PART 2
Mustofa mengajak Pandhu untuk langsung mengikutinya setelah keluar dari mobil, mereka berdua sudah sampai di Perusahaan terbesar minyak kelapa sawit hak milik Mustofa yang berjabatan sebagai Presiden.
Alasan Mustofa berani membawa Pandhu karena menurutnya Pandhu sudah bisa masuk bekerja seperti biasa dan supaya anak lelakinya itu ada kegiatan mengisi waktu. Mustofa ingin Pandhu berbaur bersama para karyawan yang bekerja di Perusahaannya, ingin melihat Pandhu memiliki teman biarpun umurnya sudah tidak bisa di katakan muda, tetapi ada kemungkinan Pandhu bakalan mengobrol sepatah dua kata tidak masalah dan itu sudah membuat Mustofa senang.
Pekerjaan Pandhu sangat bagus dari pandangan siapapun, tegas, teliti dan cekatan. Mustofa menyukai pekerjaan Pandhu selalu sempurna biarpun dari segi kelakuannya yang kebanyakan membuat orang lain takut dan berwaspada.
"Pandhu seperti biasa, pekerjaan kamu mengecek truk membawa kelapa sawit dan jangan lupa di catat ada yang buruk atau tidak, kemudian kamu mengawasi pekerja serabutan, biasa mereka itu malah nongkrong di jam bekerja, kamu mengerti nak?" ujar Mustofa memberikan arahan pekerjaan untuk Pandhu.
"Hemh." Pandhu menjawab singkat setelah tahu apa pekerjaannya, melagkah menuju bagian gudang belakang yang tak jauh dari perusahaan. Gudang penyimpanan kelapa sawit yang akan di pilih untuk kedua kali supaya mendapatkan kelapa sawit yang berkualitas bagus untuk di kelola jadikan minyak makan.
Gudang tersebut juga tempat yang akan didatangi beberapa truk membawa kelapa sawit lalu letakkan di sana. Pandhu sampai di sana sembari membawa catatan, sudah memakai helm pelindung, sepatu both dan jas dia lepaskan. Pandhu juga melepaskan kancing lengan kemeja putih dan dia gulung sampai batas sikunya, supaya dapat bergerak bebas dan tidak kotor terkena debu saat kelapa sawit di turunkan.
Ketika Pandhu hadir datang di antara mereka pekerja serabutan, semua orang langsung tertuju kepada Pandhu. Mereka semua tampak kaget bahwa penjaga kali ini bakalan sangat ketat bahkan tak ada waktu mengobrol bersama pekerja serabutan.
Datang dari kejahuan dua pekerja serabutan memberikan sapa kepada Pandhu dan meminta maaf akan keterlambatannya. Pandhu hanya mengangguk mengarahkan tangan kebelakang bermaksud mereka langsung masuk bekerja, dua pekerja serabutan tersebut paham dan membungkuk sopan.
"Sombong sekali, mentang-mentang kita hanya pekerja serabutan jadi tidak ada harga dirinya di mata orang kaya," salah satu pekerja serabutan itu menggerutu merasa tak terima akan perilaku Pandhu yang seolah tak menghargai dirinya.
Lelaki yang berada di sebelahnya langsung menyiku lengannya. "Hussh!, jangan keras-keras kalau berbicara, kau hanya anak baru di sini dan wajar saja tidak mengenal beliau. Dia itu anak atasan dan memang begitu wataknya, dan yang aku dengar dia itu sakit-sakitan sejak kecil dan mungkin itu yang membuatnya menjadi pendiam dan katanya juga
mempunyai kepribadian ganda,"
Lelaki anak baru itu terkejut mendengarnya. "Mengerikan sekali, kalau begitu wanita mana yang mau mendekati pengawas kita itu," decaknya menyayangkan.
