Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 5

Farhan berjalan memutari meja makan dengan tatapan menggeram menghampiri Abas. Abas sendiri bertampang polos bak anak kecil yang tak tahu maksud dari tatapan Farhan, hanya terdiam berdiri di samping Fani sembari menyentuh lengannya seolah mencari perlindungan.

Farhan sama sekali tidak ada merasakan kasihan terhadap Abas, malah sebaliknya semakin menyorotkan tatapan kemurkaan ingin mengajaknya berkelahi layaknya pria sejati, lantas tentu saja segera menepis kuat tangan Abas yang menyentuh wanitanya.

Bukan hanya menepis, Farhan mendorong kasar tubuh Abas supaya menjauh dari Fani sontak saja terkejut apa yang telah Farhan lakukan barusan sudah keterlaluan kepada kangmas sendiri.

"Apa yang kau bicarakan, Abas?!. Aku sudah mencoba bersabar melihat kelakuan manjamu, kamu sudah kelewatan kepada kekasih adikmu sendiri!," tunjuk Farhan tepat di wajah Abas berjalan mundur perlahan karena ketakutan sampai menabrak meja makan.

Farhan tersulut oleh emosi, merasa sangat tidak terima akan ucapan Abas barusan yang suka sekali asal berbicara yang tidak-tidak. Apalagi itu menyangkut dengan kekasihnya, Fani.

"Sepertinya otamu bergeser menjadi stress akibat kecelakaan itu!, atau kau sudah kembali sadar dan berpura-pura menjadi Idiot hah?!!" hardik Farhan merasa curiga terhadap Abas, aneh saja kenapa bisa mengetahui omongan tersebut. Selama empat bulan ini, Farhan yakin bahwa Abas sudah kembali normal, hanya saja berpura-pura mencari simpati dari Fani bermaksud meminta mengurus semua keperluannya layaknya seperti 'babu'.

Fani menggeleng cepat, pertengkaran ini harus segera dia meleraikan. Perlahan menarik lengan Farhan supaya menjauh tidak menyudutkan mas Abas dan seketika Farhan yang tadinya naik pitam mendadak menoleh menoleh menatap Fani. Farhan menghangat sejenak, sebab kekasih yang dia cintai masih perduli bahkan mau menyentuhnya.

"Mas!, kamu bicara apa barusan?. Kamu tidak jelas kalau mas kamu ini bukan stress, tetapi sindrom dan bukankah ada hasil pemeriksaan dari dokter yang sudah menjelaskan semuanya?,” kata Fani yang kedengaran tidak terima akan hinaan Farhan kepada suaminya, “mas kamu ini butuh bimbingan mas, tidak seharusnya kamu main asal bentak seperti itu.”

Fani dengan perkataan lembut menasehati Farhan supaya lelaki itu mengerti keadaan kangmasnya sendiri, lihatlah tampang suaminya itu berubah seperti patung dengan wajah pucat. Belum sempat Fani mendekat ingin menenagkan suaminya, mas Abas langsung berlari meninggalkan mereka.

“Sayang, dia memang sering kelewatan dalam berbicara. Mas tidak menyukai itu, Abas memang harus di tegasi sekali-kali." ujar Farhan menahan pergelangan tangan Fani yang saat hendak mengejar suaminya.

Fani menoleh menatap bersabar, dia lelah menasehati Farhan supaya mengerti keadaan Abas, ternyata Farhan lebih menyusahkan untuknya.

“Tegas kamu itu kelewatan, mas." lalu menepis tangan Farhan, setelah terlepas Fani segera berjalan cepat menuju kamar suaminya.

Sesampainya di depan pintu kamar, Fani tersentak karena dobrakan keras pintu kamar yang tidak tanggung-tanggung dan itu adalah perbuatan suaminya sendiri.

Fani segera saja mengetuk pintu berulang kali sembari memanggil suaminya berharap membukakan pintu untuknya supaya masuk, tentu saja kecemasannya menjadi lantaran mendengar suara bariton Abas dan suara amukannya dari dalam kamar. Kejadian ini terulang kembali, membuat jantungnya berdebar ketakutan dikala suaminya itu di dalam sudah bisa di bayangkan seperti orang menggila.

"Kenapa?!!!, kenapa orang selalu bilang Abas stress?!!!" Abas membanting semua barang yang dia lihat, bahkan membongkar semua pakaian berada di dalam lemari sehingga bertaburan sesukanya.

