Farhan tidak pernah melupakan untuk selalu mengecup keningnya sebagai tanda sayangnya. Farhan tersenyum gemas sembari
mengusap sisi muka kekasihnya menimbulkan rona kemerahan.
"Mas, tadi 'kan aku sudah kirim pesan jangan jemput, mas tidak baca pesan adik?" hela nafas Fani dikagetkan dengan kedatangan Farhan secara tiba-tiba menunggu kepulangannya, padahal dia sudah kirim pesan mengatakan tidak masalah menumpang sesekali dengan teman yang kebetulan satu arah jalan pulang. Ternyata, Farhan tetap keras kepala tidak mau mendengar perkataannya.
Fani yang tidak tahu-menahu kedatangan Farhan, lantaran sibuk sekali berkemas-kemas yang untungnya diberitahukan oleh Reda. Reda mengatakan bahwa tunangannya sedari tadi sudah menunggu diluar, menolak masuk kedalam biarpun sudah dipersilahkan untuk masuk.
Farhan lebih tahan menunggu berdiri bersandaran di luar mobilnya, sambil menghadap depan toko Backery yang terkenal menjual beragam kue terenak, tunangannya itu menunggu sambil sesekali tersenyum pada saat secara tak sengaja pandangan mereka bertemu.
“Mas bakalan tidak tenang kalau kamu pulang menumpang teman, kebetulan juga mas habis pulang nyantai bersama teman-teman dan sekalian saja mas menunggu kamu pulang,” ujar Farhan dengan nada lembut dan ada rasa khawatir di dalam benaknya sedari tadi, belum merasa tenang kalau kekasihnya pulang bersamanya.
“Mas itu sudah kebiasan begitu, alasannya selalu sama sedari dulu, sudah hafal kalau aku tidak boleh pulang bersama teman satu kerjaan.” gerutunya sedikit kesal.
Farhan tertawa ringan sembari membuka jaket hoodie yang masih terpakai ditubuhnya, lalu
beralih memakaikan jaket tersebut di tubuh wanitanya yang tersenyum malu-malu akan perilaku manis calon suaminya.
“Mas tidak mau kamu kedinginan, mari kita pulang sekarang nyonya Jowandaru.” godaan Farhan kepada Fani yang tertawa mendengarnya, dengan gentle Farhan membukakan pintu mobil untuk Fani seraya membungkukkan badan dengan tangan mempersilahkan masuk kedalam, memperlakukan calon Istrinya senyaman mungkin.
Fani berterima kasih kepada Farhan setelah itu masuk kedalam mobil duduk dengan tenang. Farhan ikut masuk kedalam kemudian menghidupkan mesin mobil menjalankan kendaraannya menuju pulang kerumah.
Dalam perjalanan menuju pulang. Farhan mengajak Fani mengobrol panjang lebar sampai ada sesuatu perkataan dari Farhan yang membuat Fani terkejut.
“Mas mau kamu gunakan uang itu untuk keperluan kamu, kalau kurang katakan saja kepada mas, mengerti sayang?”
Fani tentu saja terkejut, sebab calon suaminya itu mentransfer uang lumayan banyak, sekitar dua puluh juta kenomer rekeningnya. Fani sendiri tak tahu untuk apa uang itu, merasa tidak nyaman karena Farhan yang telah membiayai pesta pernikahan dan sedangkan keluarga mempelai wanita tinggal menikmati, tidak perlu sepeserpun mengeluarkan dana untuk mereka menikah.
“Mas, seharusnya kamu tidak perlu memberikan aku uang dan untuk apa mas uang sebanyak itu?”
Farhan menoleh sekilas dan tersenyum. “Besok lusa, kita sudah memasuki masa pingitan selama satu bulan, mas mau kamu gunakan uang itu untuk belanja keperluan kamu termaksud apapun itu, terserah kamu gunakan uang pemberian mas.”
Fani menggeleng pelan mengingat selama ini calon suaminya itu jika memberi terlalu berlebihan dan bahkan memanjakannya.
Bahkan juga, kartu ATM Farhan dengan percaya serahkan kepadanya bersama mengatakan tidak melarang kalau dia ingin berbelanja untuk keperluan menggunakan kartunya.
Fani hanya tidak percaya bahwa calon suaminya itu begitu percaya sekali kepadanya.
“Mas, bukannya dua minggu yang lalu kita berdua sudah belanja, mas. Semuanya kamu yang belikan, sudahlah mas jangan banyak mengeluarkan uang yang lebih baik uangnya kamu tabungkan untuk kehidupan berkeluarga kita nanti.” katanya menasihati Farhan hanya merespon tersenyum sambil mengulurkan tangan mengambil satu tangan wanitanya lalu mengecup punggung tangannya tanpa pengalihkan tatapan mengarah jalanan.
“Kamu itu prioritas mas sekarang dan seterusnya, untuk itu mas sudah memikirkan jauh sayang, bahkan sebelum bertemu dengan kamu,” katanya menjeda sebentar, “mas sudah menyiapkan tabungan untuk kelak kehadiran anak-anak kita nanti, Insyallah semuanya aman.”
Farhan menyakinkan kepada Fani bahwa tidak ada yang perlu wanitanya itu cemaskan, apalagi merasa bimbang menikah dengannya. Farhan selalu berbicara jujur kepadanya dan selalu terbuka tidak ada yang Farhan tutup-tutupi jika sedang terkena masalah atau kabar bahagia, bahkan juga memberikan kabar jika dirinya ingin meeting kesesuatu tempat atau berkumpul bersama teman-teman sehabis pulang kerja.
Fani ikut tersenyum senang mendengar ucapan Farhan barusan, dia begitu bahagia sekaligus merasa beruntung mendapatkan calon suami yang sesuai dengan keinginannya, berhati baik serta ramah, mencintainya secara tulus dan mencintai semua keluarganya.
Tidak terasa seakan waktu berlalu begitu cepat,
mereka sudah sampai di rumah kedua orang tuanya Fani. Malam ini, malam terakhir mereka bertemu dan juga terakhir Farhan mengantar jemput wanitanya bekerja atau sekedar malam mingguan.
Mereka berdua masih terdiam didalam mobil, saling bertatapan dengan penuh arti dan didalam hati masing-masing saling mengatakan bakalan merindu tidak ada berkomunikasi selama satu bulan.
Pastinya akan membuat mereka berdua saling merindukan satu sama lain, itu bakalan membuat mereka tersiksa, terutama Farhan sendiri tak bisa terlalu lama berjauhan dengan wanitanya dan harus bisa menahan hawa nafsu tidak menghubungi calon Istrinya membiarkan dia untuk persiapan mempercantik diri.
Biarpun calonnya itu sudah berparas cantik nan anggun tanpa make up sekalipun. Tetapi sudahlah, Farhan tidak bisa banyak mengatur hanya serahkan saja bagaimana baiknya dan mereka berdua hanya bisa menuruti adat istiadat menikah.
“Adik, nanti tampilan riasan kamu jangan terlalu cantik. Mas tidak mau kamu terlalu cantik, nanti menjadi pusat perhatian para tamu lelaki, karena kecantikan kamu hanya untuk mas” kedua tangan mereka saling bergenggaman masih belum enggan Farhan melepaskan wanitanya keluar dari dalam mobilnya.
“Justru itu mas, adik mau bikin mas pangling nanti" senyum kecil Fani menatap mesra wajah Farhan, malam ini dia ingin melihat wajah nyata calok suaminya bukan lewat photo yang tersimpan banyak dalam galery handphone miliknya. Fani ingin nyata seperti sekarang, memberanikan diri mengelus dari hidungnya yang mancung dan menurun kebawah rahang tegasnya.
Merasakan elusan lembut tangan Fani disetiap wajahnya, membuat Farhan berdesisi seraya memejamkan mata menaikmati, tangan Farhan bergerak keatas menggengam tangan halus tersebut yang berada di pipinya.
“Mas sayang dengan kamu... Fani” suara Farhan berubah terdengar dalam dan parau dan tatapannya berkabut menatap penuh perasaan cinta dimata calon Istrinya itu.
“Iya mas, aku juga sayang mas. Mas, jangan banyak beraktivitas di luar dan juga jaga kesehatan, jangan sampai sakit apalagi buat aku khawatir dengan mas.” nasihat Fani berkata lembut tidak ingin orang yang dia cintai terjadi yang tidak diinginkan, hanya berdoa berharap Farhan selalu diberikan perlindungan sampai mereka bertemu di hari akad nanti.
“Kalau begitu aku keluar dulu, mas” baru saja Fani hendak berbalik badan dan tangannya sudah ingin membuka pintu mobil, tetapi secara mendadak lengannya di tahan oleh Farhan, membuatnya langsung menoleh berbalik menghadap belakang.
Pada saat itu, Farhan memberikan ciuman singkat pada bibir manis wanitanya.
“Mas...” suaranya mendadak terbata-bata lantaran ini adalah ciuman pertama dibibirnya, berciuman begitu intens. Sebelum itu, mereka hanya sering mengecup kening dan pipi,
tidak pernah sampai berciuman yang telah berhasil membuat jantungnya memompa lebih cepat seperti sekarang ini.
“Shhh... untuk satu bulan sayang, hanya ciuman untuk membayar satu bulan, berikan kepada calon suami kamu ini.” Farhan berdesis seraya
memohon, tatapannya berubah lebih mendalam bersama satu tangannya menurun mengambil tangan Fani meletakkan di atas pundaknya, lalu
satu tangannya lagi bergerak pelan kebelakang tengkuk Fani memajukan perlahan-lahan dengan pasti bibir mereka bersentuhan.
Kesan kenangan manis telah berlalu, akan tetapi selalu saja terkenang setiap saat. Keadaan yang begitu menyakitkan saat mengetahui itu adalah perpisahan mereka, bahwa calon Istrinya menjadi Istri kangmas-nya sendiri.
Dalam keadaan berbaring dengan satu lengan yang tertekuk jadikan bantalan untuk kepalanya, rebahan di sofa teras luar balkon dengan tatapan menatap langit biru. Setiap kali Farhan memejamkan mata, bayangan perpisahan hari itu sangat menyakitkan, pacaran selama satu tahun dan satu bulan masa pingitan.
Akhir perjalanan kisah cintanya, malah bukan menjadi miliknya seorang. Begitu menyiksa perasan tidak bisa menahan amarah dari kecemburuan, jika melihat calon istrinya berdekatan bersama Abas malah juga membela kangmas yang sedang sakit seperti itu.
Farhan terlalu kecewa akan semuanya, sampai dirinya tidak bisa membedakan ini nyata ataukah tidak. Apa dia harus mengalami gangguan kejiwaan terlebih dahulu, supaya menarik perhatian wanitanya kemudian dapat melupakan serta meninggalkan Abas.
Farhan ingin melakukan sesuatu untuk melampiaskan amarahnya, tetapi dia hanya bisa bersabar mungkin bersabar adalah jalan terbaik untuk sekarang, jangan sampai membuatnya bertindak gegabah apalagi semakin membuat wanitanya malah membencinya. Farhan sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi kalau wanitanya membencinya bahkan sampai tak mau bertegur sapa, jangan membuat dirinya semakin bertambah buruk dengan menebalkan goresan luka didalam hatinya.
Farhan bergerak beralih duduk segera merogoh saku celana mengeluarkan handphone, lantas menekan nomer kontak seseorang sembari menunggu panggilan terjawab.
“Malam nanti aku tunggu di tempat biasa, semuanya harus datang. Aku hanya ingin menanyakan hal serius kepada kalian semua.”
***
Dalam kamar yang bernuansa dingin. Fani berbaring sambil memeluk tubuh Abas sembari mengelus punggungnya supaya suaminya itu merasa nyaman dan lebih tenang sehabis mengamuk tidak terkendali tadi, kepala mas Abas berada di atas dadanya dengan satu lengan memeluk perutnya. Sedari tadi suaminya itu tidak ada berbicara apapun, dia hanya terdiam termenung dengan mata mengerjap tidak tertidur.
“Mas, ada yang sakit?” bertanya penuh kelembutan dan bersabar. Mereka sudah cukup lama saling terdiam tanpa berbicara, usapan tangan Fani beralih mengusap lengan kokoh Abas masih diam belum mau menjawab.
“Kepala Abas pusing, Fani” Abas akhirnya berusara tetapi terdengar mengeluh bersama
suaranya serak basah, mungkin karena tadi berteriak terlalu kuat menjadikan suaranya seperti terkena batuk.
Fani berwajah lirih mulai secara perlahan tangannya bergerak memijat secara perlahan pelipis suaminya supaya meringankan pusingnya.
“Mas, jangan memikirkan apapun dan jangan dengarkan perkataan orang lain, mas bukan stress atau hinaan apapun lainnya. Mas sudah menjadi diri mas sendiri selama ini dan adik sayang dengan mas” perkataan itu begitu serius dengan perkataan cinta untuk suaminya, berharap suaminya itu tidak mengamuk lagi karena memiliki seorang Istri yang bakalan selalu ada untuknya.
Abas mendongakkan kepala menatap sendu wajah cantik Fani, Istrinya itu tersenyum lembut kepadanya.
“Abas tidak mengerti Fani bicara apa” katanya tidak bisa memahami apa yang Fani ucapkan. Abas tidak memikirkan apapun, melainkan sekarang kepalanya yang berdenyut membuatnya pusing.
“Mas, dengarkan saja perkataan adik. Terpenting mas jangan memaksakan diri untuk mengingatnya ingatan yang berat. Fani tidak mau mas kenapa-kenapa atau bisa saja memperparah keadaan mas sekarang” nasihatnya lembut secara perlahan-lahan supaya suaminya itu dapat memahami.
Abas hanya menganggukkan kepala setelah itu menunduk mendusel-duselkan wajahnya di dada Istrinya, langsung tertawa kecil merasakan geli.
“Kenapa mas, mau pelukan sayang?” pertanyaannya tidak dihiraukan oleh Abas, suaminya itu malah asyik sendiri masih menggesekkan wajahnya di tubuh Fani yang masih tertutup dengan pakaian.
Abas mendongakkan kepala terlihat sedang berfikir. “Abas tidak bakalan di pukul 'kan?,” tanyanya polos membuat Fani tersenyum mengelus rahang tegas suaminya.
“Mas boleh minta apa saja dengan adik, adik juga tidak akan mukul mas Abas. Maafkan mas Farhan ya mas, mungkin tadi khilaf mukul dan marah dengan mas.” ujar Fani menjelaskan kepada Abas masih diam menatap wajahnya.
“Abas mau minta nenen sama yang lain..., Abas takut dimarah” reaksi suaminya memang terlihat ketakutan, menggelengkan kepala menolak tidak mau.
"Mas tidak boleh sembarangan bicara seperti itu kepada orang lain, mas hanya boleh mengatakan itu kepada Istri mas sendiri. Adik ini istri sah mas Abas.” kata penagasan Fani tidak mau nanti malah menjadi salah didikan suaminya.
Abas berwajah bingungnya, tetapi mau menganggukkan kepala menuruti perkataan Fani. Fani ingin menuruti permintaan suaminya.
Abas merentangkan tangannya memeluk tubuh Fani sangat hangat penuh kelembutan kasih sayang.
"Tadi Abas menonton film Ibu menyusui, apa Fani juga ada seperti itu?"
Fani tersenyum mendengar penjelasan suaminya. “Kalau mau ada air susunya bearti itu tunggu ada dede bayi dulu, mas”
“Dede bayi? Apa ada di jual?" tanyanya polos, membuat Fani tertawa gemas dengan suaminya yang lucu sekali setiap kali berkata.
“Dede bayi itu tidak dijualbelikan, mas. Nanti, dede bayi ada tumbuh di dalam sini.” diambilnya tangan suaminya lalu meletakkan telapak tangan mas Abas di bagian atas perutnya. Abas melebarkan matanya langsung menunduk menatap terus kearah perut rata Istrinya.
“Apa sekarang sudah ada dede bayi di dalam sini?”
Fani menggeleng pelan menatap wajah antusias suaminya itu. “Belum ada mas, perut adik masih kosong.”
Abas mengkerutkan kening mendengarnya.
“Kenapa belum ada? kapan dede bayi datang?. Abas mau cepat punya dede bayi di dalam sini.”
Penasaran suaminya begitu luar biasa, tiada henti beralih menatap perut rata Fani dan tersenyum sendiri.
Fani tentu saja terlihat bingung, berfikir sejenak mencari jawaban yang tepat untuk menjelaskan kepada suaminya. Tidak mungkin dia harus mengatakan perkataan dewasa kepada mas Abas, kalau mereka ingin segera punya anak mereka harus melakukan hubungan suami-istri terlebih dahulu. Fani tidak ingin pemikiran suaminya yang masih polos berubah menjadi ternodai. Bagaimana harus menjawabnya.