Temannya terkekeh sembari menepuk pundak anak baru itu. "Itulah kau anak baru tidak tahu kalau pengawas kita itu baru saja menikah, gusti pangeran Istrinya cantik tenan dan bertubuh montok, kalah istriku dan istrimu."
"Saya menggaji kalian tidak untuk mengobrol Istri orang lain."
Mereka berdua sontak terkejut mendengar suara sangar dari belakang tubuh mereka yang mendadak bergetar ketakutan. Pandhu menegur mereka dan mendengar dengan jelas apa yang di obrolkan mereka berdua, membicarakan Istrinya membuat Pandhu menahan amarah.
"Kalian berdua tinggalkan pekerjaan ini, cari pekerjaan mengobrol yang akan membayar kalian." tegas Pandhu bersama tatapan menyorot menajam membuat mereka bergidik. Pandhu tidak akan memberikan toleransi apapun karena mereka berani membicarakan Anjani.
Pertama, tidak ada yang boleh membicarakan Istrinya dan kedua tidak ada yang boleh menyentuh Istrinya, karena yang berhak untuk peraturan itu adalah Pandhu sendiri dan Pandhu tidak akan segan-segan menerjang mereka berdua sekarang jika tidak langsung pergi dari hadapannya yang sudah muak.
Pandhu bukan lelaki yang suka main-main akan perkataan yang sudah keluar dari bibirnya, Pandhu bisa selembut mungkin dengan seseorang yang menurutnya pantas untuk di lembuti dan Pandhu bisa saja membabi buta jika kesabarannya sudah habis.
"Pak, ka-kami meminta maaf sudah membicarakan bapak dan istri. Kami berdua sungguh menyesal dan kami mohon jangan pecat kami, karena pekerjaan ini kami bisa menafkahi dengan jumlah lumayan untuk keluarga kami." kedua pekerja serabutan itu memohon dan memelas di hadapan Pandhu yang menatapnya dingin.
"PERGI SEKARANG, SIALAN!" Pandhu membentak mengeluarkan suara bariton karena kesabarannya sudah habis. Pandhu sekarang terlihat lebih menyeramkan dengan rahang mengeras dan bahkan menebarkan aura menegangkan, membuat pekerja serabutan yang lain terkejut memandang Pandhu tak heran dan tidak mau ikut campur.
Semua orang yang bekerja serabutan sampai yang berada di dalam Perusahaan sudah mengetahui bahwa Pandhu berbeda tidak seperti lelaki kebanyakan, mungkin untuk orang awam akan memandang Pandhu sebagai lelaki yang kejam dan sombong, tetapi mereka semua tidak memandang Pandhu seperti itu.
Pandhu bakalan kejam kepada seseorang yang menurut mereka sudah kelewatan batas, termaksud masalah sekarang--membicarakan Istri orang lain dan mengatai Pandhu.
Dua lelaki yang mendapat bentakan itu dengan terpaksa berjalan lemas penuh perasaan sedih meninggalkan pekerjaan mereka, mereka menyesal dan mengaku kesalahan telah berbicara satu sama lain apalagi membicarakan desasdesus Pandhu dan Istrinya yang cantik, memang kesalahan yang fatal.
Pandhu juga ikut berlalu meninggalkan gudang dengan langkah lebar, semua pekerja langsung saling berbisik membicarakan kedua pekerja yang di percat secara tak hormat seperti barusan.
"Suami mana yang terima Istrinya menjadi perbincangan lelaki lain?, aku saja akan bertindak sama kalau perlu menghajar cangkem mereka. Mas Pandhu kali ini terlalu baik dan harusnya mereka bersyukur."
"Sampeyan benar, ah sudahlah lebih baik kita semua bekerja dengan baik dan jangan cari masalah disini kalau masih sayang dengan keluarga." salah satu pekerja menyahut dan mereka semua membenarkan apa yang dikatakan yang lainnya dan kembali bekerja dengan baik biarpun tidak ada Pandhu mengawasi mereka.
