Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Kamila pergi menuju Bandung bersama dengan Iqbal, Amierra dan Djavier. Awalnya Iqbal hanya mengajak Milla dengan alasan supaya mereka bisa mengenal lebih dekat. Tetapi Milla tidak berani pergi hanya berdua apalagi menginap. Walau dia mempercayai Iqbal, tetapi tetap saja kalau sepasang manusia bersama maka yang ketiga nya setan.

Milla hanya ingin berjaga-jaga saja, ia tidak ingin sesuatu terjadi padanya maupun Iqbal di saat status mereka masih tidak jelas.

Saat ini mereka sudah sampai di hotel tempat mereka menginap. Milla baru saja selesai mandi dan mengeringkan rambutnya yang basah, ia melihat ke arah Amierra yang masih terlelap nyenyak.

"Ck, dasar kebo. Tidur lama amat," gumamnya berjalan menuju meja rias dan menyisir rambutnya yang sedikit pirang.

Terdiam sesaat seketika bunyi nyaring dari perutnya menggangu aktivitas menyisir Milla. "Astaga laper banget, padahal tadi sore udah makan," keluhnya.

Milla kembali menoleh ke arah Amierra yang tampak semakin nyenyak. "Astaga Mier kenapa loe kagak bisa siap di saat gue butuh!"

Milla terpaksa keluar dari kamar hanya dengan celana tidur panjang berwarna coklat gelap di padu dengan kaos oblog bergambar doraemon juga jaket tipis berwarna pink.

Milla sempat melirik ke arah kamar para pria yang tertutup rapat, ia berpikir pasti para pria tengah beristirahat karena menghabiskan perjalanan yang cukup jauh. Milla memutuskan untuk turun sendirian dan mencari pedagang pecel lele. Biasanya di Bandung banyak yang berjualan pecel lele, kesukaan Milla. Apalagi pecel Lele Lamongan, uchh mantap jiwa.

Milla mengeratkan pelukannya pada jaket yang ia gunakan, untuk menutupi tubuhnya yang terasa dingin saat pertama kali ia menginjakkan kaki di area luar hotel. Kota Bandung sungguh dingin berbeda dengan di Jakarta.

"Dingin, tau gini gue pake kaos kaki." Milla berjalan menyusuri jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang dan beberapa orang yang berjalan kaki.

"Kalau gak salah tukang pecel lele tadi ada di dekat sini deh," gumamnya seraya celingak celinguk mencari penjual pecel lele.

"Kamu cari apa?"

"Astagfirulloh!" Milla terlonjak kaget saat mendengar suara bass tepat di sampingnya. Ia sampai menoleh ke belakang dengan sedikit meloncat dan mengusap-usap dadanya.

"Astaga mas Iqbal, ngagetin saja," ucap Milla masih mengelus dadanya.

"Kamu cari apa? Dan kenapa keluar sendirian? Bahaya Mil. Ini di kota orang, kalau kamu nyasar bagaimana? Atau kalau ada orang jahat yang berniat macem-macem sama kamu bagaimana?"

"Aduh Mas, aku bukan anak SD. Gak perlu paranoid gitu, aku sudah biasa keliaran sendirian saat malam hari. Aku biasa hidup sendiri, dan lihat kan, aku bisa menjaga diriku sendiri." Ucapnya dengan penuh perasaan bangga.

"Tetap saja tidak baik untuk seorang perempuan keluyuran sendiri malam-malam," ucap Iqbal tetap pada pendiriannya. Milla akhirnya memilih diam, daripada harus berdebat dengan tentara satu ini.

"Ngomong-ngomong mas Iqbal sedang apa di sini?" Tanya Milla.

"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu padamu, tadi aku melihat kamu berjalan menuju lift. Makanya aku ngikutin kamu," ucap Iqbal.

"Ngikutin? Daritadi di hotel?" Tanya Milla sedikit kaget.

Iqbal menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Wihh mantap, namanya juga tentara. Ngikutin tanpa suara ahlinya, gue pikir tadi diikutin makhluk halus penunggu hotel karena gak denger suara langkah kakinya. Pikir Milla

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Iqbal.

"Tidak ada!" Ucap Milla dengan cengiran lebarnya. "Aku kelaperan Mas, dan mau nyari makan."

"Bukannya tadi sebelum magrib kita sudah makan?" Tanya Iqbal.

"Laper lagi," jawab Milla dengan cengiran lebarnya dan berjalan menuju tempat pecel saat matanya sudah menangkap keberadaan pedagang itu.

Iqbal hanya bisa menggelengkan kepalanya, kini ia sudah tau dan hapal kepribadian Milla. Gadis itu sangat suka sekali makan, entah perutnya terbuat dari apa, yang jelas begitu elastis hingga makanan sebanyak apapun bisa dia tampung dengan mudah. Dan bonusnya, badannya tak pernah terlihat gemuk.

"Mas mau?" Tawar Milla saat mereka sudah duduk di kursi yang tersedia di sana.

"Tidak, aku pesan es teh manis saja," jawab Iqbal membuat Milla mengangguk.

"Bang, pecelnya 1 yah, kol nya di goreng. Sama es teh manisnya 2."

"Iya Neng,"

"Jadi apa kamu pernah ke Bandung sebelumnya?" Tanya Iqbal yang di jawab gelengan kepala oleh Milla.

"Aku jarang pergi jauh-jauh, paling kalau weekend aku habiskan untuk tidur. Jalan-jalan sama Amier pun kalau gak ke mall ya ke ancol, ke dufan, ke daerah lainnya yang ada di Jakarta." Milla menghentikan ucapannya saat pesanannya datang.

"Tetapi kalau liburan semester, aku akan menghabiskan waktuku di Surabaya." Milla mulai mengambil irisan kol goreng yang masih panas lalu mencelupkannya ke sambal pecel dan melahapnya dengan nasi hangat juga daging lele yang sudah di goreng.

"Emmm mantap sekali," gumamnya kembali melahap makanannya dengan semangat.

Iqbal memperhatikannya dari samping dalam diam, ia tersenyum melihat tingkah Milla. Beberapa bulir keringat memenuhi dahinya karena pedas dari sambal pecelnya itu.

"Mau coba?" Tawar Milla saat melirik Iqbal yang masih memperhatikannya membuat Milla malu bercampur gugup.

"Tidak, habiskan saja," ucapnya segera memalingkan tatapannya ke arah lain membuat Milla bernafas lega.

Jujur saja, Milla tipe wanita yang selallu tampil apa adanya, tidak suka sok cantik. Bahkan makanpun dia terbiasa makan dengan lahap, tidak memperdulikan image cantiknya sebagai seorang wanita. Yang penting bagi Milla itu adalah perut kenyang dan makanannya berkah.

Selesai makan, mereka berjalan berdampingan menuju hotel tempat mereka menginap dengan Milla yang berceloteh menceritakan keluarganya. Keluarga yang sangat ia rindukan.

Milla adalah seorang gadis sederhana, orangtuanya hanya seorang petani yang juga berjualan di pasar hasil bertani nya. Dia memiliki seorang adik perempuan bernama Kania yang saat ini masih kelas 3 SMA. Dari sejak kecil, Milla adalah seorang gadis yang mandiri. Ia bahkan menabung dari saat SMP juga belajar dengan giat, hanya untuk bisa berkuliah di Jakarta sesuai impiannya. Dan akhirnya dia mendapatkan beasiswa hingga bisa kuliah di universitas terkenal di Jakarta dan bertemu Amierra.

Tabungannya hanya mampu membiayai kebutuhannya di semester pertama, semakin ke sini tetap orangtuanya yang mengirimkan uang untuk kebutuhan Milla. Tetapi walau begitu, Milla selalu berusaha untuk mengirit dan meringankan beban kedya orangtuanya.

Iqbal merasa kagum dengan gadis di sampingnya ini. Dia mempunyai tekad yang kuat hingga akhirnya semua keinginannya tercapai.

"Ah, aku bercerita seperti penyiar berita saja. Sampai tidak terasa sudah sampai di depan kamar," kekeh Milla.

"Baiklah Mas, aku masuk yah. Ceritanya sampai di sana saja dulu, dah." Milla beranjak menuju kamarnya.

"Mil,"

"Ya,"

Milla menoleh kembali ke arah Iqbal yang masih berdiri di tempatnya. Ia masih menunggu Iqbal melanjutkan kata-katanya.

"Apa boleh aku datang menemui Papamu?"

Deg

'Ya Allah, apa aku akan di lamar? Apa aku akan segera di halalin? Aaaaa aku mau abang Sersan....'

Milla menggelengkan kepalanya karena pikiran aneh itu, sungguh menggelikan mendengarnya juga. "Mas, itu-"

"Aku ingin bersilaturahmi dengan mereka," tambah Iqbal begitu serius.

"Menurutku ini terlalu cepat, apalagi selama ini aku belum pernah mengajak seorang pria ke Surabaya bertemu Bapa dan Ambu. Aku rasa ini terlalu terburu-buru."

"Mil, entah kenapa aku ingin sekali mengenalmu lebih dalam lagi, mengenal keluargamu. Aku ingin bersilaturahmi dengan mereka juga bukan hanya denganmu. Siapa tau-"

"Mas, dengarkan aku," ucap Milla memotong ucapan Iqbal.

"Aku tidak melarang Mas untuk bersilaturahmi dengan mereka, aku malah senang Mas ada itikad baik untuk mengenal mereka. Tetapi Mas harus ingat, mas bukan pria lajang." Ucapan Milla bagaikan sebuah tamparan buat Iqbal, ia lupa akan perjodohan yang di lakukan orangtuanya.

"Aku takut, Bapak dan Ambu akan berpikir Mas memiliki niat yang lebih dari silaturahmi kepada keluargaku. Aku hanya tidak mau mereka berharap apapun."

"Sudah cukup dengan aku mencoba membuka diriku dan membiarkan Mas masuk ke dalam kehidupanku. Mas adalah pria pertama yang aku persilahkan untuk mengenalku lebih jauh, walau aku tidak tau apa yang akan terjadi akhirnya. Jadi biarkan cukup aku saja yang kecewa nantinya."

Setelah mengucapkan itu Milla berpamitan dan masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Iqbal yang mematung kaku dengan mengepalkan kedua tangannya kesal.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel