PART 4
Bagas masuk ke dalam kamar menemukan Istrinya Laina sedang duduk di meja rias sembari menyisir rambut panjangnya. Laina menoleh ke belakang menatap Bagas yang langsung rebahan di kasur.
Laina ikut menaiki ranjang sembari tersenyum melihat wajah suaminya yang kelihatan sedang berpikir itu.
"Kenapa sayang?" tanya Laina setengah berbaring, tangannya mengusap dada suaminya mencoba menenangkan, tubuh Bagas memang keras berotot dan menjadi bagian kesukaan Laina mengelus dada suaminya.
"Apa kamu tahu sesuatu kenapa Anjani mau menikah bersama kangmas kamu itu?" tanya Bagas penuh akan penasaran, membuat Laina mengernyit.
Laina menghela napas sebentar. "Aduh sayang, kenapa sih kamu membahas rumah tangga kangmas?, aku sama sekali tidak tahu dan mungkin saja Anjani menawarkan diri dengan suka rela menjadi Istri kangmas," Laina berdalih tidak ingin memberitahukan yang sebenarnya kepada Bagas, untuk apa juga Bagas sampai mengetahui hal yang tidak ada sangkut paut dengannya.
Bagas menggenggam tangan Laina yang seketika berhenti mengelus dan kali ini tatapan Bagas terlihat serius. "Aku hanya penasaran, apa kamu tidak kasihan dengan kakak ipar kamu itu? Kangmas kamu itu abnormal tidak seperti lelaki lain dan selalu menyakiti kakak ipar kamu. Kamu tahu itu bukan, sayang?"
"Bagas, justru kita tahu kangmas itu berbeda kita jangan ikut campur urusan keluarga mereka, terserah kangmas ingin melakukan apapun kepada Anjani karena mereka sudah menikah dan aku mohon sama kamu jangan sekali-kali ikut campur kalau kamu tidak ingin terkena imbas keganasan kangmas, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa." ujar Laina menampilkan wajah khawatir menjelaskan kepada Bagas yang terdiam sejenak.
"Kenapa sih penasaran banget dengan mereka berdua, aku lebih penasaran sama ini kamu loh." bisik menggoda Laina sembari tangannya meremas sesuatu dari balik celana jeans suaminya, sehingga suaminya itu memutar bola matanya menatap Isterinya yang sedang tersenyum manis.
"Kalau urusan itu kamu yang lebih penasaran setiap malam." kekeh Bagas mengubah posisi dengan mudah Laina yang sekarang berada di bawah tubuh kekar Bagas, mereka bercumbu dan saling bergairah pada malam itu dan kali ini tanpa pengaman seperti malam biasanya.
***
Lewat pertengahan malam. Anjani membeliak mendadak terbangun karena mimpi bersetubuh bersama suaminya mas Pandhu, tubuhnya berkeringat dingin karena mimpi yang sangat mengerikan sampai membuat Anjani berdoa berulang-ulang kali dengan jantung yang berdegup dan merasa ketakutan sendiri.
Napasnya memburu dan saat tangannya mengusap wajahnya terasa sembab membuktikan bahwa ternyata dalam mimpi itu Anjani sungguhan menangis kesakitan, mimpi itu terasa menyakitkan tiada henti membuat dia menangis seperti orang yang siap di hukum mati. Bagaimana bisa mimpi itu datang saat dia sudah selalu berdoa memenangkan diri setelah malam. Pandhu juga tidak bakalan seperti itu, semua hanya mimpi tidak ada yang bisa menginginkan mimpi itu bagaimana, manis atau menyeramkan.
Anjani memberanikan diri menoleh menatap Pandhu yang ternyata suaminya itu terlelap tidur dan masih berpakaian utuh, suaminya tidur menyamping menghadapnya bersama tendangar dengkuran halus menandakan Pandhu tidur pulas sekali.
Perlahan-lahan kakinya turun kelantai dan saat berhasil melepaskan diri dari pelukan Pandhu, Anjani masuk ke dalam kamar mandi dan di dalam kamar mandi mendadak dia muntah cairan bening. Anjani merasakan mual mengingat mimpi buruk tersebut dan tidak tahu mengapa celana dalamnya terasa lembab, semuanya begitu membuat kepalanya pusing mendadak.
Anjani menggelengkan kepala lalu memasuh wajahnya berulang kali dan setelah itu dia duduk di toilet duduk untuk membuang air kecil. Anjani menangis di dalam kamar mandi, dia sungguh ketakutan kalau suaminya bakalan menggaulinya melakukan hal yang sama seperti dalam mimpinya. Anjani memeluk tubuh sendiri mencoba menenagkan, bayangkan wajah menyeramkan Pandhu masih terbayang-bayang di ingatan Anjani, seketika membuat tubuhnya merinding.
Setidaknya untuk sekarang Anjani masih selamat karena semua itu hanyalah mimpi buruk untuknya. Anjani percaya bahwa suaminya tidak akan melakulan kesalahan saat menggaulinya nanti dan berdoa di dalam hatinya berharap mimpi menakutkan itu tidak datang kembali.
Menjelang matahari terbit, Anjani sudah menyiapkan sarapan untuk satu keluarga bersama selalu di bantu Ibu mertuanya. Menghidangkan makanan sederhana yang di senangi semuanya, Anjani cukup mahir dalam memasak menghilangkan seperti ini yang bakalan semua keluarganya makan.
Bilkah menyentuh wajah Anjani, membuat Anjani terkesiap. "Nduk, kenapa wajah kamu pucat?. Kamu sakit?"
Bilkah menatap khawatir mendapati wajah menantunya itu terlihat pucat tidak segar seperti biasanya, sedari tadi wajahnya tertutup rambut panjangnya yang tergerai dan Bilkah baru mengetahui keadaan Anjani saat menantunya hendak mengikat rambut.
Anjani menggeleng pelan. "Tidak, Bu. Aku baik-baik saja, hanya kurang tidur saja"
Perkataan Anjani terdengar dengan Rumini yang langsung tersenyum lebar datang menghampiri.
"Waduh...waduh...waduh!. Sepertinya semalaman menantu kamu ini bekerja keras bersama Pandhu, Eyang doakan semoga tokcer ya, Nduk." Rumini dengan raut senang memberikan doa kepada Anjani mendadak tergugu memang semalam mereka melakukan hubungan suami-istri yang sudah membuat Anjani malu sendiri, Itu pertama kali untuk Anjani dan Pandhu.
"Pandhu, cucuku apa perkasa di ranjang?" goda Rumini menatap Anjani yang berwajah lemas hanya menyengir dan beruntung Ibu mertuanya langsung menolongnya.
"Ibu, malu bicara seperti itu kepada Anjani. Anjani sedang sakit begitu malah Ibu menanyakan hal yang privasi, untuk istirahat juga dengan baik. Jangan sampai kelelahan." Bilkah sedikit tidak suka Ibu mertuanya berbicara tidak seharusnya kepada anak dan menantunya, tentu saja bakalan membuat Anjani malu dan merasa tidak nyaman mendapatkan pertanyaan yang lebih pribadi dalam urusan rumah tangga.
"Ibu hanya ingin mendengar dan mematahkan dugaan ku kalau Pandhu tidak bisa menggauli Istri, kenapa kamu yang malah sensitif Bilkah?" Rumini tersinggung lantaran Bilkah sepertinya kedengarannya tidak suka.
"Tentu aku sensitif, Ibu. Mereka anak dan menantuku, kenapa juga Ibu harus menghawatirkan keadaan Pandhu yang tidak bisa menggauli Anjani?. Pandhu tentu saja bisa dan dia normal seperti lelaki lainnya. Jangan khawatir seperti itu." ujar Bilkah menjelaskan kepada Rumini dan suasana saat itu berubah menegangkan.
Anjani yang berada di antara mereka berdua menjadi keheranan, kenapa Ibu dan Eyang bertengkar membahas suaminya Pandhu yang tidak tahu jelasnya apa bisa atau tidak menggauli. Istrinya saja memang sudah pernah merasakan rasa suaminya berada di dalamnya tadi malam, bahkan tidak ada kekasaran apapun, hanya pertama saja menunjukkan dia tidak senang Anjani berbicara dengan orang lain. Memangnya harus mengatakan kejujurannya mereka melakukannya tadi malam? Itu sungguh memalukan Anjani menutup wajahnya sudah merona duluan, walupun ada Ibu dan Eyang. Bakalan memalukan kalau Anjani berkata seperti itu, dan suaminya juga masih belum mengizinkan dia harus berbicara atau tidak.
Juga, Anjani kelelahan tadi malam dan pertengahan malam bangun karena sebuah mimpi, sehingga sekarang dia bangun lebih awal dari hari biasanya membantu menyediakan sarapan berharap suaminya tidak mencurigai.
"Ibu dan Eyang, lebih baik sekarang kita sarapan bersama karena yang lainnya sudah menunggu." kata Anjani sopan meleraikan mereka berdua yang langsung melangkah pergi tanpa mengatakan apapun.
Di meja makan, semua keluarga sudah berkumpul dan saling menikmati makanan yang sudah tersaji di atas meja makan. Anjani duduk sebelahan bersama Pandhu mengambilkan makanan untuknya dan tidak sadar sedari tadi tatapan Bagas sesekali melirik kearah wanita berada di hadapannya, itu Anjani sedang melayani suaminya makan.
Bagas menyayangkan akan nasibnya Anjani harus menikah bersama Pandhu, seharusnya Anjani lebih bisa mendapatkan seorang pria yang mapan dan mencintainya secara tulus, tertutama perlu garis bawahi pria berkepribadian normal.
Bagas hanya terlalu kasihan melihat Anjani yang selalu tersiksa bersama Pandhu, tetapi wanita itu dengan hebat dan penuh kesabaran bisa tersenyum manis, lelaki mana yang tidak kesengsem melihat wanita berlaras ayu, berperilaku kalem dan penurut juga tak banyak kemauan, itu semua ada pada Anjani.
Pandhu menagkap basah arah tatapan Bagas menatap Istrinya, mata menajamnya itu melirik mengarah Anjani yang sedang makan dengan tenang. Pandhu menggenggam tangan Anjani secara tiba-tiba, membuat Anjani mendongak menoleh menatap suaminya yang menatap dirinya dengan tatapan sangar saat mereka berdua saling bertatapan.
Tanpa terduga Pandhu menunduk memiringkan kepalanya mencium bibir Anjani didepan keluarganya, suaminya mencium bibirnya tanpa ada rasa malu terhadap semua anggota keluarga yang menatap tertegun. Bibir suaminya itu memangut bibirnya tidak memperdulikan Anjani mendorong sedikit dada suaminya, seolah menahan diri untuk tidak membalas ciuman tersebut yang sudah membuat wajahnya memerah jengah.
Sesuatu yang benyek seperti bubur masuk kedalam bibirnya, dan barulah Pandhu menyudahi ciuman tetapi bibirnya masih tepat didepannya bibir Anjani.
"Telan." bisik Pandhu setelah itu duduk dengan tenang sebelah Anjani menundukkan kepala karena malu, mulutnya mengunyah sesuatu yang diberikan dari suaminya itu dan ternyata itu adalah makanan kunyahan yang sudah benyek dari mulut Pandhu dan tanpa ada paksaan Anjani menelan makanan tersebut.
"Menjijikan." batin Laina mengatai kangmas dan Anjani yang berani mengumbar kemesraan di meja makan saat keluarga berkumpul sarapan, itu sangat memuakkannya.
Laina bangkit dari kursinya dan menatap mereka semua.
"Aku sudah terlambat pergi bekerja, maaf sarapan-ku tidak habis karena keburu mual." sindir Laina dengan melirik Anjani yang terdiam menunduk.
Pandhu menatap datar adiknya, tangannya mengeras memegang garpu dan seketika mengendor karena tangan halus Anjani menyentuh tangannya. Istrinya itu tersenyum tidak mempersalahkan, dan kembali melayani Pandhu makan dengan tenang.
Bagas juga berpamitan kepada semuanya lalu melangkah meninggalkan meja makan bersama Laina yang mengomel saat dihalaman. Bagas memakluminya merangkul pundak Isterinya mencoba menenangkan jangan sampai kelewatan batas dengan Kangmas sendiri.
"Mereka berdua itu semakin hari semakin membuat aku muak saja, aku sudah tidak betah serumah dengan mereka!" gerutu Laina dihadapan suaminya.
Bagas tersenyum mereka sudah di dalam mobil dalam perjalanan menuju kantor. "Sudahlah sayang, kamu seharusnya tidak ikut campur urusan mereka." kata Bagas mengikuti perkataan Laina kepadanya tadi malam, Laina langsung memukul pundak Bagas.
"Jangan mengulang perkataanku tadi malam, sayang. Kamu ingat bukan kalau keluarga Embah lanang mau mengasingkan Kangmas karena kangmas itu sudah banyak membuat keluarga besar aku malu, hanya saja mereka bertiga dirumah itu tetap mempertahankan kangmas, aneh sekali!." Laina mendengkus menumpahkan kekesalannya, memang Pandhu itu seharusnya sejak awal tidak terlahir di dalam keluarga Rachmanu.
Bagas mendengkus sembari melirik Laina yang kelihatan jengkel sekali. "Mau bagaimana?, aku sudah berulang kali meminta izin dengan kedua orang tuamu, kalau kita mau hidup mandiri dari keluarga, tetapi kedua orang tuamu tidak mengizinkan, bersabarlah dulu dan kita betahbetahkan tinggal disana." ujar Bagas menasihati Laina seraya mengecup punggung tangan Istri tercintanya dan terdengar Laina menghela napas panjang.
"Kalau seperti itu, salah satu harus ada yang keluar dari rumah, rumah tangga kita atau kangmas. Lihat saja nanti." gumam pelan Laina dan tersenyum misterius.
"Ah, jangan berbuat aneh-aneh. Aku tidak ingin urusan kita di kantor merambat kekeluargaan ini. Nanti bisa kita bicarakan baik-baik. Eyang bakalan mengerti. Percaya dengan suamimu ini." kata Bagas menyakinkan Isterinya supaya tenang jangan gegabah.
Laina hanya mendengus jengkel mungkin kesabarannya bakalan habis sebentar lagi, tinggal serumah dengan Pandhu dan Anjani. Menyebalkan, seakan membuatnya tidak merasakan kebebasan. Dan tunggu saja nanti apa yang akan Laina lakukan untuk mereka berdua itu, harus ada gertakan supaya mereka paham bahwa mereka sebenarnya tidak ada yang menganggap di sana.
