Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 3

Pandhu mengerjapkan mata tersadar dalam tidurnya langsung mendongak menatap paras wanita cantik sedang tersenyum manis kearahnya, wanita itu adalah Istrinya yang tidak ikut tertidur dan sedari tadi terus mengelus kepala Pandhu.

Anjani mendekap hangat tubuh Pandhu, dekapannya terasa begitu menenangkan dan sangat keibuan penuh perhatian menidurkan Pandhu, membuat terasa nyaman serta betah berlama-lama saat bersama Anjani.

“Bagaimana pekerjaan kamu tadi, Mas?” tanya Anjani penasaran dan masih membiarkan kepala suaminya berada di dadanya. Pandhu masih bermalasan sama sekali tidak bergerak bergeser melepaskan pelukannya di tubuh Anjani.

"Tidak suka berada di sana." gerutu Pandhu menaruh kekesalan. Pandhu masih meradang saat mengingat dua pekerja serabutan tersebut yang membicarakan Anjani. Mereka berdua memang tidak pantas untuk dikasihani dan biarlah menjadi pelajaran. Mulai sekarang siapapun yang membicarakan Istrinya harus berpikir ulang, sebab Pandhu tidak akan berbaik hati apalagi mengampuni, maka tidak segan-segan berbuat lebih ganas dari biasanya.

"Loh, kenapa memangnya?" tanya Anjani dengan tatapan heran.

"Tidak suka. Hanya tidak suka." Pandhu berkata ketus lalu bangun duduk sebelahan bersama Anjani yang ikut duduk sandaran di kepala tempat tidur.

Anjani mengangguk-angguk mengerti tidak ingin bertanya lagi takut Pandhu marah dengannya, mungkin suaminya memilih memendam alasan yang membuatnya tidak suka bekerja di perusaan keluarga sendiri.

"Mas sudah makan?," tanya lembut Anjani mendapatkan gelengan pelan dari Pandhu, "sekarang Mas

makan, ya?. Adik temani keluar."

Anjani mengajak Pandhu keluar kamar dan mereka berdua menuju ruang makan, tidak ada siapapun di sana hanya mereka berdua. Anjani melayani Pandhu makan dengan baik, mengambilkan lauk dan segelas air putih barulah Anjani menyiapkan makanan untuknya sendiri dan duduk sebelah suaminya.

"Jani, nanti setelah makan kalian berdua keruang keluarga bertemu Eyang, ada yang ingin Eyang bicarakan." Bilkah memberitahukan datang menghampiri mereka berdua yang sedang makan begitu tenang.

Anjani seketika mendongak dan mengangguk mengerti. "Inggih, Bu." mulai timbul rasa penasaran Eyang memanggil mereka berdua. Anjani menerka kemungkinan apa bakalan menyinggung tentang keturuan atau masalah lain tentang suaminya yang tidak semuanya Anjani ketahui, karena kelihatannya pembahasan yang serius sekali.

Pandhu bersama Anjani selesai makan dan setelah itu mereka berdua bersama-sama menghampiri ruang keluarga, ternyata di sana sudah berkumpul satu keluarga termaksud Laina dan Bagas yang sudah pulang bekerja karena desakan Rumini.

Laina menatap malas kehadiran Anjani membuat suasananya langsung berubah memburuk, apalagi wanita yang berlagak lugu itu duduk di hadapannya dan malah melontarkan senyuman kepadanya. Laina hanya berharap Pandhu bisa cepat membawa Anjani hengkang dari rumah ini.

"Nah, semuanya sudah berkumpul dan dengan begitu Eyang ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting terutama untuk cucu-cucu kesayangan Eyang. Pandhu dan Laina." Rumini menoleh kearah dua cucunya yang berparas tampan dan cantik itu.

Pandhu lebih dominan pada Bilkah yang berparas cantik dan asli berdarah kental jawa tengah, akan tetapi perilaku Pandhu sama sekali tidak ada mengalir darah jawa yang selalu berbicara sopan dan juga tingkah laku menghormati yang lebih tua, Pandhu berbeda dari anak lainnya. Pandhu mengikuti jejak seperti mendiang Mbah lanang yang keras kepala berani melawan terjang apapun masalahnya.

Sedangkan Laina menyerupai Mustofa, Mustofa masih ada sangkut paut keturunan jawa-belanda, terutama dari belah keluarga Mbah lanang bukan Rumini, dan karena dari keturunan itulah Rumini dan almarhum suaminya Darman melahirkan dua anak lelaki tampan, yaitu Mustofa dan Januardi.

"Sebenarnya Eyang itu mau bicarakan apa? Jangan membuat aku semakin menunggu berlama-lama disini" Laina mengeluh mencoba bersabar, lantaran sedari tadi Rumini hanya mengulur-ulur waktu menurutnya.

"Baiklah, dengarkan baik-baik. Siapa dari kedua cucuku ini yang pertama memberikan aku cicit, aku akan memberikan hadiah berupa uang cash 2 miliar!" ujar Rumini dengan suara lantangnya dan raut wajah yang tidak sedang bercanda.

Perkataan Rumi membuat yang lainnya terkejut, terkecuali Anjani dan Pandhu duduk dengan tenang saling bergengaman tangan karena Pandhu tak ingin sedari tadi melepaskan tangan Anjani.

"Apa Eyang sedang mengadakan sayembara siapa cepat kami berdua bakalan hamil? Aku memang menunda momongan karena aku dan Bagas mensetujui itu. Kami juga sibuk mengurus pekerjaan kami masing-masing" Laina menjelaskan alasan kenapa sampai sekarang pernikahannya sudah berjalan setahun belum dikaruniai anak.

Bagas juga mensetujui jika Laina belum ingin hamil, kecuali untuk melayani jangan pernah menolak dan Bagas selalu menggunakan pengaman karena kemauan Laina sampai sekarang. Bagas juga sebenarnya sudah tidak nyaman terus ditanyakan dengan Eyang kapan Laina hamil. Eyang sepertinya sudah ingin cicit dari mereka berdua tetapi Bagas terlalu mengalah kepada Laina.

"Iya, Eyang mengadakan sayembara. Uang itu adalah uang warisan untuk cicitku yang nanti lahir, juga perlu di ketahui bahwa uang itu bukan untuk kedua orang tuanya." kata Rumini menegaskan tak ingin ada kesalah pahaman nanti di antara mereka, terutama kedua orang tua mengambil hak milik anak.

"Ibu, uang warisan itu harusnya Ibu simpan untuk Ibu. Ibu memberikan uang terlalu banyak dan juga kehamilan itu tidak ada yang bisa menebak kapan datangnya. Jangan menjadikan uang sebagai alat mereka berusaha lebih keras. Jika berusaha kejalan kebaikan hal biasa yang dilakoni itu mungkin baik, tetapi kalau mereka melalukan berbagai cara yang aneh-aneh jika tidak kunjung hamil, itu sangat berbahaya untuk diri anak dan menantu aku sendiri."

Mustofa angkat bicara setelah tadi sempat terkejut dan tidak habis pikir Ibunya memberikan uang sebanyak 2 miliar untuk cicit yang siapa duluan lahir. Ibunya terlalu mengampangkan urusan kehamilan.

"Mustofa, ini uang warisan Ibumu sendiri bukan uang Ayahmu yang sudah habis dibagikan ke kamu dan Januardi, terserah aku dan hakku ingin menggunakan uang sendiri untuk apa. Asal kalian tahu semua, kalian bekerja terus-terusan sampai lupa waktu dan keluarga. Apa kalian pikir uang bisa di bawa mati? dan waktu kebersamaan keluarga kalian bisa mengembalikannya?, karena jika kalian terlambat sedikit saja susana akan terasa berubah, seperti embah lanang sebelum wafat berpesan kepada kalian semua untuk berkumpul dan jangan kerja terlalu keras!."

Semuanya ikut terdiam menyimak perkataan Rumini yang menumpahkan perasa kecewa dan jengkel kepada semuanya. Mustofa juga tidak berani ingin menegur Ibunya, lebih baik diam mendengarkan.

Rumini menarik napas dalam-dalam setelah tadi marah dan dia mencoba menenangkan diri. "Aku tidak sedang bercanda akan memberikan uang 2 miliar itu, sesuai dengan peraturannya siapa duluan yang hamil akan aku berikan untuk cicit pertama."

"Doakan saja Eyang, aku akan mulai berusaha memberikan Eyang cicit yang lucu dari kami." Laina berkata sembari menoleh menatap Bagas yang menghela napas dan lalu mengangguk benarkan.

"Aku selalu mendoakan kalian dan satu keluarga ini, hanya itu saja yang ingin Eyang sampaikan, silahkan istirahat." suruh Rumini beranjak duduk lalu meninggalkan duluan ruang keluarga.

***

Malam hari, Anjani duduk di kursi taman halaman belakang, setelah menidurkan Pandhu. Anjani yang tidak bisa tertidur dengan tenang karena mengingat perkataan Eyang dan uang 2 miliar itu sebanyak apa.

Anjani tidak memusatkan pikirannya kepada uang tersebut, lebih terpenting bagaimana dirinya bisa hamil dan Anjani sudah ingin sekali mengandung anak suaminya. Anjani tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan, setelah hampir dua minggu ini hubungan mereka semakin menyakitkan memang dan tak ada perubahan bagaikan Anjani pengasuh untuk Pandhu.

"Memikirkan sesuatu?"

Anjani sontak saja menoleh kebelakang mendapati Bagas suami Laina. Bagas duduk di bangku taman agak jauh dengan Anjani, kepalanya menoleh menatap Anjani dan mereka saling bertatapan.

"Tidak ada, Mas. Aku tidak memikirkan apapun" senyum Anjani langsung menoleh kearah depan menghadap tanaman.

Bagas tersenyum singkat. "Aku sendiri tidak tahu mau senang atau tidak tinggal disini, kamu kenapa mau menikah bersama Pandhu?"

Tidak banyak yang mengetahui pernikahan bersyarat mereka, yang mengetahui hanya orang tertentu dan Laina mengetahui itu, maka dari itu Laina tidak menyukai Anjani.

"Maksudnya, Mas?" tanya Anjani berlagak tidak mengetahui maksud perkataan Bagas.

Bagas duduk sandaran masih menoleh menatap Anjani saat berbicara, berbeda seperti Anjani yang tak ingin bertatapan.

"Mas tahu kamu tidak bahagia tinggal di sini, apalagi kangmas sering menyakiti kamu, apa yang keluarga ini lakukan sampai membuat kamu terikat dengan Pandhu?" pertanyaan menohok itu membuat Anjani terdiam seribu bahasa tidak ingin memberitahukan alasannya kepada Bagas.

Anjani berharap Bagas jangan sampai mengetahui pernikahan bersyaratnya bersama Pandhu, karena Bagas adalah pengacara dan Anjani tidak mau pernikahan mereka semakin kacau, tetapi Bagas memang lihai melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan membuat Anjani memilih bungkam.

"Aku masuk ke dalam dulu, permisi." Anjani bangkit dan membungkukkan sedikit badannya kepada Bagas, kemudian Anjani melangkah cepat menuju kamarnya meninggalkan Bagas sendirian di kursi taman.

Bagas bahkan belum sempat mengatakan sesuatu kepada Anjani keburu wanita itu meninggalkannya, sudahlah. Bagas akan bicara dengannya lain waktu, hanya mereka berdua seperti tadi.

Anjani masuk ke dalam kamar dan menutup rapat pintu kamar secara perlahan, saat berbalik badan tubuhnya terhimpit tubuh besar Pandhu, membuat Anjani terkejut serta mengerjapkan mata bahwa suaminya ternyata bangun dari tidur.

"Mas melarang kamu apa?" suara Pandhu menggeram dan giginya bergemertak.

"A-apa mas?" tanya Anjani terbata-bata dan sungguh kali ini pikirannya buntu tidak mengingat larangan suaminya.

Pandhu tersenyum jahat dan tangan dengan tulang besar suaminya itu menjambak rambut Anjani secara tiba-tiba bersama tangannya yang satu lagi mencegram rahangnya dengan sangat mudah, mendongakkan keatas wajah Anjani supaya bertatapan dan tubuhnya setengah terangkat sudah seperti tercekik.

"Mm--mass..." Anjani tergagap tahu pasti suaminya bakalan marah dan menyiksanya seperti sekarang tanpa ampun. Pandhu terlihat bengis dan mencengram tanpa ampun lalu menghempaskan tubuh Anjani kebawah kakinya.

Anjani berusaha mencari napas dan bahkan dadanya terasa sesak, air matanya menetes saat Pandhu mengangkat kakinya meletakkan di atas pundaknya yang bergetar hebat. Pandhu tidak ada mengatakan apapun, tangannya hanya mengepal dan lalu berjongkok dihadapan Anjani yang menangis tersedu.

"Mas tidak suka kamu berbicara dengan orang lain, mengerti!" kata penekanan Pandhu seraya tangannya terulur mengelus pipi lembap Istrinya.

"I-iya mas, maafkan adik, maaf mass..." Anjani bergetar berusaha melawan ketakutannya sekarang, menatap memohon kepada suaminya. Kepalanya terasa pusing setelah di jambak suaminya, tubuhnya lemas dan bahkan dalam gelap kamar yang diterangi rembulan. Anjani menatap semuanya menggelap dan menakutkan karena suaminya masih menatapnya menajam.

"Iya, ayo tidur." Pandhu dalam sekejab melembut dan menggendong tubuh Anjani dengan mudah, kemudian membaringkan tubuh Istrinya di tempat tidur berukuran luas. Pandhu seakan tidak bersalah atau mengucapkan kata maaf kepada Anjani, bibirnya mengecupi setiap permukaan wajah Anjani yang memejamkan mata dan dalam diam meneteskan air mata karena merasakan sakit di kepala dan rahangnya.

"Anjani." Pandhu bergumam dengan manjanya menduselkan hidungnya didada Anjani. Anjani memejamkan mata sejenak dan kemudian membuka kedua matanya, seulas senyuman hangat Anjani tampilkan seraya tangan halusnya terulur mengelus wajah dingin suaminya.

"Mau adik kelon, Mas?" tanya lembut Anjani menatap wajah Pandhu yang sudah tenang, kepalanya mengangguk dan dengan begitu Anjani rebahan menyamping menghadap suaminya, mengeloni sampai Pandhu terlelap tidur dalam pelukan Anjani.

Anjani tidak bisa tertidur dengan tenang, begitu merasa gelisah saat sebuah tangan menjulur masuk kedalam pakaian tidur Anjani mengelus bagian lekuk tubuhnya.

Terasa nyata usapan tersebut dan terpaan napas panas seakan mengendus cekungan lehernya terasa begitu tajam mengintimidasi, bibir itu mulai menjelajah mengecupi tubuh Anjani. Bibir itu bergerak lihai seakan menggelitik Anjani merasakan kumisnya bergesekan dengan permukaan kulitnya, matanya membuka perlahan menunduk melihat Pandhu mencumbu tubuhnya serta memujanya penuh kelembutan selagi bibirnya mengulum.

Malam itu suaminya terlihat sangat menginginkan mereka berhubungan intim dengan begitu lembut sentuhannya berbeda dengan rasa kasar saat tadi marah dengan Anjani. Anjani berdebar, mata suaminya itu seakan menyala terbakar gairah dan menatap pergerakannya yang gelisah.

Pandhu memang bisa berubah-ubah perilaku, yang sangat mengherankan. Tidak akan ada yang bisa mengerti suaminya secara keseriusan kalau bukan ketabahan terlebih dahulu mengenalinya lebih akrab. Oh, Tuhan... Anjani hanya berharap semuanya bakalan baik-baik saja menjadi Isteri Pandhu dan melayani suaminya. Anjani tidak ingin ada kesalahan apapun yang membuat suaminya itu marah berlebihan seperti tadi, sungguh mengerikan.Tetapi, akan rasa terikat ini lah yang membuat Anjani percaya bahwa mereka bisa mempunyai keturunan-- buah cinta mereka. Dalam selimut hangat berkeringat bersama sampai mencari ketemuan rasa memabukkan penyatuan dalam bentuk apapun, tak cukup menjelaskan perasaan ini.

"Mas tidak senang kamu berbicara dengan orang lain" tutur Pandhu menatap wajah lelah Anjani.

"Maafkan aku, Mas. Aku bersalah, sungguh." pengakuan Anjani tidak ingin suami kasar dengannya.

"Ya, jangan mengulanginya kembali. Mas sungguh tidak menyukainya, kamu hanya boleh berbicara dengan suamimu. Bukan suami orang lain!." tutur tegaskan Pandhu.

"Mas, cemburu?" senyum bercanda Anjani malah membuat Pandhu menaikkan satu alisnya. Pandhu langsung memeluk tubuh hangat berkeringat Anjani memejamkan mata, lalu tak lama menggeleng.

Anjani sadar bahwa suaminya ini tentu cemburu sebab tidak ingin memberitahu kejelasan secara gamblang. Mengelus kepalanya sembari mengecup keningnya, terlihat Pandhu melunak senang mendapatkan kecupan manis dari Anjani. Menggemaskan sekali, ternyata suaminya mempunyai sifat diam-diam seperti ini yang mungkin semua keluarganya tidak mengetahui.

Merek berdua tidur bersama saling berpelukan, dengan Pandhu yang tidak mau melepas pelukannya sama sekali di tubuh Anjani. Anjani membiarkan itu sembari mengelus suaminya, sebab permintaannya sebelum tidur selalu seperti itu ingin mendapatkan elusan menenangkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel