Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Liburan semester akhirnya datang juga. Dan seperti biasanya Milla akan pulang ke Surabaya untuk bertemu keluarganya. Amierra tengah ikut ke tempat tugas suaminya setelah kondisinya membaik. Dan hal itu membuat Milla kesepian dan sendirian karena memang hanya Amierra lah yang dia kenal di Jakarta.

Iqbal???

Jangan tanya dia, setelah insiden kecelakaan beruntun itu. Iqbal tampak sibuk, apalagi setelah Kapten Djavier di tugaskan ke kota lain, membuat Iqbal sibuk akhir-akhir Ini.

Sejak dulu memang mereka jarang sekali berkomunikasi, kecuali kalau ada perlu yang penting atau saat mereka membuat janji bertemu.

Milla menghirup udara segar saat kakinya baru saja menginjak tanah kota Surabaya tepat di Bandara Internasional Juanda. Ia mengeratkan pegangan tangannya pada tas ransel yang di gendong di punggungnya, dengan tangan kanannya yang menjinjing kantong kresek. Ia berjalan menuju terminal dan pintu keluar bandara.

Ia menatap sekeliling hingga seseorang tak jauh darinya melambaikan tangannya. Milla tersenyum lebar dan berjalan cepat mendekati remaja pria itu.

"Apa kabar Mbak?" Sapa pria itu saat Milla sudah berdiri di hadapannya.

"Baik, kamu apa kabar Aldi? Wih makin besar saja," kekehnya.

Aldi adalah putra Budhe nya Milla, mereka memang sangat akrab. Dan Aldi juga sering sekali mengantar jemput Milla saat ia pulang ke rumah orangtuanya.

"Aldi baik Mbak. Ayo Mbak kita segera pulang. Sepertinya akan turun hujan," serunya seraya menatap ke arah langit yang terlihat gelap.

Milla menganggukkan kepalanya dan mengikuti Aldi hingga mereka sampai di parkiran motor. Aldi mengambil kantong kresek yang di pegang Milla dan menyimpannya di bagian depan motor maticnya.

"Helm nya Mbak." Aldi kembali menyerahkan helm pada Milla dan segera Milla gunakan.

Ia pun mulai menaiki motor dan berpegangan pada kedua sisi pinggang Aldi. Aldi menarik gas motornya dan meninggalkan area bandara.

Milla dan Aldi sudah sampai di halaman rumahnya yang sederhana. Terlihat ibu dan ayahnya baru pulang dari sawah, masih dengan pakaian kotor dan topi yang menutupi kepala ayahnya.

"Assalamu'alaikum ibu, apa," ucap Milla sedikit berlari menghampiri mereka dan mencium tangan mereka.

"Wa'alaikumsalam Nduk," jawab Ayahnya.

"Kamu apa kabar? Sudah lama tidak pulang," seru Ibu nya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Maaf Ibu, Mila baru ada kesempatan pulang sekarang," jawabnya memeluk Ibu nya dengan penuh rasa rindu.

"Sudah sudah, ayo masuk dulu. Kasian Nduk, Bu." Ayah Milla melerai pelukan mereka berdua.

Mereka berjalan bersama memasuki rumah, diikuti Aldi yang mengikuti mereka.

"Sebaiknya kamu istirahat dulu, Nduk. Biar Ibu masakin dulu makanan kesukaanmu." Ibu kembali bersuara.

"Iya Bu. Di, makasih yah," ucap Milla diiringi senyumannya.

"Oke Mbak," jawab Aldi.

Milla berjalan menuju ke dalam kamar. Ia melepaskan tas ranselnya juga membuka sepatu kets nya. Ia merebahkan tubuhnya yang terasa kaku setelah menempuh perjalanan cukup panjang. Milla meraih hp nya yang berada di dalam tas. Tak ada notifikasi apapun dari Iqbal. Terkadang ia ingin ketawa, mentertawakan dirinya sendiri yang masih saja mengharapkan dan merindukan Iqbal.

Sejujurnya ia benci dan kesal dalam keadaan seperti ini. Pertanyaan itu kembali terngiang di telinganya. Sebenarnya dia itu apa bagi Iqbal? Kekasih? Tunangan? Atau apa. Ia sungguh tak memahami itu.

Ia menyimpan handphone nya dan beranjak menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

"Hai Mbak," seruan itu membuat Milla menoleh saat ia sudah segar dengan pakaian rumahannya dan menoleh ke sampingnya.

"Amel, kau sudah pulang?" tanya Mila pada adiknya Camelia yang berdiri di sampingnya.

"Sudah, Mbak sudah masuk waktu liburan?" Milla mengangguk sebagai jawaban. "Jadi mana pacar Mbak?"

Mila menatap ngeri ke arah adiknya. Selalu saja itu yang di tanyakan saat ia pulang ke rumahnya. "Masih betah aja jomblo Mbak, aku saja sudah memiliki pacar," sahutnya membuat Milla mendengus.

"Apa bangganya memiliki pacar," keluh Milla. "Yang ada makin nambah dosa."

"Yah, begitulah jawaban para jones, untuk membela diri." ucap Amel sedikit mengejek membuat Milla mencibir kesal. Ia duduk di atas karpet bersih yang ada di ruang televisi diikuti Camelia.

"Enak lho punya Pacar, ada yang perhatian, ada yang perduli dan ada yang ngasih jajan." tawa Amel pecah membuat Milla mendelik.

"Pacar apa Ayah angkatmu pake ngasih jajan segala," ejek Milla membuat Amel berdecak kesal.

"Aku serius Mbak, memangnya tidak ada cogan di Jakarta?" tanya Amel tampak penasaran.

Ada banyak dalam hari Milla. "Apa Mbak yang kurang cantik hingga mereka tidak melirik Mbak?" tanyanya membuat Milla geram dan menoyor kepala Amel membuatnya ketawa.

"Kamu sudah bawa pacar kamu ke rumah? jangan pacaran di luar tanpa sepengetahuan keluarga," nasehat Mila dengan menekan hatinya sendiri, bukankah dia juga menyembunyikan fakta tentang Iqbal dari keluarga? Tetapi siapa Iqbal baginya? Dia tidak ingin berharap lebih dan malah menghancurkan perasaannya sendiri.

"Malah ngelamun," mendengar decakan dari Amel membuat Mila tersadar dan menoleh padanya.

"Jadi?"

"Iya aku bilang Ibu dan Bapak sudah tau mengenai Faisal," ucapnya.

"Namanya Faisal?" Amel menganggukan kepalanya.

"Jadi bagaimana dia? Apa sangat tampan?" tanya Milla.

"Jarang ada yang tampan kalau di kampung. Tapi dia manis dan dewasa sekali, dia juga sudah bekerja di kecamatan."

"Oh, calon PNS?" tanyanya yang di angguki Amel.

"Jadi cepatlah Mbak cari jodoh, soalnya setelah lulus SMA ini. Mas Faisal mau langsung lamar Amel, tetapi itu juga kalau Mbak sudah menikah. Ayo Mbak, cari pacar," paksa Amel.

"Kamu pikir nyari pacar itu seperti membeli cireng?" dengus Milla. "Butuh proses Amel, dan belum tentu jodoh kita juga," ucap Milla mengingat Fauzan dan Amierra.

"Kalau begitu mau aku kenalkan dengan teman-temannya mas Faisal? Mereka calon PNS juga tapi ada yang mengajar ada juga yang bekerja di pemerintahan lainnya."

"Tidak, terima kasih. Aku tidak semiris itu," keluh Milla.

"Ah Mbak Mila, besok yah ikut aku pergi ke alun-alun dan janjian dengan mereka, yayaya Mbak," paksa Amel.

"Tidak Amel, mbak ingin di rumah saja," ucap Milla.

"Makin jauh aja jodohnya kalau Mbak tidak gesit, lama-lama jodoh buat Mbak kehabisan karena Mbak kurang gencar."

"Ck, jodoh itu di tangan Tuhan," ucap Milla.

"Tapi butuh usaha juga untuk bertemu dengan jodoh kita, tidak mungkin begitu saja datang dari langit." Milla terdiam mendengar ucapan adiknya yang selalu bisa menjawabnya.

"Turuti saja Nduk, toh gak ada salahnya. Lagipula Nak Faisal baik, pastilah teman-temannya juga baik," ucap Ibu yang datang bergabung dengan mereka.

"Ih Ibu," keluh Milla.

"Selama ini kamu sama sekali belum mengenalkan pacarmu pada kami, Nduk. Dulu Ibu mengerti karena kamu ingin fokus kuliah, tetapi sekarang kuliahmu sudah hampir selesai, dan usiamu sudah 22 tahun. Setidaknya mulainya mencari calon untuk menjagamu nanti," ucap Ibu.

"Aku masih 22 tahun, belum 30 tahun. Jadi tidak perlu sekhawatir itu," ucap Milla.

"Ih Mbak, kan 1,5 tahun lagi aku lulus sekolah. Masa aku harus nunggu Mbak untuk menerima lamaran mas Faisal, cepatlah cari jodoh." Milla mendengus kesal pada Adiknya.

"Sudah Nduk, jangan paksa Mbak mu," seru Ayah yang baru bergabung dengan mereka. "Biarkan Mbak mu yang memikirkan itu, jodoh sudah ada yang mengatur, tidak bisa di paksakan."

Milla bersorak senang mendapat pembelaan dari sang Ayah. Ia meleletkan lidahnya pada Amel yang cemberut.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel