PART 4
“Fani!!... Fanii?!.” Abas bersuara bariton memanggil Fani. Mencari wanita itu kesana-kemari setelah kedapatan dia terbangun dari tidur sudah tidak menemukan Fani rebahan di sebelahnya.
Fani yang sedang berada di dapur tengah menyiapkan sarapan, terkejut mendengar suara besar Abas menyebutkan namanya. Fani segera membasuh tangan sampai bersih, setelah itu mencari arah suara Abas hendak menghampiri suaminya.
“Mas!, mau kemana?” dengan cekatan Fani menahan tangan Abas, menemukan suaminya itu sudah memegang gagang pintu depan dan bersiap ingin berlari keluar. Beruntung langsung saja membawanya masuk, dan menutup pintu serta mengunci rapat supaya Abas tidak berkeliaran keluar tanpa ada pengawasan.
Abas langsung terlihat senang menemukan Fani, sudah dapat bernapas leluasa karena ternyata tidak pergi meninggalkannya. “Abas mencari Fani. Jangan menghilang lagi.” merengek seperti anak kecil menatap memohon kepada Fani.
Fani menjadi tidak tega mendengar rengekan Abas, membuat perasaannya bersalah. Fani tersenyum hangat bersama menggenggam satu tangan Abas, sembari tangannya yang satu lagi mengusap wajah suaminya sudah seperti mau menangis.
“Fani berada di dapur, mas. Tidak kemana-kemana, lebih baik sekarang mas mandi supaya segar setelah itu kita sarapan.” perkataan Fani begitu lembut kepada Abas. Memang sudah sewajarnya bicara kepada suami penuh dengan lemah lembut dan perhatian. Jikalau suaminya sedang menderita penyakit seperti ini, biasa membuatnya menjadi menurut tanpa berontak.
Abas mengangguk lemah menuruti perkataan Fani. Dengan begitu segera membawanya masuk dalam kamar mereka. Selagi suaminya itu sedang mandi, Fani menyiapkan pakaian santai untuk Abas. Setelah itu meninggalkan suaminya sehabis di beritahu kepadanya bahwa Isterinya ini ingin membantu menyiapkan sarapan untuk sekeluarga, dan bakalan menunggu kedatangan-nya menyusul di meja makan.
Fani kembali memasuki ruang dapur menemani Rosidah memasak. Rosidah adalah pembantu di rumah Ibu mertuanya. Mereka sedang sibuk menghidangkan masakan, seketika saja teringat ingin menanyakan sesuatu informasi kepada Rosidah. Berharap saja Rosidah mengetahui kronologi kenapa bisa suaminya seperti itu.
“Bu, saya boleh bertanya sesuatu?” Fani memanggil Rosidah dengan sebutan 'Ibu', karena beliau sudah kelihatan berumur. Begitu menghormatinya walaupun sebagai pembantu.
“Boleh saja, mbak. Mau nanya apa dengan, Ibu?” tanyanya balik. Rosidah sambil membersihkan meja dapur sedikit kotor bekas mereka berdua selesai memasak.
Fani mendekati Rosidah berdiri bersebelahan dengan wanita berumur tersebut, sebab dia tidak ingin orang rumah tahu apa yang akan mereka bicarakan nanti. Biarpun sebenarnya sudah di kasih tahu oleh Sahron, tetapi Fani masih merasa ada kejanggalan saja yang membuat semakin pemasaran dan butuh penjelasan lebih detail.
“Ibu sudah lama bekerja di sini?” berbasa-basi terlebih dahulu, supaya tidak di curigai.
“Belum lama mbak. Ibu baru empat bulan dua minggu bekerja di rumah ini.” jawab Rosidah jujur menoleh heran menatap Fani yang seperti berbicara berbisik.
Fani terdiam sebentar berfikir bahwa Rosidah tidak tahu apapun tentang kejadian Abas. Pasal-nya suaminya itu baru kecelakaan 4 bulan yang lalu masuk rumah sakit, dan hasil pemeriksaan terkena sindrom tersebut sampai bulan sekarang. Sayang sekali, Fani kecewa tidak bisa mendapatkan jawaban tentang suaminya dari orang dalam.
“Begitu, baru empat bulan. Semoga semakin kerasan disini, Bu.” senyum Fani sembari melanjutkan membantu berkemas, seketika saja pergerakannya berhenti saat Rosidah berkata sesuatu.