“Abas stress!.” teriaknya nyaring sehingga menggelegar di penjuru ruangan kamar, jemari tangannya yang besar mengepal keras bahkan Abas tidak memperdulikan punggung tangannya yang terluka goresan karena terkena serpihan lemari kaca yang secara sengaja Abas pecahkan dengan sekali pukulan.

Fani masih setia menunggu di luar kamar hanya bisa menangis mendengar suara besar suaminya, suaranya begitu membuatnya ketakutan bahkan

bahkan kakinya tidak bisa begerak sama sekali ingin melangkah masuk menenangkan suaminya. Fani ingin mengatakan kepada mas Abas bahwa semua yang di katakan Farhan tidaklah benar, suaminya normal. Bahkan sangat normal sekali, hanya saja orang lain yang melihatnya dengan cara yang berbeda.

Sentuhan di pundaknya yang bergetar membuat Fani segera menoleh, beruntung mendapati Sahron berdiri di sampingnya, air matanya turun deras tidak bisa terbendung lagi dan bahkan tidak juga memperdulikan menangis dihadapan Sahron untuk pertama kali.

Sahron menatap kasihan, mengerti sekali bagaimana perasaan kakak iparnya dalam keadaan yang tidak terduga suaminya mengamuk tidak jelas, itu hal wajar untuk orang awam yang belum mengenal dekat kangmasnya.

“Mbak jangan masuk, berbahaya kalau mas Abas sedang kambuh seperti ini. Ini memang sudah sering terjadi kalau ada orang bilang dia stress dan dia mulai mikir keras kenapa dengan dirinya sendiri. Biarkan aku saja yang masuk kedalam, nanti sekalian tak suruh mas Abas minun obat penenag." ujar Sahron berbaik hati sekaligus menenangkan Fani masih menangis cemas, segera mengangguk iyakan berharap Sahron bisa menenangkan suaminya yang sedang kambuh emosionalnya.

Sahron memasuki kamar Abas dan menutup pintu kamar itu. Fani yang berada di luar hanya bisa berdoa berharap suaminya tidak bertindak nekat apalagi membahayakan dirinya dan melukai Sahron.

“Mbak Fani, tenang mbak jangan panik. Mas Sahron bisa menenangkan mas Abas, karena mas Abas berteman baik dengan Sahron dan dia suka nurut apa yang Sahron katakan," Rosidah juga mendengar suara keributan dari anak majikannya tersebut, buru-buru dia datang menghampiri Fani yang kelihatannya shock sekali.

Rosidah menyakinkan Fani akan perkataannya barusan, berharap Fani tidak terlalu cemas karena memang ini adalah pengalaman pertamanya melihat keadaan Abas sedang kambuh seperti sekarang.

Fani mendadak merasa lemas, tidak bisa membayangkan saat itu suaminya masih sendirian tidak ada yang membelanya sama sekali, mendapatkan pukulan saja mas Abas hanya terdiam tidak mengelak, itu sudah membuktikan bahwa mas Abas masih terkait dengan sindrom.

Salma bergegas datang saat mendengar suara kegaduhan dari dalam kamar Abas, di depan pintu kamar putranya dia bertemu Rosidah sedang mengusap-ngusap bahu Fani yang terlihat sedang menangis dalam diam menteskan air mata.

“Ada apa ini?" heran Salma menatap mereka berdua. Tetapi, belum sempat mereka menjawab, Sahron keluar menghela nafas dengan tubuh berkeringat berjalan menghampiri Salma menyentuh tangan Ibunya.

"Bu, mas Abas masih marah menolak minum obat. Bagaimana ini, bu?" tanya Sahron kepada Ibunya seraya menunjukkan obat yang berada di tangannya masih utuh.

"Kenapa mas kamu bisa marah sampai amuk-amukan seperti itu?," tatapan Salma menyelidik beralih mereka bertiga.

Fani hanya diam saat Ibu mertuanya menatap sinis kearahnya dan kelihatan sekali mencurigainya. Ingin berkata menjelaskan supaya tidak salah paham, tetapi ditahan oleh Sahron memberikan kode dari tatapannya mengatakan tidak perlu, karena Sahron tahu andaikan kakak iparnya itu mengatakan kalimat tersebut bakalan tidak enak hati dan berunjung malu.