***
Anjani sedang menyiapkan sarapan makan siang untuk satu keluarga suaminya, setelah tadi selesai membereskan kamar. Anjani juga membantu berkemas di beberapa ruangan di bantu dengan pembantu, membuat pekerjaannya lumayan terbantu dan cepat.
Ibu mertua juga membantu Anjani masak dan jujur saja Bilkah senang mendapatkan menantu seperti Anjani. Anjani itu menantu idaman sekali, sebab sudah cantik nan anggun, berperilaku sopan, suaranya kalau berbicara lembut setelah itu point plusnya pandai masak. Masakan Anjani sangat nikmat biarpun masakan sederhana yang sering Anjani suguhan, itu sangat membuat Bilkah senang mendapatkan menantu seperti Anjani yang juga tidak banyak bergaya atau hanya modal tampang saja.
Memang pantas menjadi Istri untuk Pandhu, Bilkah yakin bahwa Anjani yang penyabar bakalan bisa mendidik Pandhu juga perlahan-lahan akan belajar bersabar dari
Istrinya.
"Nduk, siang ini eyang putri mau kemari. Kita masak makanan kukusan saja, eyang putri itu tidak suka makanan osengan, apa kamu ada ide kita mau masak apa?" tanya Bilkah meminta saran kepada Anjani, siapa tahu menantunya sudah punya rencana ingin membuat masakan apa untuk eyang putri.
Anjani berpikir sejenak sembari melihat bahan belanjaan. "Bu, biar aku saja yang membuat ikan bandeng
kukus kemangi dan kue bolu pisang"
"Ibu siapkan bahan untuk buat bolu pisang dulu kalau begitu," Bilkah segera menyediakan bahan untuk membuat bolu.
"Inggih, bu" Anjani juga mulai menyiangi ikan lalu membuat bumbu untuk kukus ikan bandeng. Anjani juga baru tahu bahwa eyang putri tidak suka masakan osengan, mungkin berminyak dan juga faktor umur yang sudah tidak perbolehkan makanan serba berminyak.
Bilkah tersenyum melihat gerak cekatan Anjani, seandainya saja Laina serajin dan sepandai Anjani pasti bakalan membuat Bilkah senang anak perempuanya sendiri bisa di andalkan.
Bukannya Bilkah membeda-bedakan Anjani dan Laina, hanya saja Anjani lebih terlihat pekerjaannya yang tekun sedangkan Laina bekerja di luar bahkan tak ada waktu untuk mereka masak bersama antara Ibu dan anak perempuan seperti sekarang dirinya masak ditemani Anjani.
"Pandhu memang tidak salah memilih Istri," Bilkah menjeda sebentar ucapannya, "wajar saja Pandhu menyukai kamu, anak itu sampai selalu menyusul tempat kerjaanmu hanya ingin memperhatikan kamu berjam-jam dan ada beberapa kali pulang malah marah tidak jelas."
Anjani mengernyit mendengarnya. "Kenapa mas
marah tidak jelas, bu?"
Bilkah kembali tersenyum dan mengusap lembut pundak Anjani. "Pandhu marah lihat kamu pulang selalu belakangan masih mengepel bersih-bersih sendirian, juga kadang menumpang lelaki lain, itu yang membuat suami kamu marah dan kesal sendiri masih tidak ada keberanian menegur kamu,"
Anjani baru paham bahwa tatapan menajam yang sering Pandhu tujukan kepadanya selama dulu masih bekerja ternyata suaminya itu sedang marah, bibirnya mengukir senyuman merasa apa mungkin suaminya khawatir dengan keadaannya. Anjani hanya bisa menerka dan sejujurnya ada perasaan senang mendengar penjelasan dari Ibu mertua tentang anak lelakinya yang dulu sebagai pengintai dirinya.
"Aku memang semenjak pertama bekerja selalu pulang belakangan, bu. Pekerjaanku bukan hanya sebagai pelayan, tetapi juga mengemas lainnya setelah cafe coffie tutup, itu karena aku sendiri meminta tambahan bayaran ke atasan karena aku butuh uang lebih untuk membeli obat rawat jalan bapak,"
"Malang sekali nasipmu, nduk. Harusnya sejak awal saja Pandhu mengajakmu menikah supaya kami bisa membiayai pengobatan bapakmu. Tetapi sekarang kamu seharusnya sudah bisa bernapas dengan lega dan tidak perlu memikirkan keadaan bapakmu dan kehidupan mereka berdua, beliau sudah sehat bukan setelah operasi?" tanya Bilkah memastikan.
Anjani mengangguk membenarkan. "Inggih, bu. Bapak sudah sehat, tetapi tidak sesehat dulu dan sudah tidak mampu bekerja. Aku berterima kasih dengan Ibu dan sekeluarga yang mau menolong keluarga kami,"
"Ibu senang bisa bantu kamu, terutama Pandhu yang sudah berambisi menjadikan kamu sebagai Istrinya. Ibu hanya bisa menuruti kemauannya dan Ibu percaya bahwa kamu pasti setia dengan Pandhu, bukan?" kata Bilkah seakan mengingatkan Anjani akan surat perjanjian mereka dan juga masih sedikit meragukan Anjani akan setia kepada putranya.
Bilkah hanya tidak mau di luar sana ternyata Anjani memiliki kekasih, mungkin saja kekasihnya yang sering mengantar Anjani pulang bekerja, hanya saja Anjani tidak mau mengakui memilih menjalin hubungan diam-diam. Itu kemungkinan Bilkah masih tidak mengetahui siapa lelaki tersebut yang tidak disukai Pandhu.
"Ibu, bukan maksud aku mau berbicara lancang, tetapi setelah menikah bukankah kita yang sudah memiliki suami sudah seharusnya setia dan menerima kekurangan pasangan. Dengan adanya perjanjian itu atau tidak, aku sudah setia dan tidak ada lelaki lain selain mas Pandhu sebagai suamiku." ujar Anjani menyakinkan Bilkah dan setiap perkataannya sebagai sumpah untuknya di hadapan Ibu mertua merasa terharu langsung memeluk Anjani.
"Ibu senang sekali mendengarnya, kamu memang pantas menjadi anggota di keluarga kami. Ibu ingin meminta tolong dengan kamu, bisakah kamu membantu Pandhu mengubah perilakunya yang kasar menjadi lembut?" Bilkah menatap penuh harap kepada Anjani supaya mau juga membantu memberikan terapi kepada Pandhu.
Anjani tersenyum manis dan mengangguk. "Inggih, bu. Akan saya coba perlahan-lahan merubah perilaku mas
Pandhu."
"Syukurlah, Ibu sungguh berterima kasih dengan kamu. Ayo, kita lanjutkan masak karena sebentar lagi eyang bakalan datang." Bilkah melihat jam dinding dan memang benar waktu mereka sudah tidak banyak untuk menghidangkan makan siang.
Mereka berdua bekerja sama dan saling mengobrol ringan dan tanpa sadar masakan mereka sudah tersaji diatas meja makan, bertepatan sekali eyang baru datang.
Bilkah menyambut kedatangan Rumini menyalami tangan Ibu mertuanya.
"Kenapa rumah ini sepi sekali seperti tidak ada penghuni?" desah Rumini melangkah masuk melihat sekeliling tidak ada siapapun, hanya suara ketenangan yang membosankan menurut Rumini.
"Maaf Ibu, yang lainnya sedang bekerja hanya ada saya dan menantu saya, Anjani" kata Bilkah memberitahukan.
Rumini duduk di sofa menatap memalas. "Aku kemari ingin menghilangkan bosan di rumah sendirian, malah disini juga sama membosankan. Suruh anakku dan cucu-cucuku
pulang, makan siang dirumah jangan jajan sembarangan"
Bilkah menganguk patuh. "Inggih, bu" Bilkah segera menghubungi suami dan anak-anaknya menyuruhnya makan siang dirumah juga mengatakan eyang ada di rumah.
Rumini melangkah memasuki dapur mendapati Anjani yang masih mencuci peralatan masak. Anjani masih tidak sadar ada Rumini dibelakangnya yang memperhatikan pekerjaannya.
"Kamu Istri cucuku, Pandhu?"
Anjani terkejut segera membasuh tangannya secara bersih dan mengeringkan dengan kain lap khusus tangan, lalu menyalami tangan Rumini dan membungkukkan sedikit tubuhnya.
"Inggih, eyang. A-aku Anjani," kata halus Anjani memperkenalkan namanya.
Rumini mengangguk melihat saksama wajah Anjani yang memang ayu sekali. Saat pernikahan Pandhu, Rumini tidak sempat hadir karena sedang masuk rumah sakit, sekeluarga ingin menunda pernikahan karena bersamaan dengan berita Rumini masuk rumah sakit, tetapi Rumini menolak ingin pernikahan Pandhu tetap terlaksanakan sudah tahu kalau anak itu ngebet menikah.
"Kamu dengarkan suara dalam rumah ini?" Rumini menyuruh Anjani juga menatap sekeliling mencari suara yang membuat Anjani tidak paham.
"Suara apa, eyang?" tanya Anjani menatap Rumini yang langsung berdecak.
"Suara tidak ada kehidupan, maksud eyang itu kamu kasih eyang cicit, eyang kepingin mendengar rumah ini di warnai suara tangisan bayi. Laina dan Bagas sampai sekarang belum kasih kabar baik ke eyang, maka sekarang eyang menyuruh kamu supaya segera kasih cicit" Rumini menjelaskan kepada Anjani yang hanya menyengir malu.
"Tapi Pandhu pandai bukan begituan?" tanya Rumini tidak yakin, membuat Bilkah tertawa.
"Ibu, kenapa berbicara yang lebih intim kepada Anjani. Itu biarlah urusan mereka berdua, nanti suatu saat pasti mereka memberikan kabar bahagia kepada kita sekeluarga, iya 'kan, nduk?" Bilkah menoleh menatap Anjani yang mendadak tersentak.
"Oh!, Inggih, bu." Anjani menyahut dengan raut wajah tak yakin, eyang dan Ibu mertua sudah mengharapkan dirinya mengandung tetapi mas Pandhu saja tidak pernah menggaulinya, hanya saja suaminya sering minta yang tidak lebih dari sekedar ciuman dan cumbuan sudah itu selesai. Pandhu juga tidak pernah membahas anak sampai sekarang dan memang menjadi pertanyaannya apa mas Pandhu bisa untuk melakukannya.
"Akhirnya, anak dan cucu kesayanganku pulang!." Rumini berseru sembari melihat Mustofa dan Pandhu berjalan menghampiri ruang makan.
Anjani mendongak juga melihat suaminya yang berjalan mendekat, tetapi raut wajahnya terlihat sangat menyeramkan. Pandhu bukan menyalami Eyang malah langsung memeluk tubuh Anjani bersama mencium pipinya, itu membuat Anjani merasa canggung karena pandangan yang lainnya tertuju kepada Pandhu yang memeluk dirinya.
Rumini menghela melihat kelakuan Pandhu tidak ada perubahan, sudah senang kiranya tadi mau menghampiri tetapi ternyata memeluk Istrinya, membuat Rumini kecewa.
Pelukan Pandhu melonggar dan mereka bertatapan. Anjani merasa tegang saat tatapan menajam Pandhu tertuju kepadanya. "Mas, lebih baik sekarang kita makan bersama Eyang?" ajak Anjani berbicara lembut sambil melirik Rumini yang mengangguk benarkan.
Tangan Pandhu mencengram pergelangan tangan Anjani dan berbisik pelan di depan wajahnya Isterinya. "Tinggal 'kan."
Pandhu berkata ketus langsung menarik paksa Anjani untuk mengikuti dirinya masuk ke dalam kamar. Rumini, Mustofa dan Bilkah hanya terdiam melihat kelakuan kasar anaknya kepada Istrinya Anjani. Rumini berbalik menatap Mustofa dengan tatapan menyelidik.
"Kenapa cucuku datang-datang wajahnya marah begitu? Apa anak itu punya masalah?" tanya Rumini sedikit kesal kepada Mustofa anaknya sendiri.
Mustofa menghela napas duduk di kursi meja makan bersama Bilkah berada di sebelahnya juga ingin tahu kenapa anaknya tiba-tiba seperti itu.
"Hanya masalah pekerjaan. Pandhu memecat dua pekerja serabutan yang membicarakan Istrinya. Mau bagaimana lagi, anak itu tidak akan ada kata maaf jika menyingung Anjani dan dirinya." tutur terus terang Mustofa menghela napas. Ibu dan Istrinya yang sekarang baru mengetahui sebab anaknya marah.
***
Pandhu membawa masuk Anjani ke dalam kamar, pintu tertutup rapat dan saat itu juga Pandhu menarik Anjani mendekat, kemudian bibirnya yang gelap itu memangut kasar bibir Anjani dengan mata membelalak tidak bisa mengimbangi ciuman suaminya.
Pandhu mencurahkan perasaan kesal dan amarahnya kepada Anjani, tetapi setelah dapat merasakan bibir manis Istrinya, membuat Pandhu merasa tenang dan dapat mencium penuh kelembutan bersama tangannya yang mengelus dua gundukan kenyal yang Istrinya masih memakai bra.
"Mas..." Anjani bergumam pelan menatap wajah Pandhu yang masih sangar tidak berubah.
Pandhu mendorong perlahan tubuh Anjani supaya rebahan di kasur mereka, Pandhu setengah duduk di atas tubuh Anjani sembari membuka kancing kemejanya, terlihat tubuh suaminya berkeringat dan mengerti Anjani menghidupkan pendingin ruangan.
Anjani terpana melihat suaminya setelah membuka kancing kemeja memperlihatkan dadanya yang bidang terdapat bulu dada sampai bawah pusarnya. Pandhu membungkuk mendekatkan wajah mereka dan dapat Anjani merasakan napas mereka bersamaan terasa sangat panas.
"Lelah." Pandhu berdesis memberitahukan keadaannya kepada Anjani, tatapannya berubah teduh sangat hangat tetapi tanpa ada senyuman.
Anjani tersenyum manis tanpa berkata menuntun suaminya untuk meletakkan kepalanya di pelukannya. Pandhu menurut meletakkan kepalanya di dada Anjani, memejamkan mata menikmati setiap elusan menenangkan dan memeluk tubuh Istrinya secara posesif.
Mereka berdua tidak tahu bahwa Rumini mengintip dari balik pintu yang dia buka secara perlahan setelah Anjani menidurkan Pandhu. Rumini tidak menyangka bahwa Anjani dapat menaklukkan Pandhu yang sifatnya keras kepala dan gampang marah itu.
"Pantas saja cucu-ku kesengsem dengan Anjani, ternyata dengan kehadiran Anjani menjadi Istri Pandhu kebiasaannya bisa sedikit berubah. Kalau sudah begini bakalan memungkinkan tidak lama cucu-ku memberi cicit." gumam bersyukur Rumini berbicara kepada Bilkah yang di sebelahnya membenarkan.
Mereka bukan bermaksud mengintip tetapi hanya berjaga-jaga takut kalau Pandhu bertindak kasar kepada Anjani. Maka dari itu buru-buru Rumini mengajak Bilkah ke kamar Pandhu untuk mengecek keadaan mereka berdua, ternyata di luar dugaan yang membuat mereka menghangat.
