PART 7
Anjani menatap lekat wajah tampan nan tegas suaminya Pandhu, saat tertidur pulas seperti inilah bagian kesukaan Anjani menatapnya saksama bahkan tanpa sadar tersenyum, sebab suaminya itu tampak tenang seperti perilaku lelaki normal lainnya tak kelihatan tingkah anehnya selama ini. Memeluk tubuh Istrinya semalaman, tidak ingin dilepaskan sampai menjelang terbit matahari.
Kecupan singkat Anjani berikan di kening Pandhu, keningnya mengkerut dan tubuh gagahnya itu mulai bergerak mencari kehangatan tubuh Anjani. Anjani tersenyum sembari merapatkan tubuh mereka berdua dan kepala suaminya itu menurun mengarah belahan dada tempat kesukaannya mendusel-dusel seperti anak kecil begitu kehausan.
“Mas, mandi dulu gih. Adik mau keluar bantu siapkan sarapan untuk semua.” kata halus Anjani sembari mengelus rambut gondrong suaminya.
Pandhu mendongak dengan tatapan setengah mengantuk. “Ya.” angguknya lemas lalu bangkit duduk dan turun ranjang diikuti Anjani mengambilkan handuk dan menyediakan pakaian santai untuk suaminya yang dia letakkan di atas tempat tidur.
Anjani keluar kamar melangkah menuju dapur, langkahannya berhenti sampai sana mendapati tidak ada siapapun. Biasanya, Ibu mertua sudah berada duluan disana dan akan tetapi kali ini sepertinya Ibu mertua ingin Anjani masak sendiri, tanpa berpikir panjang Anjani mulai menyiapkan sarapan sendirian dan sama sekali tidak masalah tak ada yang membantunya.
***
“Cari apa kamu, Bu?. Sampai belingsatan seperti itu” Mustofa menatap heran tingkah Istrinya yang seperti mencari suatu benda dan ruangan kamar habis berantakan karena ulahnya, juga kelihatan panik saat Mustofa keluar dari dalam kamar mandi.
"Ibu sedang cari kalung, Yah. Semalam Ibu letakkan di sini, atas nakas dekat lampu tidur" ujar Bilkah memberitahukan kepada Mustofa yang berjalan mendekat kearahnya.
"Kalung yang mana, Bu?"
Bilkah menghela napas sejenak sebelum memberitahukan kepada Mustofa. "Kalung pemberian Ibu kamu, Yah" gugupnya setelah itu, melihat reaksi terkejut dari suaminya.
"Apa?! Ibu bagaimana bisa sampai ceroboh meletakkan kalung turun-temurun pemberian Ibu sembarangan tempat?. Tidak mungkin hilang, mungkin Ibu lupa menyimpan atau terselip di suatu tempat, mari Ayah bantu carikan."
Mustofa ikut membantu mencarikan kalung pemberian Ibunya untuk Istrinya itu, kalung itu sangat berharga untuk Ibu karena kalung Itu pemberian dari Nenek moyang almarhum Darman, Ayahnya. lalu kalung itu diwariskan ke Rumini yaitu Ibunya dan sekarang sudah berpindah tangan menjadi milik Bilkah. Mustofa tidak bisa membayangkan kalau sampai kalung temurun itu hilang, dapat di pastikan Ibunya bakalan marah seharian.
"Ibu, kita sudah mencari sampai kamar ini sudah tidak ada bentuknya, kalung Ibu tidak ada didalam kamar, kalaupun ada kita berdua bakalan mendapatkan kalung tersebut dengan mudah, karena kalung berbeda seperti cintin nikah
" Mustofa berkacak pinggang setelah menggeser tempat tidur ingin memeriksa bawah kolong tersebut. Istrinya sudah memeriksa secara teliti, tetapi nihil menemukan benda tersebut.
Bilkah menangis takut misalkan Ibu mertuanya itu menanyakan dimana kalung tersebut, karena biasanya Bilkah selalu memakainya dan entah mengapa malam itu Bilkah ceroboh sekali ingin melepaskan kalung tersebut. Ingatan Bilkah masih kuat bahwa kalung tersebut dia letakkan di atas nakas sebelah lampu tidur.
"Ibu tidak bohong kalau tadi malam letakkan kalung itu disitulah dan Ibu masih ingat dengan jelas. Tidak mungkin hilang begitu saja," ujar Bilkah bersikeras menyakinkan suaminya.
Mustofa menyentuh pundak Istrinya dan memeluk tubuhnya mencoba menenagkan. "Lebih baik kita tanya keanak-anak, siapa tahu ada yang melihat kalung Ibu. Jangan sedih, kalaupun Ibu marah, Ayah akan selalu berada disebelahnya Ibu."
Mustofa segera berpakaian dan setelah itu keluar bersama Bilkah, mereka berdua menghampiri dapur dan disana sudah ada Anjani dan Pandhu.
"Kamu yang menyiapkan sarapan sendirian, nduk?" tanya Bilkah duduk disebelah suaminya dan mereka disambut Anjani melayani memberikan piring beserta menuangkan segelas air.
"Inggih, Bu. Semoga Ibu dan Ayah suka masakan aku" senyum Anjani setelah itu kembali duduk disebelah Pandhu tengah duduk santai sandaran.
Bilkah menghela napas menoleh menatap Mustofa dan kembali menatap Anjani. "Harusnya kamu itu dibantuin dengan Laina, anak itu memang tidak berperasaan. Lihatlah, matahari sudah timbul anak itu belum keluar dari dalam kamar." geruru Bilkah menyayangkan kelakuan Laina yang tidak pernah bangun lebih awal atau membantu menyiapkan sarapan.
"Tidak apa, Bu. Aku bisa masak sendiri, mungkin Laina lelah karena bekerja, jadi aku tidak seharusnya merepotkan," senyum Anjani, dia tidak ingin Ibu mertuanya mengomeli anak perempuanya itu, karena bisa sana nanti Laina tersinggung dan Anjani tidak ingin Laina semakin membenci dirinya.
Barusan saja mereka membicarakan Laina, wanita itu datang bersama suaminya Bagas. Mereka berdua duduk bersebelahan deretan Ibu dan Ayahnya. Selalu seperti itu, seakan-akan Anjani dan Pandhu diasingkan berdua berhadapan bersama mereka, tetapi Anjani tidak pernah berpikiran sampai sana dan dia menikmati duduk berdua bersama suaminya Pandhu.
Mustofa menatap Bilkah memberikan syarat kalau inilah saatnya untuk mereka bertanya, sebab belum ada eyang. Bilkah berwajah tak nyaman, kemungkinan bisa menyinggung anak dan menantunya.
“Ada yang ingin Ayah tanyakan kepada kalian berempat, ini pembahasan serius," Mustofa menatap dengan tatapan menyelidik dan menjeda sebentar kalimatnya, "dari kalian sendiri apa ada melihat atau menemukan sebuah liontin tercecer?, kalung yang sering Ibu kenakan sehari-harinya.”
Belum sempat mereka anak dan menantunya menjawab. Rumini keburu datang menghampiri dan mendengar jelas perkataan Mustofa yang mengatakan liontin turun-temurun itu tercecer.
"Tercecer?, bagaimana bisa?!" suara Rumini meninggi membuat mereka semua bangkit berdiri terkecuali Pandhu yang masih duduk santai dengan tangan bersedekap.
"Ibu, maafkan aku. Aku sudah mencari kalung tersebut di penjuru kamar bersama mas, tetapi tetap tidak menemukannya." Bilkah menjelaskan dengan wajah takut. Mustofa merangkul pundak Istrinya menoba menenagkan, Rumini tentu saja marah menatap Bilkah kecewa.
"Berarti dirumah ini ada pencuri!, kalian semua tunggu disini dan biarkan Eyang dan Mustofa menggeledah kamar kalian!." hardik Rumini dan tanpa disuruh Mustofa mengikuti Ibunya masuk kedalam kamar Laina terlebih dahulu.
Laina menatap kesal dan melirik Anjani. "Kalaupun kalung itu ada di dalam kamarku, aku akan melangkah keluar dari rumah ini, tinggal lebih jauh untuk selamanya tak kemari,"
Bilkah menoleh menatap Laina dan Anjani. "Kalian sungguhan tidak melihat kalung itu?, Ibu tidak ingin kalian ketahuan menyimpan dan dapat dipastikan kalian akan
dimarahi habis-habisan dengan eyang."
Laina berdecih. "Ibu, untuk apa aku mencuri kalung kesayangan Ibu. Itu sangat beresiko untuk reputasiku dan suamiku juga," tolehnya menatap Bagas yang menghela mengangguk, tentu saja Bagas tidak tahu menahu perhiasan perempuan, menyentuh perhiasan Istrinya saja dalam hidupnya setelah menikah tidak pernah.
Butuh waktu sekitar dua jam Mustiofa dan Rumini menggeledah kamar kedua anaknya itu, dan tak lama kedua orang tua itu datang. Rumini bertampang tidak senang menatap mereka semua.
"Bagaimana Eyang?, apa menemukannya?" tanya bersemangat Laina menunggu hasil dari Rumini dan Mustofa.
"Ibu menemukan kalung itu, kenyataannya di--" perkataan Mustofa berhenti karena Rumini memotong dan berkata duluan.
"Kalung ini berada di dalam lemari pakaian, selipan pakaian paling bawah dan itu ada di dalam kamar Pandhu dan Anjani" kata terus terang Rumini menatap Anjani dan dengan yakin perempuan itu yang mencurinya, tidak mungkin Pandhu.
"A-apa?" Anjani sontak saja terkejut tidak menyangka kalung itu berada di dalam kamarnya, dia sama sekali tidak tahu keberadaan kalung milik Ibu mertuanya itu.
"APA-APA-APA!, Eyang tidak menyangka kamu mencuri kalung milik Ibu mertuamu sendiri. Kurang apa lagi keluarga Rachmanu membantu kehidupan kedua orang tuamu yang miskin!, disini kamu malah menjadi seorang mencuri, ini pasti didikan kedua orang tuamu yang miskin, menyuruh mencuri sedikit demi sedikit dirumah ini!, iya bukan?!." marah Rumini tanpa sadar dengan kekesalannya menampar pipi mulus Anjani, membuat semuanya terkejut dan hanya terpaku.
Anjani terdiam dengan tetesan air mata, dadanya sakit mendapatkan tuduhan yang sama sekali bukan dia yang mencuri. Pipi kananya terasa panas mendapatkan tamparan dari eyang, dia memberanikan diri menatap eyang dan ingin mengutarakan pembelaannya.
"Eyang dan semuanya, a-aku sama sekali tidak tahu kalau kalung itu berada di lemari pakaian, kalaupun tadi sempat aku geledah, aku akan langsung berikan kepada Ibu. Untuk apa aku mengambil bukan hak miliku, percayalah!. Aku tidak mencurinya dan memang keluarga aku terlahir miskin, tetapi aku dididik dengan baik dan bukan terlahir dalam keluarga pencuri" sanggah Anjani sembari menangis tersedu menyakinkan kepada semuanya bahwa dia bukanlah mengambil kalung tersebut, dan ada perasaan sakit hati jika keluarganya kembali disinggung miskin seolah-olah keluarga miskin mengajarkan segala cara untuk menghasilkan uang yang tidak seharusnya.
"Pembohong!, apa kami percaya kalau kalung ini bisa berjalan sendiri dari kamarmu kalau tidak ada campur tangan?!, Aku tidak percaya, dari tampangmu yang kalem dan lemah lembut tetapi aslinya seorang pencuri!. Begini menantu pilihan kalian berdua, hah?!." Rumini menoleh menatap Bilkah yang sedang memeluk Anjani dan Mustofa hanya terdiam tidak mau mengatakan apapun.
"TIDAK BISAKAH KALIAN DIAM!, SIALAN!" Pandhu tanpa terduga melempar piring ke tembok dengan dorongan keras, membuat suara pecahan yang membuat mereka terkejut akan kelakuan Pandhu.
Pandhu sedari tadi hanya diam menyimak sembari melihat eyang memarahi Istrinya, cukup sudah wanita tua itu menghina Istrinya. Pandhu berjalan mendekat Rumini berdiri dihadapannya dan merebut kalung tersebut.
"Apa kalian kira Istriku ini miskin sehingga tak mampu membeli kalung murahan seperti ini?, apa yang kau tahu tentang Anjani tak seluas yang kutahu tentang Istriku ini. Jadi, jangan pernah menghinanya sebelum aku melempar gelas ini kewajahmu yang terus mengoceh tidak jelas, itu cukup mengganggu!." Pandhu meradang dengan tampang mengerikan dan tidak ada hormat kepada seseorang yang lebih tua darinya, malah mengancam eyangnya sendiri.
"Pandhu!, itu Eyang kamu dan tidak seharusnya kamu mengatakan kalimat kasar seperti itu!" hardik Mustofa memarahi anak laki-lakinya yang sudah kelewatan kurang ajar.
Rumini menyentuh dada Mustofa dan dia menatap tenang Pandhu yang menatapnya menajam bagaikan siap membunuh siapapun.
"Apa?, kamu berani melawan Eyangmu sendiri? Dan kamu bilang ini adalah kalung murahan?. Ini adalah kalung turun-temurun nenek moyang kita, ini sangat berharga dan ini adalah salah-satu benda yang harus dijaga. Berbeda memang dengan kamu yang tidak paham dan tidak pernah menyayangi barang pemberian nenek moyang kita!."
Pandhu terkekeh sebentar setelah itu kembali menatap penuh amarah yang meluap. "Untuk apa aku menyayangi barang yang menyerupai sampah seperti itu, sedangkan mereka yang kalian sebut keturunan tidak pernah suka akan kehadiranku. Benar bukan?."
Pandhu menoleh menatap Anjani yang menangis, di tariknya kasar lengan Anjani dari pelukan sang Ibu. "Aku tidak pernah bercanda disetiap ucapanku, sekali lagi aku dengar siapapun yang membicarakan Anjani. Aku tidak akan memberi ampun." senyum lebar Pandhu malah tampak mengerikan menyerupai seseorang yang siap menghantam siapapun yang berani melawan.
Lantas, Pandhu menyeret paksa Anjani masuk kedalam kamar mereka dan mereka semua tak lama itu mendengar suara yang berisik dan mengerikan dari dalam kamar Pandhu.
Laina gemetar ketakutan mendengar suara tersebut, dia takut bahwa Pandhu mengetahui bahwa dialah yang mengambil kalung Ibu dan meletakkan dilemari pakaian Anjani, seolah-olah Anjani mengambilnya. Laina tidak ingin rencananya terbongkar dan inilah yang Laina inginkan, Pandhu menyakiti Anjani. Laina mencoba tetap tenang seolah tidak bersalah dan Bagas menagkap kecurigaan kepada Istrinya sendiri.