“Ibu senang sekali setelah Mbak Fani menjadi Istrinya Mas Abas. Mas Abas banyak sekali perubahan, biarpun masih hal-hal kecil. Tetapi sudah bagus sekali.” pengakuan Rosidah melihat perubahan anak tuan majikan, itu sangat bagus untuk kemajuan menuju kembali normal.
“Memangnya kelakuan Mas Abas bagaimana dulu, Bu?” rasa penasaran itu langsung muncul. Ingin mengetahui kelakuan suaminya sebelum menikah, yang sepertinya untuk hal ini Rosidah mengetahui.
“Ibu tidak ada bermaksud untuk memburukkan suami Mbak Fani, tetapi itu hanya lah kelakuan-nya terdahulu. Dan sekarang bersyukur sudah ada perubahan. Mungkin dari perkataan Mbak yang halus dan begitu bersabar mengurus suami seperti Mas Abas. Senang rasanya kalau melihat Mas Abas menuruti apa perkataan Mbak Fani yang begitu mujarab.” tutur Rosidah ikut bahagia, dan menjeda sebentar ucapannya.
Rosidah akan mengatakan yang sebenarnya, bahwa hanya dia seorang yang bertahan sendirian sebagai pembantu di rumah Ibu Salma. Pembantu yang lainnya sudah tidak mampu menghadapi kenakalan Abas. Mereka menyerah duluan, karena Abas hanya bisa membuat orang lain emosi saja setiap harinya.
“Dulu itu nakal luar biasa, tidak mau menuruti perkataan orang lain bahkan sama Bapak dan Ibu. Kalau di kasih tahu jangan, malah semakin menjadi. Mas Abas paling malas mandi, dulu ada pengasuh berganti-ganti sepertinya tidak tahan mengasuh mas Abas. Itu sebabkan perilakunya semakin nakal tidak mau mendengar, dan kalau marah atau merajuk suka menghancurkan barang apapun tanpa memandang itu benda mahal atau tidak. Sampai sekarang ini tidak ada yang mau menjadi pengasuh mas Abas, karena tingkahnya yang kelewatan nakal dan tidak bisa mendapatkan teguran.” pengakuan panjang lebar Rosidah menceritakan kejujuran semasa dulu kelakuan Abas.
Rosidah bernada pelan berbicara kepada Fani, takut terdengar Ibu Salma kalau mereka malah membicarakan anak tertuanya itu. Fani sampai di buat terperangah tidak menyangka bahwa sampai seperti itu kenakalan suaminya.
“Saya sendiri baru mengetahuinya, Bu. Terima kasih sudah memberitahukan kepada saya, saya bakalan berusaha sebisa mungkin membantu Mas Abas supaya ingatannya segera pulih kembali. Doakan saja, Bu.” tutur Fani bersungguh ingin membuat suaminya kembali menjadi lelaki sejatinya, dan walaupun bakalan susah. Tetapi Fani akan terus berusaha sampai Mas Abas sadar bahwa dia telah menjadi suami, berpikiran dewasa bukan kekanakan.
“Ibu sendiri yakin sekali, kalau tidak lama lagi suamimu akan kembali normal seperti dahulu.” Rosidah menyakinkan Fani. Percaya bahwa Isteri Abas ini bakalan bisa menyembuhkan ingatannya. Mereka berdua bersama-sama mengaminkan dan berdoa dalam hati mengharapkan ada keajaiban dari Tuhan untuk Abas nantinya.
Makanan sudah tertata di atas meja makan. Fani tinggal menunggu yang lainnya untuk berkumpul makan siang. Sebelum itu, dia berniat menemui Abas, sebab sedari tadi menunggu suaminya tidak datang kemari. Padahal tadi sudah di nasihatu, kalau sudah selesai mengenakan pakaian langsung datang kemari keruangan makan menghampiri Isterinya.
Melangkah menuju kamar. Tanpa terduga malah berpapasan dengan Farhan, membuat mereka berdua saling memandang dan terdiam. Fani merasa canggung, dan pada akhirnya dia harus bisa menahan diri kepada Farhan. Tetapi dia menemukan sesuatu, bahwa tampang Farhan kelihatan lelah dan mata mengantuk.
“Kamu habis dari mana, mas?. Kelihatan mengantuk sekali.” heran Fani melihat penampilan Farhan yang berantakan. Pria itu berdiri tepat di hadapannya sekarang.
“Apa kamu masih khawatir dengan, mas?” senyum ramah Farhan seraya tangannya ingin menyentuh tangan wanitanya, tetapi dengan cekatan Fani mundur selangkah menggeleng menolak.
“Terserah kamu, mas. Aku hanya bertanya tidak ada niatan apapun.” Fani berkata ketus, berniat kembali melangkah meninggalkan Farhan. Sebenarnya, itu bukan lah dirinya sama sekali. Berkata ketus kepada orang lain tidak lah sopan. Hanya untuk kali ini saja harus mengajari Farhan bahwa sekarang dan seterusnya, dia sudah menjadi Isteri dari kangmas-nya sendiri dan tidak ingin Farhan bertingkah kelewatan kepadanya.
Farhan hanya tersenyum miris melihat wanitanya melangkah pergi, badannya dari belakang membuat Farhan ingin sekali mendekap tubuh molek wanitanya itu. Jangan salahkan Farhan kalau dia mengakui kecantikan kekasihnya itu luar dalam, sungguh memiliki hati yang baik terhadap siapapun, itulah yang membuat Farhan jatuh cinta kepadanya.
Fani Kayahila, bisa membuat Farhan menggila sungguhan. Biarpun cinta mereka harus kandas, tidak ada kata menyerah dalam keyakinan Farhan. Tetap berusaha mendapatkan calon Isterinya kembali menjadi milik seutuhnya.
***
“Mas, sudah selesai mandi?” Fani menutup pintu kamar saat sudah masuk kedalam kamar mas Abas, dia menemukan suaminya malah sedang menonton televisi belum berpakaian. Tubuhnya masih basah dan handuk hanya dia belitkan di pinggang dengan asal-asalan.
Menghela nafas, Fani mendekati Abas berdiri di sampingnya. Pantas saja suaminya itu tidak ada keluar sedari tadi, ternyata sedang betah keasyikan menonton sendirian.
“Mas, ayo pakai bajunya dulu” Fani ingin membantu suaminya itu berpakaian, tetapi pergerakan tangannya terhenti. Fani mencium sesuatu yang harumnya sangat dia hapal sekali.
“Mas, kamu mandi pakai sabun apa?” tanyanya penasaran menunggu jawaban dari suaminya, seketika langsung menoleh bertatapan.
“Sabun botol di dalam kamar mandi, baunya harum jadi Abas pakai saja” katanya polos memberitahukan. Fani terkejut serta terperangah, sudah menduga itu adalah sabun kewanitaan miliknya. Memang salahnya sendiri menyimpan sabun itu di dalam kamar mandi, sama sekali tidak menyangka malah di pakai oleh mas Abas untuk menyabuni seluruh tubuhnya.
“Ya ampun, mass!. Itu-- itu sabun bukan untuk laki-laki mas, sekarang Mas bilas lagi badannya pakai sabun yang biasa saja” Fani dengan cepat menarik lengan suaminya supaya berdiri, tetapi malah suaminya itu langsung berlari mencoba menghindar membuat kain yang menutupi tubuh bagian pinggang langsung merosot jatuh kelantai.
Fani terperanjat melihat pemandangan tidak terduga untuk kedua kalinya, segera saja mengejar Abas takut keluar kamar dalam keadaan tidak mengenakan pakaian.
“Abas tidak mau mandi lagi!, mau pakai sabun di botol!” penolakam Abas tidak mau, cepat menggelengkan kepalanya. Untung saja, Fani bergerak cepat berhasil mengunci pintu kamar dan sandaran di pintu mencoba menetralkan jantungnya yang berdebar-bedar, karena tingkah kekanakan suaminya.
“Abas tidak mau mandi lagi, Fani.” katanya menatap memalas. Fani mengangguk-angguk iyakan langsung menggenggam tangan suaminya membawanya duduk tepian ranjang.
“Iya, kalau begitu sekarang pakai bajunya dan jangan seperti itu”
Fani mencoba lebih bersabar sembari membantu memakaikan pakaian suaminya dengan telaten. Abas hanya senyum-senyum sendiri sambil mencium tubuhnya yang harum menurutnya, membiarkan Fani menyisir rambutnya secara rapi sisir kebelakang menampakkan jelas wajah tampan suaminya.
“Sekarang mas sudah tampan dan wangi, kita keluar makan siang bersama” baru saja ingin keluar kamar membawa suaminya keluar, ketukan di pintu membuat Fani segera membuka kunci puntu dan mendapati Ibu mertuanya berdiri di luar kamar
“Mana Abas?” tanya Salma langsung kepada Fani.
“Ada, Bu. Silahkan masuk. Mas baru selesai mandi.” senyum ramah Fani mempersilahkan Salma masuk ke dalam.
“Fani, bisa Ibu bicara berdua dengan Abas?”
Fani mengangguk bolehkan. “Silahkan, Bu. Kalau begitu Fani mau ke dapur dulu.” Fani sedikit membungkuk melewati Salma, meninggalkan Ibu mertuanya itu bersama mas Abas di dalam kamar.
Salma melangkah masuk, menutup pintu kamar menghampiri putra pertamanya yang hanya diam melihat Ibunya.
“Ibu mau mengatakan sesuatu sama kamu, kamu dengarkan dengan baik perkataan Ibu dan jangan pernah kecewaan Ibu. Besok teman-teman Ibu mau datang kemari, kamu diam di dalam kamar bersama Fani yang bakalan menemani kamu di dalam kamar, mengerti bukan?” kata Salma memberitahukan kepada Abas berharap anak tertuanya ini tidak bertabiat nakal atau membuat kebisingan.
“Apalagi kamu main pukul-pukul orang, mau kamu ibu masukin di rumah sakit jiwa biar jauh sekalian sama keluargamu?” sambung Salma mengancam, berharap putranya ini mengerti apa maksud dari ucapannya barusan yang malah sebaliknya. Abas berwajah binggung tidak mengerti.
Abas yang tidak tahu hanya mengangguk-anggukan kepala. “Main dengan Fani, boleh?”
“Boleh, apa saja bebas. Kalian sudah menjadi suami-istri, terserah mau apa saja dengan Istrimu.” ujar Salma, setelah menurutnya cukup berbicara kepada Abas. Salma melangkah berlalu keluar kamar Abas. Abas tidak mengerti apa itu yang di maksudkan, suami- istri. Terpenting untuk Abas yaitu bebas bermain apa saja, segera berlari mendahulukan Salma terkejut akan tingkah mendadak putranya suka sekali membuat siapapun jantungan.
Abas berlari menuju dapur menghampiri Fani, di sana ternyata ada Farhan sedang makan duluan. Fani terheran-heran melihat suaminya itu malah berlarian kemari dan berdiri tepat di hadapannya dengan tersenyum menyengir.
“Ada apa mas?” Fani keheranan menatap suaminya itu terlihat berfikir sebentar, mungkin dia lupa ingin mengatakan sesuatu kepadanya.
“Kata Ibu, Abas boleh minta apa saja dengan Fani” katanya sudah kembali ingat, berkata menatap Fani mengernyitkan kening.
“Memangnya, mas mau minta apa?” Fani bertanya dengan nada lembut kepada Abas, malah membuat Farhan yang berada di tengah mereka menahan diri merasa sangat cemburu akan kedekatan mereka berdua, sudah berani di tunjukkan di hadapannya.
“Abas, Abas--” Abas berbicara terbata-bata karena takut memberitahukan kepada Fani. Abas hanya takut Fani memarahinya atau malah memukulnya sama seperti pengasuhnya dulu.
“Iya mas, mas kenapa?” sembari mengelus lengan kokoh Abas, supaya suaminya tidak merasa ketakutan kalau ingin berbicara kepadanya, “mas mau apa?, jangan takut begitu.”
“Abas mau peluk sayang sama Fani!.” Abas berkata lantang, membuat semua yang berada di sana terkejut bukan main dengan mata lebar membulat dan mengerjap.
Begitupun Farhan, lelaki itu refleks langsung tersedak terbatuk-batuk, rasanya lehernya terasa ada makanan yang menyangkut. Farhan tidak terima apa yang di ucapan Abas sudah sangat kelewatan.
Farhan berdiri seraya mengertak meja makan, arah pandandangnya menggeram kearah Abas hanya terdiam seperti orang biasa seakan tidak memiliki salah.