“Kangmas minta peluk sayang dengan kekasihku, aku yang memarahinya mengatakan stress dan penyakit andalanya kambuh lagi." ucapan enteng itu datang dari Farhan berdiri diantara mereka. Salma berbalik badan menatap wajah putra keduanya dengan mengkerutkan kening.

“Sudah cukup! Ibu lelah kalian bersaudara terus berkelahi tiada habisnya!” bentak Salma menatap marah kearah Farhan, mereka semua terkecuali Farhan tersentak kaget lantaran baru kali ini Ibunya membentak. Salma sedari dulu tidak pernah menunjukkan sisi marah kepada anak-anaknya bahkan sampai ketiga anak lelakinya tumbuh dewasa.

“Ibu lelah mendengar dari semua orang bahkan dari dalam persaudaraan kalian mengatakan Abas stress!, tidak mengertikah perasaan Ibu jika mendengar kalimat itu pasti juga merasaakan terluka?. Ibu yang melahirkannya dan Abas bukan terlahir stress, bahkan ada satu keluarga wanita yang mengatakan dengan mudahnya anak-ku itu autis!,” Salma geram akan hinaan tersebut, kalimat terakhir tersebut menyindir seseorang yang tadinya menatap Farhan beralih menatap kearah menantunya.

Fani terdiam dengan bibir bergetar menduga bahwa maksud dari perkataan Ibu mertuanya tak lain adalah dari keluarganya sendiri.

“Selama ini Ibu hanya diam, Ibu selalu dianggap sebagai orang jahat menggekang Abas keluar. Itu supaya putraku tidak di hina dengan orang lain, dia dari bayi terlahir normal!, bahkan Abas lebih pintar dari kamu Farhan!,” tidak ada seorang Ibu yang memanding-bandingkan anaknya, tetapi Salma hanya terlampau lelah dan kecewa dengan mereka berdua yang suka sekali bermusuhan.

“Abas itu bisa saja dengan mudah menjadi seorang dokter, tetapi apa?. Kangmas kamu hanya ingin bekerja kantoran meneruskan pekerjaan Ayah, dengan baiknya Abas menyerahkan pekerjaan cabang baru atas nama kamu, nak!. Kenapa saat kangmas kamu sakit kamu malah mengatainya seperti itu?!.”

Farhan hanya menggeram, tangannya mengepal kuat menatap sang Ibu. “Aku sama sekali tidak perduli dengan ucapan aku itu adalah benar dan kenyataan. Ibu tidak ingat apa yang Ibu katakan?, Ibu sendiri yang menggagalkan pernikahan aku bersama Fani!. Ya!, aku masih mencintai dia bahkan sangat sekali!, kenapa Ibu lakukan itu kepada kami yang saling mencintai dan ditakdirkan untuk bersama. Aku tidak terima bahwa dia bersama dengan Abas!.”

Salma langsung menyentuh kepalanya yang mulai terasa pusing setelah marah-marah kepada mereka semua, sepertinya darah tingginya kambuh.

“Farhan, dengarkan Ibu. Kamu sendiri yang mengatakan untuk membatalkan pernikahan kalian, kamu juga marah-marah dengan Ibu. Adikmu ini menjadi saksi saat kejadian itu, adikmu ini dengan berbaik hati membopogmu saat kamu mabuk berat meracau tidak jelas," berulang kali Salma menjelaskan kepada Farhan, supaya anaknya itu mengerti dan berharap lihatlah kenyataan.

“Ibu mohon dengan kamu, Fani sudah menjadi Istri Abas. Jangan mentang-mentang Ibu izinkan kamu tinggal disini mau mencari kesempatan dalam kesempitan. Apalagi kalian berdua kedapatan masih menjalani sebagai sepasang kekasih memanfaatkan sakitnya Abas." sindir Salma menoleh menatap Fani sekalian mengingatkan mereka berdua akan statusnya masing-masing.

“Perempuan itu banyak di permukaan bumi ini bukan hanya satu, nak. Kamu itu tampan berkarisma dan tidak perlu khawatir mempersoalkan jodoh, Ibumu ini akan mencarikan jodoh yang terbaik untukmu tetapi belum sekarang. Jangan khawatir, biarkan Ibu istirahat dengan tenang tanpa keributan lagi.”

Salma berkata enteng menasehati Farhan menahan geraman lantaran Ibunya sama sekali tidak paham bagaimana cinta sejati itu, mana mungkin Farhan mencintai orang lain sedangkan didalam hati dan pikiran tertuju kepada Fani.

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Salma melangkah. Akan tetapi, baru beberapa langkah

langkahannya terhenti dan berbalik badan lagi sekarang menatap kearah menantu.

“Ibu lupa memberitahukan kepada kamu bahwa Abas itu suka meniru apa yang dia lihat, jadi tolong kamu segera menuruti perkataannya karena Ibu tidak mau terulang kembali kehebohan seperti ini, malu jika sampai didengar tetangga.” Salma berucap tegas menatap Fani menjawabnya dengan mengangguk mengerti.

Fani begitu kecewa hanya bisa menangis kembali setelah usai keteganggan yang baru saja terlalui. Farhan menoleh menatap wanitanya, menatap lirih sembari tangannya mengusap secara kasar wajahnya. Farhan melangkah mendekati Fani ingin menenagkan kekasihnya. Tetapi, tiba-tiba saja Sahron menghadang jalannya tidak mengizinkan dirinya untuk mendekat.

Farhan menghela nafas kasar mengerti bahwa sekarang bukanlah keadaan yang tepat jika mereka ingin berdekatan, apalagi masih ada Sahron di antara mereka dan dia pasti bakalan mengadu ke Ibu. Farhan tidak ingin Fani disalahkan oleh Ibunya kembali, lebih baik sekarang dia cari aman untuk kali ini.

Farhan akhirnya mengalah berlalu pergi meninggalkan Sahron. Fani masih berdiri di depan kamar Abas, tadinya suara keributan dari dalam sekarang terdengar senyap tidak terdengar apapun. Fani berniat masuk kedalam merasa tidak tega mas Abas sendirian saat masa terpuruk tanpa ada teman menamani.

"Mbak mau masuk ke dalam, terima kasih sudah mau membantu." senyumnya samar menoleh menatap Sahron dan kembali menunduk menghapus air matanya lagi, dia tidak mau terlihat cenggeng oleh siapapun.

"Mbak yakin?, siapa tahu Abas masih marah di dalam. Aku tidak mau mbak kenapa-kenapa," perhatian Sahron membuat Fani kembali tersenyum.

Fani tidak berkata apapun setelah berterima kasih kepada Sahron, membuka kenop pintu masih dilihat dengan Sahron berdiri di belakang tubuhnya tanpa bergerak posisi melihat Kakak Iparnya itu menutup rapat pintu kamar. Sahron masih belum melangkah, dia menunggu sampai beberapa menit sampai dengan yakin kalau menurutnya sudah merasa aman barulah Sahron melangkah meninggalkan kamar mas Abas, berharap mereka selalu baik-baik saja.

***

Fani melangkah perlahan memberanikan diri masuk kedalam, tubuhnya terdiam bersandaran di balik pintu melihat sekeliling keadaan ruangan dalam kamar begitu berantakan. Pakaian berhamburan, serpihan kaca, mainan bertaburan di mana-mana dan televisi berukuran besar itu tergeletak di lantai, membatin mungkin suara benda keras yang di banting oleh suaminya berasal dari televisi tersebut.

Fani melangkah mencari keberadaan mas Abas sambil berjaga-jaga tentunya, sembari menoleh kenanan dan kiri. Akhirnya, menemukan suaminya sedang duduk tepian ranjang dengan tatapan kosong menatap satu arah, hati Fani terasa begitu sakit mendapati suaminya seperti itu bahkan tidak menolah saat Fani sudah duduk berada di sampingnya.

"Mas?" panggil Fani bersuara lembut memberanikan diri menyentuh tangan suaminya terasa dingin dan bergetar.

Abas ternyata mau menoleh menatap Fani, itu adalah sesuatu yang mengejutkan. Tatapan mata tajamnya berubah sendu dan terlihat kacau, tanpa berkata apapun langsung menghambur kepelukan Fani membalas pelukan suaminya kembali menangis meneteskan air mata, memeluknya tubuh besarnya dengan penuh perasaan perhatian.

Sungguh kasihan melihat suaminya dalam keadaan seperti ini pasti membuat mas Abas berpikir keras kenapa semua orang mengatainya stress dan bertanya-tanya dengan dirinya sendiri siapa sebenarnya dirinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel